Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Jerat yang Lagi-lagi Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

 

Kasus matinya tiga individu harimau sumatera, seekor induk beserta dua anaknya, akibat jerat babi di kawasan hutan Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, pada Selasa [24/8/2021] lalu, membuat publik gerah.  

Masyarakat lokal yang melihat satwa liar dilindungi itu dalam kondisi mengenaskan, segera melaporkan ke personil Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah VI Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh dan ke personil Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh.

Saat dievakuasi, kondisi ketiganya telah membusuk. Sang induk, leher dan kaki belakang kirinya terjerat. Sementara, satu anak harimau terkena jerat kawat baja di leher dan satu individu lagi,  kaki kiri depan dan belakangnya terjerat.

Bupati Aceh Selatan, Tgk. Amran, pada Sabtu [11/09/2021] mengatakan, jerat yang membunuh tiga harimau di Kecamatan Meukek itu, sebenarnya dipasang seorang petani untuk mengamankan lahan pertaniannya dari serangan babi.

“Informasi yang saya dapat, babi hutan sering mengganggu kebun atau lahan pertanian masyarakat, sehingga mereka berinisiatif memasang jerat,” ujarnya.

Baca: Tragis, Tiga Harimau Sumatera Mati Akibat Jerat di Aceh Selatan

 

Jerat seling ini masih ditemukan di hutan Leuser, yang pastinya sangat mengancam kehidupan satwa liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menjelaskan, hingga saat ini jerat masih menjadi ancaman kehidupan harimau sumatera dan satwa dilindungi lainnya. Banyak yang terluka dan terbunuh karena perangkap ini.

“Operasi sapu jerat yang diperintahkan Ditjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] terus dilaksanakan BKSDA Aceh bersama lembaga  mitra,” ujarnya, Selasa [7/12/2021].

Agus mengatakan, pembersihan tetap dilakukan, selain memberikan pemahaman kepada masyarakat akan bahaya jerat bagi satwa liar.

“Kami bersama lembaga mitra juga berupaya agar setiap desa memiliki peraturan desa terkait keamanan satwa liar dilindungi, termasuk larangan pemasangan jerat,” ungkapnya.

Sebelumnya, pada 22 Januari 2021, seekor anak harimau sumatera jantan usia 1-1,5 tahun  terkena jerat babi yang dipasang di perbatasan kebun masyarakat dengan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Tepatnya, di Desa Gulo, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh.

Saat ditemukan, kaki kanan depannya terluka parah, sehingga harus mendapat perawatan intensif. Anak harimau seberat 50 kilogram ini dikembalikan ke habitatnya, pada 30 Januari 2021, setelah luka kakinya sembuh dan kondisinya sehat.

“Dia dipulangkan ke habitatnya di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser,” ujar Agus.

Baca: Menanti Terungkapnya Kasus Kematian Harimau Sumatera di Aceh Selatan

 

Beginilah kondisi harimau sumatera yang mati akibat jerat baja di Aceh Selatan, Aceh, pada 24 Agustus 2021 lalu. Foto: Dok. Chandra

 

Dekat lahan masyarakat

Koordinator Database Forum Konservasi Leuser [FKL], Ibnu Hasyim mengatakan, hingga saat ini jerat masih ditemukan tim patroli FKL di hutan Leuser.

“Umumnya, jerat dipasang berdekatan dengan lahan garapan masyarakat, tujuannya untuk mengatasi satwa yang dianggap hama, seperti babi hutan.”

Ibnu menyebutkan, jika dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah jerat yang ditemukan mulai berkurang. Adanya patroli diharapkan bisa menekan jumlah yang dipasang.

“Umumnya, harimau yang terluka akibat jerat, bukan sengaja dipasang untuk menyasar satwa pemakan daging itu,” ungkapnya, Senin [6/12/2021].

Baca: Lagi, Penjual Kulit Harimau Sumatera Ditangkap di Bener Meriah

 

Tiga harimau ini mati akibat jerat. Foto: Dok. Chandra

 

Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], Panut Hadisiswoyo mengatakan, hingga sekarang tim patroli masih menemukan jerat, termasuk di dalam kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser.

“Harus kita akui, jerat kawat baja atau tali nilon tidak hanya melukai satwa dilindungi, tetapi juga dapat membunuh satwa liar yang ada. Jerat yang ditemukan, lebih banyak berada di kawasan hutan yang berdekatan dengan lahan garapan atau kebun masyarakat,” ujarnya.

Panut menambahkan, jerat yang dekat lahan masyarakat harus diselidiki lebih lanjut, apakah murni karena ingin menjaga areal garapan dari hama, atau ada tujuan lain.

“Misalnya babi, yang keberadaannya dekat lahan garapan masyarakat, dengan sendirinya akan menuntun satwa pemangsa seperti harimau datang mencari buruan. Kita khawatir, pemburu memanfaatkan situasi ini,” jelasnya.

Baca: Jual 3 Lembar Kulit Harimau Sumatera, Warga Aceh Tenggara Ditangkap

 

Inilah kawat jerat yang menyebabkan kematian tiga individu harimau sumatera di Aceh Selatan, Aceh, pada 24 Agustus 2021 lalu. Foto: Dok. Chandra

 

Tipikal pemasang jerat

Dwi Nugroho Adhiasto, pakar perdagangan satwa liar, kepada Mongabay Indonesia secara khusus mengatakan, jika kita cermati kejadian ini ada dua persoalan penting yang harus dibahas. Tentang jerat dan perburuan harimau. Harus diakui, masalah jerat ada yang berkaitan langsung dengan perburan dan juga tidak.

“Kita harus memastikan, apa motif pelaku memasang jerat,” jelasnya, baru-baru ini.

Pemasangan jerat bisa dilihat dari, pertama, pelaku memang profesional. Hidupnya hanya didedikasikan untuk dunia jerat-menjerat, mencari satwa buruan untuk diperjualbelikan. Tipe ini memiliki jaringan dengan sindikat perdagangan satwa liar.

Kedua, tipikal oportunis, yaitu memasang jerat tanpa target sehingga apa yang didapat itulah hasilnya. Ketiga, untuk kebutuhan sehari-hari. Artinya, jerat dipasang untuk mendapatkan satwa, untuk dimakan dan tidak ada kaitannya dengan bisnis.

“Perbedaan mendasar ketiganya dapat dilihat dari alat yang digunakan.”

Memang benar, ada pihak yang mengatakan bahwa jerat itu tidak ada mata. Tapi sesungguhnya, pemasang jerat itu tahu persis lokasi pemasangannya, karena dia yang punya keinginan.

Berkaca pada kasus kematian harimau di Aceh Selatan, kita ketahui, tujuan awal pemasangan jerat dikatakan untuk menangkap babi. Jerat aring yang dipasang itu, ditebar di jalur lintasan satwa. Dalam beberapa kasus, jerat ini bisa dipasang sepanjang satu kilometer.

Baca: Profesi Tidak Biasa Sarwani Sabi, Pawang Harimau Sumatera

 

Begini jerat yang dipasang dengan tujuan untuk menangkap babi, namun berpotensi melukai bahkan membunuh satwa liar dilindungi seperti harimau. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kenapa dibuat panjang dan banyak? Karena untuk mendapatkan sebanyak mungkin babi yang selalu berkelompok. Babi yang merupakan mangsanya harimau, bisa saja menuntun harimau ke arah jerat ini.

“Dikarenakan motif pemasangannya berbeda, maka perlakuan kepada pemasang jerat juga tidak bisa sama. Jika yang melakukan profesional, intervensinya jelas, langkah penegakan hukum yang diambil. Nah, problem terbesar pada kasus di Aceh Selatan adalah jerat, karena pelakunya bukan profesional, hanya ingin menjerat babi yang merusak tanamannya” ujar Dwi.

Apa yang harus dilakukan untuk menertibkan jerat? Dwi menyatakan, harus ada regulasi. Tanpa aturan tegas, masalah ini akan terus terjadi. Selama ini, isu jerat kalah pamor ketimbang satwa yang mati akibat jerat itu sendiri. Memang, ada operasi pembersihan yang dilakukan, namun kegiatan tersebut sifatnya reaktif. Tidak menyentuh akar permasalahan.

“Harus ada aturan resmi, karena sangat berbahaya bagi kehidupan satwa liar.”

Baca: Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan

 

Jerat ini dipasang memanjang bahkan bisa sepanjang satu kilometer dengan tujuan untuk menangkap babi, namun sangat membahayakan satwa liar lainnya. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan motif perburuan harimau? Tentunya, berhubungan erat dengan pasar gelap. “Selama pasar terbuka dan tidak terdeteksi aparat, para pemburu dan jaringannya yang rapi itu akan terus beraksi,” lanjutnya.

Atau, selama efek jera yang ada dosisnya minim, para pelaku kejahatan akan terus melakukan perbuatannya. Ingat, prinsip kejahatan adalah selama benefit yang didapat lebih tinggi ketimbang risiko, para pelaku akan nyaman untuk melanggar hukum.

Untuk itu, kita harus mengidentifikasi. Pertama, pasar, untuk harimau adalah domestik dan internasional. Kulit paling laku dijual di dalam negeri. Mengapa? Paling banyak user itu di Indonesia dan harga penawarannya juga paling tinggi. Sementara, tulang dan taring harimau lebih banyak dijual ke luar negeri. Terutama tulang, biasanya digunakan sebagai bahan campuran obat tradisional China.

“Tulang harimau biasanya direbus dengan campuran rempah yang dinamakan tiger bone glue,” terangnya.

Kedua, para pemburu bisa menyimpan kulit harimau dan bagian-bagian tubuhnya itu seperti tulang, taring, kumis dalam jangka waktu lama. Sehingga, mereka bisa mengatur kapan waktu yang tepat untuk dijual. Ketika situasi cukup aman, mereka bergerak.

“Inilah kenapa di para penampung, stok kulit harimau dan bagian tubuhnya selalu ada dan banyak. Mereka tidak pernah khawatir barang haram hasil perburuan itu akan rusak.”

Ketiga, perburuan dan perdagangan harimau melibatkan jaringan nasional dan internasional. Untuk memberantasnya, maka kita harus bekerja sama juga dengan seluruh pihak, dalam dan luar negeri, untuk memberantasnya. Kolaborasi trans-nasional.

“Semua rantai perdagangan harus dihentikan, mulai pemburu, penampung, hingga pembeli. Ini merupakan tugas berat dan harus dilakukan. Ingat, selama pasar masih ada, dalam dan luar negeri, selama itu pula perburuan terjadi,” paparnya.

Baca: Harimau Sumatera Mati di Aceh Selatan, BKSDA: Keracunan Setelah Mangsa Kambing

 

Jerat yang dibersihkan tim patroli Forum Konservasi Leuser di hutan Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pencegahan perburuan sebaiknya dilakukan berbarengan dengan penegakan hukum. Ini dikarenakan, yang menangani kasus kejahatan satwa liar tidak hanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], ada juga Kepolisian, Balai Karantina, dan Bea Cukai.

Jika kita mengharapkan adanya proteksi khusus di suatu kawasan, tentu saja ini tidak akan mengurangi aktivitas di wilayah lain, misal pencegahan penyelundupan satwa liar di perbatasan negeri atau melalui bandara.

“Ini dikarenakan semua pihak turut menjalankan fungsinya, menangani tidak kejahatan tersebut. Wilayah hulu harus diperketat dengan patroli, sehingga perburuan dan perdagangan bisa ditekan. Dengan begitu, pasokan tidak ada,” ujarnya.

Baca jugaMasa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita

 

Begini kondisi harimau yang kena jerat pada 22 Januari 2021. Kaki kanan depannya terluka. Foto: Dok. Forum Konservasi Leuser

 

Enam bentang alam prioritas

Hariyo T. Wibisono, praktisi konservasi harimau sumatera, menuturkan upaya perlindungan harimau sumatera yang dilakukan Pemerintah Indonesia bersama para mitra mengalami kemajuan dalam 10 tahun terakhir.

“Ini terlihat mulai dari proteksi habitat, status pemantauan populasi, kemitraan, pengungkapan perdagangan ilegal, serta kegiatan penyadartahuan yang semua itu sudah berjalan baik,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia, belum lama ini.

Namun begitu, lanjut dia, kita semua tidak boleh lengah terhadap ancaman populasi harimau dengan sejumlah indikasi yang terlihat nyata. Misal, konflik manusia dengan harimau masih terjadi di sejumlah wilayah, terutama di daerah yang tutupan hutannya tidak terlalu baik untuk harimau.

“Begitu juga perburuan dan perdagangan ilegal harimau sumatera yang benar-benar nyata adanya.”

Penyebaran virus African Swine Fever [ASF], harus kita waspadai, yang sudah merebak di wilayah Sumatera. Virus ini mengancam kematian babi hutan, yang seperti kita ketahui babi hutan merupakan mangsa utama harimau.

“Memperoleh data sebaran babi hutan tentunya sangat sulit. Berdasarkan indikasi dan sejumlah publikasi/laporan yang saya pelajari, di beberapa lanskap harimau didapati bahwa jumlah babi hutan menurun. Kondisi ini tentunya harus kita dalami lagi, apakah karena dampak ASF atau hal lain.”

Artinya adalah, sebelum kita terlalu optimis melakukan aksi konservasi, kita harus teliti, jernih, dan jujur melihat menyeluruh kondisi tiga faktor tersebut.

“Kita tidak boleh main-main melakukan upaya perlindungan harimau sumatera yang berstatus Kritis [Critically Endangered],” terangnya.

 

Malelang Jaya, harimau sumatera yang telah dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Sebelumnya, harimau ini terkena jerat pada 18 Oktober 2020. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam tulisan berjudul Harimau Sumatera: Sekelumit Cerita dari Suatu Perjalanan Panjang, Hariyo yang merupakan pendiri dan Anggota Dewan Penasehat Forum HarimauKita menjelaskan, melalui dokumen NTRP [National Tiger Recovery Program], Pemerintah Indonesia memandatkan penguatan upaya konservasi harimau di enam bentang alam prioritas, yaitu Leuser – Ulu Masen, Kerinci Seblat – Batang Hari, Kampar – Kerumutan, Bukit Tiga Puluh, Berbak – Sembilang, dan Bukit Barisan Selatan.

Aksi prioritas NTRP meliputi pemantauan populasi, satwa mangsa, ancamannya, patroli hutan adaptif, dan mitigasi konflik antara manusia dengan harimau.

“Indonesia juga memiliki dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera [STRAKOHAS] periode 2007 hingga 2017, yang kini tengah diperbaharui.”

Hariyo dan kolega, pada 2010 telah mengevaluasi keberadaan harimau sumatera di 33 bentang alam sekitar 250 km2. Hasilnya, harimau sumatera masih dapat dijumpai di 27 bentang alam, yang meliputi kawasan seluas 140.000 hektar, yang 29 persen merupakan areal dilindungi dan sebagian besar lainnya merupakan taman nasional.

“Sementara, pada dua bentang alam lainnya diperkirakan masih ada harimau, sedangkan pada empat bentang lagi diperkirakan sudah punah,” jelasnya.

Tahun 2016, kajian kesintasan populasi harimau sumatera dilakukan lagi pada 29 bentang alam yang sama. Hasilnya, harimau sumatera hanya ditemukan pada 23 bentang alam. “Artinya, dalam enam tahun, harimau sumatera tidak ditemukan lagi dalam sepuluh bentang alam.”

Bagaimana ancaman perburuan dan matinya harimau akibat konflik dengan manusia?

Hariyo menuliskan, sebuah kajian menyeluruh mengungkapkan, sejak 2001 hingga 2016,  delapan individu harimau menjadi korban konflik, setiap tahunnya. Kajian lain mengenai perdagangan harimau global antara tahun 2000 hingga 2018, menempatkan Indonesia sebagai negara pemasok bagian tubuh harimau ketiga tertinggi di dunia, setelah India dan Thailand.

“Jika kajian dikerucutkan, berdasarkan laporan TRAFFIC Southeast Asia, mulai 2012 hingga 2018, Indonesia justru menempati peringkat pertama pemasok bagian tubuh harimau dalam perdagangan internasional.”

Pesan penting dari semua peristiwa ini adalah ancaman terhadap eksistensi harimau sumatera akan selalu ada. “Kita semua memiliki peran untuk menyelamatkan, dengan kerja sama yang didasari kapasitas keilmuan kita,” paparnya.

 

 

Exit mobile version