Mongabay.co.id

Dana Alokasi Sawit Masih Berpihak pada Biodiesel, Bagaimana Kondisi Petani?

Kebun sawit ilegal di SM Rawa Singkil sebagian besar dimiliki para pemodal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Akhir November 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan alokasi biodiesel untuk dalam negeri sebesar 10.151.018 kiloliter pada 2022. Jumlah itu, naik dibanding sebesar 9.413.033 kiloliter.

Peningkatan permintaan minyak sawit untuk program biodiesel, dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan memperburuk krisis iklim.

Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI menyebut, program biodiesel B30 akan memicu defisit 40 juta ton CPO yang diperkirakan mulai terjadi pada 2023.

Defisit CPO juga akan berdampak pada kebutuhan lahan. Pemerintah perlu melakukan ekspansi lahan hingga 39 persen dari total lahan produksi sawit di Indonesia 13,3 juta hektar, untuk memenuhi kebutuhan biodiesel B30.

“Saat kita progresif, akan menekan kebutuhan lahan yang banyak,” tuturnya, dalam webinar Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan bertajuk Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan Energi Bahan Bakar Nabati Indonesia, Selasa [16 November 2021].

Menurut Alin, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mitigasi ekspansi lahan. Peremajaan kebun sawit dapat menjadi salah satu solusi untuk menekan ekspansi lahan. “Ini solusi untuk meningkatkan produksi, sehingga peningkatan permintaan bisa dipenuhi,” katanya.

Pemanfaatan UCO atau minyak jelantah, penggunaan bahan baku lain sebagai alternative feedstock juga harus dilakukan pemerintah. “Tetapi, moratorium sawit yang tidak diperpanjang akan menjadi tantangan mitigasi ekspansi,” terangnya.

Virgy Arief, Junior Program Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, menyebut struktur di Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, mayoritas pengusaha sawit. Banyak program yang dibuat lebih menguntungkan kepentingan pengusaha.

Dia mengambil contoh, dana yang disalurkan BPDPKS dari pungutan ekspor sawit sejak 2015-2019. Dari total Rp33,6 triliun, sekitar 89-90 persennya dialokasikan untuk insentif biodiesel. Nilainya mencapai Rp30,2 triliun.

Sementara, untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sebesar Rp2,7 triliun; untuk pengembangan dan penelitian Rp284,4 miliar; sarana dan prasarana Rp1,73 miliar; promosi dan kemitraan Rp208,561 miliar; serta pengembangan sumber daya manusia sekitar Rp140,674 miliar.

Menurut Virgy, BPDPKS semestinya bisa mengalokasikan dana lebih untuk melanjutkan program sawit berkelanjutan ketimbang untuk subsidi biodiesel. “Dana sawit ini sebenarnya bisa digunakan membantu petani, untuk mendapatkan legalitas lahan yang masih jadi masalah sampai sekarang,” ujarnya.

Lalu bagaimana sebenarnya alokasi biodiesel dari sawit?

Baca: Ketika Desa-desa di Jambi Ini Kedatangan Sawit, Hidup Warga Makin Sulit

 

Dana alokasi sawit yang ada saat ini masih digunakan untuk subsidi biodiesel ketimbang membantu petani. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Wilmar dan Musim Mas, merupakan pemasok bahan baku biodiesel terbesar untuk program B30 ke PT. Pertamina (Persero). Tahun 2020, Wilmar mendapatkan bagian 2.522.063 kiloliter lewat dua perusahaan: PT. Wilmar Bioenergi Indonesia dan dan PT. Wilmar Nabati Indonesia. Sementara Musim Mas sekitar 1.053.196 kiloliter.

Pada 2021, Wilmar kembali memasok 2.699.752 kiloliter biodiesel ke Pertamina dan Musim Mas 882.530 kiloliter.

Wilmar Group dan Musim Mas diketahui mendapatkan siraman insentif biodiesel paling besar. Tahun 2015, Wilmar Group dapat jatah 51,13% dari total dana insentif yang dianggarkan BPDPKS, sementara Musim Mas Group 19,61%.

Kemudian di 2016, Wilmar Group mendapatkan insentif 41,38% dan Musim Mas Group 16,69%. Pada 2017 Wilmar Group kembali mendapatkan 36,85 % dan Musim Mas Group 15,58%.

Selama 2015-2020, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit telah menyalurkan Rp 57,72 triliun untuk membayar selisih antara harga biodiesel dan solar, dengan volume biodiesel sebesar 23,8 juta kiloliter.

Untuk mengetahui hal ini, saya coba mengkonfirmasi Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, tapi pesan saya tidak direspon. Dua kali pesan WhatsApp dan pesan suara yang saya kirim untuk meminta wawancara, juga tidak dijawab.

Padahal, pernyataan BPDP menjadi penting untuk lanjutan riset saya. Ini terkait bagaimana para pemasok CPO kedua grup besar ini di Jambi, yang masih menyisakan persoalan konflik dengan warga setempat.

Baca: Cerita Susilawati, Melawan Perusahaan Sawit Demi Jaga Pangan dan Alam Sogo

 

Dana sawit sebenarnya bisa digunakan membantu petani, untuk mendapatkan legalitas lahan yang masih jadi masalah sampai sekarang. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pemasok CPO Wilmar dan Musim Mas

Perusahaan perkebunan sawit memang rawan konflik di Jambi. Badan Kesbangpol Muaro Jambi mencatat hingga 2021 terjadi 23 kasus konflik lahan. Enam perusahaan sawit terbesar di Muaro Jambi terlibat sengketa, salah satunya PT.BBS [Bukit Bintang Sawit].

Belasan tahun, sengkarut lahan BBS dengan masyarakat tak kunjung selesai. Mediasi yang difasilitasi tim terpadu juga mandek pada 2019 setelah warga memutuskan untuk menempuh jalur hukum.

PT. BBS merupakan pemasok minyak sawit untuk Wilmar Group dan Musim Mas. Pada 2016 Walhi Jambi pernah melayangkan surat aduan mengenai konflik lahan yang terjadi di perusahaan ini. Pascapengaduan itu, penjualan minyak sawit BBS sempat tersendat. Tetapi sekarang telah kembali pulih.

Corporate Communications Musim Mas, Chermaine Yap mengatakan, kasus PT. BBS telah ditutup pada April 2020 lalu. “Kami belum mendengar keluhan dari masyarakat terhadap BSS,” katanya seperti jawaban yang dikirim via email, Rabu [22 Desember 2021].

Merujuk website Musim Mas, dijelaskan bahwa pada Februari 2016, pihak Musim Mas telah meminta BBS melakukan klarifikasi terhadap sengketa yang terjadi dan meminta menyelesaikan masalah tersebut dengan kebijakan keberlanjutan. Pada Maret 2016, Musim Mas mengajak RSPO dan Walhi Jambi untuk menyelesaikan konflik tanah tersebut [dengan tiga desa]. Musim Mas sepakat dengan usulan Walhi Jambi untuk menghadiri pertemuan multi-stakeholder [semua pembeli, pemerintah daerah, komunitas, dan lainnya] guna mengetahui jelas informasi mengenai permasalahan pihak pemasok tersebut.

Pada Juni 2016, Sekretariat RSPO mengirimkan surat kepada Walhi Jambi, isinya menginformasi bahwa RSPO memiliki kewenangan terbatas untuk menangani kasus-kasus yang tidak terkait dengan anggotanya. RSPO, telah melibatkan semua anggotanya yang terkait dengan rantai pasokan BBS untuk memastikan, dialog dapat dilakukan. Sekretariat RSPO merekomendasikan penutupan kasus tersebut.

“Februari 2018, Bupati Muaro Jambi menegaskan, bahwa mereka mengambil langkah untuk menyelesaikan konflik tanah dengan mengatur pertemuan antara perusahaan dengan  masyarakat,” jelas web tersebut.

Namun, Musim Mas akan terus memantau situasi sosial dengan BBS dan masyarakat setempat, untuk kemungkinan masalah dan menghubungi BBS secara berkala untuk memeriksa statusnya.

Kata Yap, BBS telah berkomitmen untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat setiap kali ada keluhan tentang masalah ini.

Sementara pihak Wilmar yang saya konfirmasi menjelaskan, selama ini pihaknya telah berkomitmen sesuai kebijakan nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi (NDPE) di rantai pasoknya, terutama terkait aspek eksploitasi.

“Wilmar telah mengadopsi berbagai panduan FPIC—free, prior and informed consent—yang menjadi acuan,” jawab pihak Wilmar, Kamis [23 Desember 2021].

Apabila terjadi potensi pelanggaran terhadap kebijakan NDPE,  Wilmar menyebut, telah memiliki mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan, dan akan melakukan investigasi.

“Hasil dari investigasi akan menjadi acuan bagi Wilmar untuk menentukan konsekuensi status supplier.”

Baca: Para Pihak Ingatkan Lagi Program Biodiesel Rawan Ekspansi Lahan Sawit

 

Pengolahan sawit di pabrik. Peningkatan permintaan minyak sawit untuk program biodiesel, dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah menyebut, ketahanan pangan masyarakat di sekitar BBS terancam akibat pembukaan lahan sawit perusahaan. Tanggul dan kanal yang dibangun perusahaan membuat sawah cepat kering.

“Kalau musim kemarau sawah kering karena air ditanggul, tapi saat musim hujan banjir.”

Izin yang diterbitkan Bupati Muaro Jambi untuk BBS di daerah Pematang Kapas, Pematang Semeleng, Sungai Buayo, Pematang Cengal, dan Pematang Kapas merupakan nama-nama tempat yang disebut sebagai daerah hutan hantu pirau, hutan adat, atau hutan keramat. Pematang Cengal merupakan “kasang kering”.

Hutan larangan yang sebelumnya tidak boleh dibuka masyarakat karena dianggap keramat, kini habis dibabat. Wilayah itu juga merupakan habitat harimau sumatera, rusa, berbagai jenis burung, habitatnya jenis ikan seperti toman, baung, ikan tapa, belida, dan bujuk.

“Hitungan kami, lebih dari Rp50 miliar areal itu rusak dan belum dikalikan selama 10 tahun selama masyarakat tidak bisa mengolah lahan,” klaimnya. “Nilai kerugian itu belum termasuk kerusakan gambut yang kini rawan kebakaran setiap tahun,” tambahnya.

Baca: Ini Keuntungan Kalau Minyak Jelantah jadi Biodiesel

 

Seorang pekerja di perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Awal konflik

Konflik antara PT. BBS dengan masyarakat di Desa Sogo, Kecamatan Kumpe, Muaro Jambi, berawal Ketika perusahaan ini membuka jalan dari Kelurahan Tanjung menuju Desa Seponjen, pada tahun 2007.

Bupati Muaro Jambi — kala itu Burhanudin Mahir— memberikan izin lokasi seluas 1.000 hektar di Seponjen, melalui SK No.507 tahun 2007. Tiga bulan kemudian pihak BBS mengantongi izin usaha perkebunan.

Sudah tiga kali pergantian Bupati Muaro Jambi, tetapi konflik lahan di Desa Sogo, Seponjen, Pulau Tigo dan Tanjung belum juga selesai.

Konflik panjang membuat lebih dari 300 kepala keluarga warga di Sogo putus asa dan berakhir jadi buruh di perusahaan. “Kalau nak jadi buruh, terus gak cukup buat hidup,” ujar Roni, masyarakat Desa Sogo yang sudah 14 tahun berjuang menuntut tanah ulayatnya.

Roni adalah satu dari tujuh keluarga di Desa Sogo, Kecamatan Kumpe, Muaro Jambi yang masih bertahan tak mau menerima ganti rugi. Dia ingin tanahnya dikembalikan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali Roni dan istrinya, Noprianingsih bolak-balik turun ke jalan untuk demo, bertemu kepala desa, camat, hingga pegawai kabupaten. Tapi hingga kini belum ada hasil.

Keterangan Roni, mengingatkan saya pada Antoni, Sekretaris Desa Sogo. Saya pernah menemuinya 2019 lalu, saat konflik lahan masyarakat dengan BBS tengah panas.

“Desa Sogo dianggap tidak ada. Jadi tanah itu diklaim milik Tanjung dan dijual ke PT. BBS,” kata Antoni saat itu.

Keterangan Antoni mengantarkan saya menemui, Abu Bakar Jiddin, mantan ketua lembaga adat Kumpeh sekaligus tokoh masyarakat di Kelurahan Tanjung. Dia disebut-sebut terlibat pelepasan lahan milik Desa Sogo.

Mengenakan peci putih dan baju batik, pria lanjut usia itu duduk di kursi kayu yang dibalut bahan oscar merah. Dia kemudian menunjukkan sebuah surat perjanjian yang diteken oleh Penghulu (Kades) Sogo, Penghulu  Dusun Tanjung, Pesirah, dan Camat Kumpeh pada 1976 soal tapal batas Dusun—sekarang Kelurahan—Tanjung dengan Desa Sogo.

Dalam surat perjanjian itu tertulis arah (menuju) ke Jambi, Sungai Balam milik Tanjung. “Seberang Sungai Kumpeh menuju Talang Tanjung atau Parit Putus milik Kelurahan Tanjung,” katanya menjelaskan.

Sebelah hulu kanan Pematang Gedemamat ke Sungai Hantu, Batang Semi menuju Sungai Bekun menjadi milik Tanjung, sampai dengan Selat termasuk Batang Tanjung. Sedang Talang Belubang milik Dusun Sogo, sebelah laut menuju hulu. Sebelah barat menuju hulu hutan Tanjung berbatasan dengan Dusun Seponjen.

“Kelurahan Tanjung tidak berbatasan dengan Sogo, tetapi dengan Desa Seponjen,” tegas tetua kampung itu.

Berdasarkan surat lawas tersebut, Abu Bakar berusaha meyakinkan bahwa kebun sawit BBS yang diributkan bukan di wilayah Desa Sogo. “Bagian dia (Sogo) ada. Dari Parit putus berbatasan dengan Pulau Tigo milik Sogo. Parit Putus berbatasan dengan Sponjen milik Kelurahan Tanjung,” ujarnya.

Berdasarkan berita acara rapat tapal batas wilayah Kelurahan Tanjung dengan Desa Sogo 4 November 2008 ditetapkan bahwa batas Desa Sogo dengan Desa Tanjung dimulai dari Simpang Medang ke darat sampai Lubuk Gajah. Wilayah inilah yang diklaim kelompok Datuk Subak sebagai wilayah Tanjung dan dijual ke BBS.

Hasil kesepakatan ini kemudian dijadikan pedoman Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi untuk menetapkan batas wilayah Desa Sogo pada 2018. Sebelah utara Desa Sogo berbatasan dengan Desa Rantau Panjang dan Kelurahan Tanjung. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung. Sebelah selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Seponjen dan Desa Rantau Panjang.

Berdasar tapal batas ini, hasil pemetaan Badan Pertanan Nasional (BPN) Muaro Jambi, 797 hektar wilayah Sogo masuk dalam perkebunan BBS.

Baca juga: Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit

 

 

Diperkirakan, lebih dari 1 juta hektar lahan di Jambi menjadi izin sebanyak 186 perusahaan perkebunan. Luas ini hampir setara tiga kali wilayah Muaro Jambi. Data Dinas Perkebunan Jambi, mencatat sekitar 80 perusahaan memiliki izin hak guna usaha (HGU) seluas 248.000 hektar dari 962.000 hekatar izin usaha perkebunan (IUP) yang dikeluarkan permerintah.

Perkebunan sawit di Jambi, tersebar di Batanghari, Tebo, Merangin, Sarolangun dan Bungo, serta di tiga kabupaten dengan gambut terluas di Jambi, yakni Muaro Jambi, Tanjab Timur dan Tanjab Barat.

Pancapria, Kabid Pengembangan dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Jambi menjelaskan, tidak semua IUP yang dikeluarkan pemerintah dikuasai perusahaan. Dari 962.000 hektar, sekitar 500 ribuan hektar dikuasai perusahaan alias sudah ditanam.

Sektor perkebunan sawit memiliki dampak besar pada ekonomi masyarakat di Jambi. Pemerintah Jambi, mengupayakan perkebuan sawit berkelanjutan.

“Sekitar 1,5 juta warga di Jambi bergantung sawit,” jelasnya, pada pertengahan 2019 lalu.

Perkebunan sawit di Jambi, juga menyimpan potensi konflik cukup tinggi. Walhi Jambi pada 2019 saja mencatat, sebanyak 130 desa yang berada di lahan gambut, sekitar 84 desa berpotensi konflik dengan perusahaan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Dwinanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi, sebelumnya menjelaskan, bahwa konflik dipicu pada masalah pengelolaan. “Rata-rata, izin konsesi tidak dimitrakan dengan masyarakat sekitar. Sebagian, karena penguasaan lahan tidak clear,” paparnya.

Sebagaimana yang diingatkan Alin Halimatussadiah, ada empat tantangan besar mengenai keberlanjutan industri minyak sawit Indonesia di masa mendatang. Pertama, sertifikasi untuk petani swadaya harus ada, meski saat ini masih minim. Begitu juga dengan sertifikasi biofuel dan minyak goreng, sebagai justifikasi pengurangan emisi biofuel dan peluang ekspor.

Kedua, sawit di kawasan hutan. Sejauh ini, diperkirakan 3,4 juta hektar kawsan kebun sawit terindikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan. Ketiga, pencemaran air, udara, dan kebakaran hutan. Sebanyak 4.783 desa sawit, sekitar 24 persen mengalami pencemaran air, 15 persen mengalami pencemaran udara, dan 5 persen mengalami kebakaran hutan.

Keempat, tuntutan transisi energi. Kebutuhan terhadap biofuel untuk transisi energi di sektor transportasi, serta aspek keekonomian untuk pengembangan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) tidak boleh dilupakan.

“Terpenting adalah evaluasi terhadap kebijakan biofuel itu sendiri. Harus dilihat dari aspek menyeluruh, mulai dari sisi mandatori, subsidi, distribusi value chain, dan model distribusi,” paparnya.

***

Tulisan ini merupakan fellowship dari Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan mengenai Bahan Bakar Nabati.

 

 

Exit mobile version