Mongabay.co.id

Berkah dari Minyak Jelantah

 

Minyak goreng menjadi salah satu barang konsumsi utama masyarakat sehari-hari. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, penduduk Indonesia pun lebih akrab dengan penggunaan minyak goreng sawit ketimbang minyak goreng dengan bahan dasar lainnya.

Hal itu terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang mencatat permintaan minyak goreng sawit, terutama dari kalangan rumah tangga cenderung meningkat setiap tahun. Di mana pada 2020 saja, permintaan minyak goreng meningkat sebesar 17,35 juta ton atau 3,6%, lebih banyak dari tahun sebelumnya sebanyak 16,75 juta ton.

Tingginya permintaan itu diikuti meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap minyak goreng. Pada 2019 saja, Sekretaris Jenderal (Setjen) Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat konsumsi minyak goreng rumah tangga sekitar 2,43 juta ton. Sedangkan berdasarkan publikasi Indonesia Oilseeds and Products Annual 2019 diketahui bahwa konsumsi minyak goreng rumah tangga telah mencapai 13 juta ton atau setara dengan 16,2 juta kiloliter/tahun. Kondisi ini lantas menjadikan Indonesia sebagai peringkat pertama dengan tingkat konsumsi minyak goreng terbanyak di dunia, diikuti oleh India, China, dan Malaysia.

Tak heran jika kemudian residu minyak goreng sawit yaitu minyak jelantah (used cooking oil/UCO) juga banyak ditemukan. Berdasarkan kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia memperkirakan, dari konsumsi 13 juta ton minyak goreng, ada produksi minyak jelantah hingga 3 juta ton. Di mana 1,6 juta ton diantaranya didapatkan dari rumah tangga perkotaan besar.

Sayangnya, dari total minyak jelantah itu paling banyak hanya sekitar 1,95 juta ton atau sekitar 2,43 juta kiloliter saja yang digunakan untuk minyak goreng daur ulang yang nantinya dijual atau digunakan kembali untuk memasak. Kemudian sebanyak 148.380 ton atau 184.900 kilo liter diekspor dan sekitar 570.000 kilo liter digunakan untuk bahan baku biodiesel atau kebutuhan lainnya di dalam negeri.

baca : Para Mahasiswa Ini Jadikan Minyak Jelantah Beragam Energi Terbarukan

 

 

Sedangkan sisanya, berakhir di saluran-saluran pembuangan dan berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal, dari satu liter minyak jelantah yang dibuang ke saluran drainase, dapat mencemari setidaknya 1.000 liter perairan.

Sebaliknya, jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat atau dalam hal ini diolah menjadi biodiesel, 3 juta ton dapat menyumbang sekitar 32% dari total kebutuhan bahan bakar nabati (BBN) tersebut.

“Sebenarnya potensi produksi minyak jelantah bisa lebih tinggi. Karena siapa sih di Indonesia yang tidak makan gorengan? Dengan tingginya konsumsi minyak goreng, jelantahnya juga akan tinggi, begitu juga dengan potensi feedstock (pasokan) biodieselnya,” kata Manajer lembaga riset independen Traction Energy Asia Ricky Amukti, Kamis (2/12/2021).

Di Jakarta saja, lanjut Ricky, setidaknya ada potensi produksi minyak jelantah sebesar 12 juta liter atau 12.000 kiloliter per tahun. Angka itu hanya berasal dari konsumsi minyak goreng rumah tangga dan bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saja. Belum termasuk konsumsi dari sektor bisnis lainnya seperti hotel, restoran dan kafe.

“Dari rumah tangga dan UMKM saja sudah bisa menyuplai 20% dari feedstock biodiesel mereka (Jakarta) sendiri,” imbuhnya.

baca juga : Gara-gara Sampah, Berhasil Ubah Sabun dari Minyak Jelantah

 

Program sedekah minyak jelantah yang dijalankan Rumah Sosial Kutub. Hasil pengumpulan minyak jelantah itu dijual ke perusahaan energi di Eropa yang diolah menjadi biodiesel. Foto : Qonita Azzahra/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data PT Pertamina, pada tahun 2020 kuota biosolar (B30) di DKI Jakarta telah mencapai 703.517 kiloliter berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Hal ini pun diamini oleh Kepala Program Sedekah Minyak Jelantah dari Rumah Sosial Kutub Afiq Hidayatullah. Menurutnya, tingginya potensi limbah minyak jelantah terlihat dari pengumpulan UCO oleh pihaknya sebanyak 10-15 ton per bulan. Bahkan, sampai saat ini pengumpulan minyak jelantah yang dilakukan lembaga amil zakat di bawah Baznas Bazis DKI itu meningkat hingga 78%, yakni sekitar 180 ton. Angka ini jauh lebih tinggi dari pengumpulan di tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 100.000 liter minyak jelantah.

Selain di Jakarta, besarnya potensi UCO sebenarnya juga ada di kota-kota lainnya di seluruh Indonesia. Sebab, semakin banyak penduduk di suatu kota, akan kian banyak juga potensi minyak jelantah yang dihasilkan.

baca juga : Minyak Goreng Bekas Menumpuk? Jangan Buang, Manfaatkan Jadi Sumber Energi Ini…

 

Sementara itu, setelah terkumpul, Rumah Sosial Kutub yang telah bekerja sama dengan Suku Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta lantas mengekspor minyak jelantah tersebut ke perusahaan-perusahaan produsen biodiesel di Eropa. Dalam sekali ekspor, setidaknya 30-40 ton UCO berhasil dijual ke luar negeri dengan nilai sekitar 100 juta USD.

“Nanti hasilnya ini akan disalurkan untuk zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ziswaf-red), diberikan kepada mereka-mereka yang membutuhkan. Jadi kita menyalurkan ziswaf ini juga dari nilai tambah yang dihasilkan jelantah,” ungkap Afiq.

Selama ini, Indonesia memang telah mengekspor minyak jelantah yang merupakan bahan baku biodiesel ke berbagai negara, utamanya ke Eropa, Amerika Serikat (AS), Singapura, Korea Selatan, Tiongkok, bahkan ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Vietnam. Di sisi lain, nilai ekspor minyak jelantah pun terus mengalami peningkatan sejak 2014 lalu.

menarik dibaca : Ini Keuntungan Kalau Minyak Jelantah jadi Biodiesel 

 

 

Lebih lanjut, Afiq menjelaskan, ekspor menjadi pilihan utama alur lanjutan dari rantai ekonomi minyak jelantah. Sebab, selain memiliki nilai jual yang lebih tinggi, belum banyak pula produsen biodiesel di Indonesia yang melirik minyak jelantah sebagai bahan baku. Kalah jauh dengan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang sudah lebih dulu popular dan memiliki stok melimpah di tanah air.

“Dulu sempat ada perusahaan biodiesel di Bali yang menggunakan minyak jelantah untuk biodiesel solar, untuk bahan bakar kapal nelayan. Tapi nggak lanjut karena memang ongkos produksinya jauh lebih mahal dari bahan bakar fosil. Jadi kalau dijual di pasar ya harganya lebih mahal,” kata dia.

Bila Rumah Sosial Kutub mengumpulkan dan mengekspor jelantah dari hasil sedekah ibu-ibu dari berbagai daerah, lain dengan pemuda asal Riau Muhammad Rizky Ramadhan yang memilih menjalankan bisnis jual beli minyak goreng bekas. Alih-alih menjual minyak goreng bekas kepada masyarakat untuk diolah menjadi minyak goreng ‘yang sudah diperbarui’, dia menjualnya kepada perusahaan-perusahaan produsen biodiesel di Eropa dengan nilai jual tinggi.

Untuk mendapatkan minyak jelantah, Rizky membelinya baik dari masyarakat biasa di skala rumahan hingga di pengusaha-pengusaha rumah makan dengan harga Rp.5.500 per kilogram. “Untuk mengumpulkan minyak jelantah, kami ada Bank Jelantah yang mitranya sudah ada di kabupaten/kota se-Riau. Tujuannya untuk memudahkan masyarakat dalam menjual minyak bekas,” beber Pimpinan CV Arah Baru Sejahtera yang dihubungi beberapa waktu lalu.

Dibantu oleh pekerjanya, minyak jelantah yang dibeli kemudian disaring untuk memisahkan minyak dari sisa-sisa penggorengan. Minyak kemudian ditampung di dalam tangki yang memiliki kapasitas 20.000 liter. Dalam sebulan, Rizky mengaku bisa mengirim UCO hingga 60 ton ke Singapura dan beberapa negara lainya di Eropa.

baca juga : Limbah Minyak Goreng Teratasi, Mereka pun Panen Energi

 

Program sedekah minyak jelantah yang dijalankan Rumah Sosial Kutub. Hasil pengumpulan minyak jelantah itu dijual ke perusahaan energi di Eropa yang diolah menjadi biodiesel. Foto : Qonita Azzahra/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, menurut Manajer Traction Energy Asia Ricky Amukti, harga jual minyak jelantah di Eropa yang mencapai Rp14.000-Rp20.000 per liter jelas membuat para pengumpul UCO lebih tergiur untuk mengekspor limbah rumah tangga tersebut ke Benua Biru ketimbang mengolahnya sendiri di tanah air. Belum lagi, pasar minyak jelantah di Indonesia untuk penggunaan biodiesel masih belum sebanyak di luar negeri.

Hal ini lantaran harga biodiesel UCO yang jauh lebih mahal ketimbang bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari kelapa sawit. Pun dengan minyak fosil yang jauh lebih unggul dari sisi harga karena adanya subsidi dari pemerintah.

Padahal, jika produksi bahan bakar hijau bisa semakin masif ditambah dengan adanya pemberian insentif layaknya bahan bakar fosil, biodiesel UCO dapat menjadi salah satu penganekaragaman (diversifikasi) feedstock BBN, selain sawit. Belum lagi, jika sawit menjadi sumber tunggal bahan bakar bersih, Ricky khawatir akan adanya bahaya alih fungsi lahan mengancam hutan-hutan atau perkampungan adat nusantara.

“Penggunaan biodiesel memang mengurangi emisi CO2. Namun, jika dihitung dari analisis daur hidup (life-cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), alih fungsi lahan akan menyebabkan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi,” ujar dia.

Dengan pemanfaatan UCO, peluang untuk menekan emisi lebih rendah hingga dengan kisaran 80%-90% dibandingkan energi yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Ini lantaran bahan baku minyak jelantah bukan dari biodiesel generasi kedua atau biodiesel yang didapatkan dari sumber tanaman, tapi dari pemanfaatan minyak goreng yang sudah dipakai.

Selain itu, pemanfaatan UCO juga berpeluang mencegah adanya pembukaan lahan seluas 939 ribu hingga 1,48 juta hektare. “Jika UCO ini didorong untuk bahan baku biodiesel, maka masyarakat dapat menjual sisa minyak jelantahnya, dari pada mengonsumsi kembali,” imbuh Ricky.

baca juga : Cerita Menarik Pengolahan Jelantah Jadi Biodiesel di Bali

 

 

Meski memiliki potensi besar namun minyak jelantah untuk biodiesel belum dimanfaatkan dengan optimal. Salah satunya lantaran belum ada aturan jelas terkait penggunaan UCO. Hal ini disampaikan oleh Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan.

Dia bilang, seharusnya ada regulasi yang mengatur khusus penggunaan minyak jelantah untuh feedstock biodiesel. Dengan demikian, tidak akan ada lagi minyak bekas yang kemudian diolah kembali menjadi minyak goreng.

“Kalau bisa ditambah juga dengan insentif. Bahan bakar nabati dari apapun itu dibuatnya memang punya harga lebih mahal. Makanya butuh insentif agar bisa lebih terjangkau masyarakat,” ungkapnya saat saat dihubungi pada Selasa (14/12/2021).

Ketiadaan aturan terkait penggunaan minyak jelantah diakui Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna. Hal ini karena nilai ekonomi biodiesel dari UCO dipandang pemerintah masih terlalu tinggi.

Meski begitu, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan lembaga lainnya masih akan terus melihat seberapa besar kemungkinan jelantah untuk dijadikan bahan bakar, baik untuk kendaraan maupun kelistrikan.

“Untuk skala komersial (bahan bakar nabati) masih berasal dari sawit. Kalau untuk skala penelitian, mungkin banyak penelitian-penelitian misal dari biomassa atau jenis tanaman lain, tapi perlu dilihat keekonomiannya,” katanya, Senin (13/12/2021).

Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah Machmud mengungkapkan, dalam rangka antisipasi pengoplosan minyak jelantah, ke depan pemanfaaan minyak jelantah dapat difokuskan kepada biodiesel. Dengan konversi 5 liter minyak jelantah menjadi satu liter biodiesel maka potensi biodiesel menjadi 600.000 liter dari total jelantah yang dikumpulkan.

Saat ini, Indonesia memang sudah memanfaatan minyak jelantah untuk menjadi biodiesel dan pemanfaatan namun masih minim, yakni hanya berkisar 20% dari total minyak yang dikumpulkan atau hanya sebesar 570.000 kiloliter.

“Sedangkan sisanya digunakan sebagai minyak goreng daur ulang dan ekspor,” pungkasnya.

 

***

 

*Qonita Azzahra. Jurnalis media Alinea.id. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Exit mobile version