Mongabay.co.id

Menonton Film Don’t Look Up di Hadapan Krisis Iklim

Poster film Don't Look Up. Sumber : Netflix

The good Earth—we could have saved it,

but we were too damn cheap and lazy.

Kurt Vonnegut

 

Kutipan kalimat dari buku Vonnegut yang terbit tahun 2005, A Man without a Country, itu terus menggedor kepala saya setiap kali melihat polah para tokoh di film terbaru Adam McKay, Don’t Look Up. McKay diberkati dengan kemampuan menuliskan komedi dan satire yang dahsyat, hingga selama bertahun-tahun menjadi penulis buat pertunjukan popular Saturday Night Live (SNL). Dari situ ia menulis dan menyutradarai film-film komedi laris seperti Anchorman, Talladega Nights dan The Other Guys, yang ditulis bersama dan dibintangi oleh Will Ferrell.

Sebagai penggemar canda, saya menonton semua film itu. Tetapi, bukan itu semua yang membuat saya kagum pada McKay. Di tahun 2015 dia menulis dan menyutradarai The Big Short, sebuah film tentang latar belakang krisis finansial 2007-2008, yang benar-benar banjir pujian.

Kalau film yang membuat McKay ditempatkan sebagai pembuat film serius itu adalah tentang kerusakan ekonomi gegara keserakahan segelintir orang, film terbarunya ini adalah tentang kehancuran dunia lantaran komet. Atau lebih tepatnya, lantaran seluruh tindakan yang mungkin dilakukan untuk mencegah kehancuran dunia karena datangnya komet itu tak dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Amerika Serikat. Mengapa tak bersungguh-sungguh di hadapan ancaman eksistensial seperti itu? Karena keputusan yang diambil ditunggangi beragam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi mega donornya.

Film ini memang adalah kritik atas cengkeraman oligarkhi dan dampaknya pada kehidupan, yang dibuat sebagai satire. Apakah kritiknya menggigit? Saya rasa begitu. McKay menggandeng David Sirota, jurnalis jempolan, penulis di The Guardian dan Jacobin, sekaligus penulis pidato Bernie Sanders. Kritik Sirota atas cengkeraman penguasa kotor terhadap Pemerintah AS bisa dibaca misalnya di Hostile Takeover: How Big Money and Corruption Conquered Our Government And How We Take It Back (2006) dan The Uprising: An Unauthorized Tour of the Populist Revolt Scaring Wall Street and Washington (2008). Kalau para penonton kemudian berpikir bahwa ini adalah film yang sangat kiri, memang demikian adanya.

baca : Film Kinipan: Potret Kerusakan Hutan dan Masyarakat yang Tersingkir

 

Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence) mendiskusikan temuan komet yang akan menabrak bumi dengan Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) dalam Film Don’t Look Up. Foto : Netflix

 

Film ini dimulai dengan Kate Dibiasky –yang dimainkan dengan gemilang oleh Jennifer Lawrence– seorang kandidat PhD astronomi Michigan State University sedang mengintip langit dengan Teleskop Subaru. Ia menemukan objek bergerak dekat Bumi yang sebelumnya tidak diketahui. Ia kemudian menghubungi profesornya, Dr. Randall Mindy, yang diperankan Leonardo DiCaprio, yang segera melakukan perhitungan lintasan. Mereka berdua terkejut lantaran hitungannya menunjukkan bahwa komet yang ukurannya besar itu akan menubruk Bumi dalam waktu enam bulan saja. Ukurannya sendiri cukup besar untuk menyebabkan peristiwa kepunahan di seluruh penjuru Bumi.

Ditemani oleh kepala Kantor Koordinasi Pertahanan Planet NASA Dr. Teddy Oglethorpe (Rob Morgan), Dibiasky dan Mindy mempresentasikan temuan mereka ke Gedung Putih. Setelah menunggu lebih dari satu hari, temuan mereka disambut dengan sikap anggap enteng dari Presiden Janie Orlean (dimainkan dengan brilian oleh Meryl Streep) dan Kepala Staf Gedung Putih yang adalah putra sang presiden sendiri, Jason Orlean (Jonah Hill). Di bagian ini, saya teringat pada kalimat “Every disaster movie starts with the government ignoring a scientist” yang kerap nongol di berbagai demonstrasi terkait krisis iklim.

baca juga : Film: Tenggelam Dalam Diam Dampak Krisis Iklim

 

Foto : pinterest

 

Lantaran krisis itu tak ditanggapi dengan serius oleh Sang Presiden—yang lebih mengkhawatirkan pemilihan sela—Oglethorpe kemudian mendesak Dibiasky dan Mindy untuk membocorkan berita tersebut ke media massa. Tapi, mereka juga tak mendapatkan sambutan memadai dari kanal yang serius. Mereka akhirnya melakukannya di acara bincang-bincang pagi yang dipandu oleh Brie Evantee (Cate Blanchett) dan Jack Bremmer (Tyler Perry). Acara bincang-bincang itu memang dimaksudkan untuk trivialisasi segala hal. Jadi, jelas kedua pembawa acara tidak menganggap serius ancaman itu. Apalagi, mereka tampil di segmen kedua setelah di segmen sebelumnya bintang popular Riley Bina (Ariana Grande) berbaikan dengan pacarnya, DJ Chello (Scott Mescudi).

Dibiasky yang masih berdarah muda itu kehilangan kesabarannya lalu meledak. Alih-alih orang kemudian menjadikan orang-orang khawatir, ledakan emosi itu memicu ejekan daring yang meluas. Pacar Dibiasky, Phillip (Himesh Patel) secara terbuka juga mencelanya, dan mereka berdua pun mengakhiri hubungan asmaranya. Sementara itu, Mindy lebih mendapat perhatian publik, sebagai astronom yang bijak dan tampan. Namun tetap saja, berita tentang ancaman komet mendapat sedikit perhatian publik. Apalagi kemudian ancaman serius dari tubrukan komet itu sendiri malah dibantah secara terbuka oleh Direktur NASA, yang disebut sebagai donor utama Sang Presiden, yang tidak memiliki latar belakang astronomi. Kalau semua hal tentang Presiden Orlean mengingatkan kepada Presiden Donald Trump, memang begitu agaknya tujuan McKay dan Sirota.

Ketika Presiden Orlean terlibat dalam skandal seks –lagi-lagi adalah ciri kepresidenan Trump– ia memanfaatkan isu komet itu untuk mengalihkan perhatian publik dan meningkatkan popularitasnya. Ia mengkonfirmasi ancaman komet, lalu mengumumkan proyek untuk meluncurkan pesawat ruang angkasa yang dapat menghancurkan komet dan mengalihkan pecahannya ke luar trajektori dengan menggunakan senjata nuklir. Pesawat ruang angkasa itu berhasil diluncurkan, di bawah pimpinan Kolonel Benedict Drask (Ron Perlman) yang bermulut comberan. Kalaulah misi itu terus berjalan, maka penonton akan melihat tiruan film Armageddon, dengan Drask sebagai pahlawan tunggal. Tetapi, hanya beberapa saat setelah meluncur, semua roket dan pesawat ulang alik itu dipaksa untuk berbalik arah oleh Presiden Orlean.

Apa yang terjadi? Peter Isherwell –dimainkan oleh Mark Rylance, yang mencuri perhatian penuh setiap dia muncul di layar–, yang disebut sebagai orang ketiga terkaya di dunia sepanjang sejarah, CEO dari korporasi teknologi BASH (bourne against shell), dan donor utama Orlean, rupanya menemukan bahwa komet itu terdiri dari unsur-unsur tanah jarang yang bernilai triliunan dolar. Presiden Orlean setuju untuk mengeksploitasi komet secara komersial. Alih-alih menghancurkannya dan membelokkannya ke angkasa luar, Isherwell merencanakan memecah komet itu menjadi beberapa bagian, membawanya ke laut, lalu mengambilnya. Tampilan presentasi atas teknologi baru yang diusulkan oleh BASH itu memukau, sehingga tampak meyakinkan, walau sesungguhnya sains yang berada di baliknya belum lah melewati peer review.

Atas nama kemendesakan, kekuasaan, dan kepentingan ekonomi, kebutuhan untuk memastikan kehandalan sains dan teknologi itu diabaikan. Lebih jauh lagi, Dibiasky dan Oglethorpe, yang semakin kritis, disingkirkan. Mindy yang lebih bisa memilih kata-kata bernasib sebaliknya, diangkat menjadi Penasihat Sains Nasional. Dalam keputusasaannya, di sebuah bar Dibiasky meneriakkan rencana Pemerintah AS yang bisa membuat komet menghantam Bumi. Teriakannya memicu kerusuhan di bar, lalu segera menyebar ke seluruh dunia. Tentu, Pemerintahan Orlean kemudian mengancam Dibiasky agar tak bersuara.

baca juga : Sexy Killer, Ketika Industri Batubara Hancurkan Lingkungan dan Ruang Hidup Warga

 

Adegan dalam Film Don’t Look Up. Sumber : Netflix

 

Di sisi lain, Mindy yang semakin menjadi ‘orang Gedung Putih’ malah mengadvokasi peluang komersialisasi komet. Dia juga mulai berselingkuh dengan si pembawa acara cantik, Evantee. Tak butuh waktu lama, istri Mindy mengetahui soal perselingkuhan itu, dan mendatangi mereka di Washington. Tertangkap basah, Mindy jelas merasa bersalah namun tetap memilih menjalankan tugas—atau memertahankan bara asmara baru—di ibukota.

Pada saat itu, pendapat dunia terbagi di antara mereka yang menuntut penghancuran total komet, mereka yang mencela alarmisme dan mendukung penambangan komet dengan alasan penciptaan lapangan kerja baru, serta mereka yang menyangkal bahwa komet itu ada. “Don’t look up!” adalah teriakan mereka yang—atas kampanye dari partai politik Orlean—mau menyangkal keberadaan komet atau setidaknya menganggap bahwa komet itu adalah ancama yang dilebih-lebihkan.

Dalam kekacauan itu, Dibiasky pulang ke Illinois dan memulai hubungan dengan Yule (Timothee Chalamet). Mindy yang muak dengan Pemerintahan Orlean, dan menyadari kesalahannya, pulang ke kampung halaman bersamaan dengan mulai terlihatnya komet dari Bumi. Mindy, Dibiasky, dan Oglethorpe lalu mengorganasikan kampanye besar-besaran untuk meminta PBB dan negara-negara lain untuk melakukan operasi membelokkan komet.

Tiongkok, India dan Rusia yang tadinya ikut dalam kesepakatan penambangan komet, ternyata kemudian dikhianati AS. Isherwell tak mau berbagi kekayaan mineral dengan perusahaan-perusahaan dari ketiga negara itu.   Ketiganya lalu melakukan upaya bersama untuk membelokkan komet, tetapi—entah karena persiapan yang tak matang atau karena sabotase—pesawat ruang angkasa mereka meledak saat diluncurkan. Upaya korporasi BASH untuk memecah komet juga akhirnya gagal, dan komet tetap mengarah ke Bumi dalam ukuran yang akan membawa kehancuran.

Ketika seluruh dunia harus menghadapi kehancuran, Isherwell, Orlean (yang melupakan dan meninggalkan anaknya), serta orang-orang kaya lainnya melarikan diri dari Bumi dengan pesawat ruang angkasa yang dirancang untuk menjaga penumpangnya tetap hidup dengan teknologi kriogenik saat mencari planet mirip Bumi terdekat. Sebetulnya Presiden Orlean menawarkan Mindy dua tempat di pesawat itu, tetapi Mindy menolaknya. Mindy yang telah berbaikan dengan istrinya memilih untuk menghabiskan saat-saat terakhirnya bersama seluruh anggota keluarganya, Dibiasky, Yule, dan Oglethorpe. Pada perjamuan terakhir—atau Perjamuan Terakhir—itu kebutuhan untuk mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa dirasakan, dan tak dinyana, Yule-lah yang bisa memberikan hal itu melalui doa yang indah. Dunia kemudian hancur lebur dihajar komet.

Adegan kemudian berpindah 22.740 tahun kemudian. Orang-orang terpilih yang meninggalkan Bumi itu akhirnya mendarat di planet asing yang subur. Mereka keluar dari pesawat ruang angkasa dalam kondisi telanjang. Presiden Orlean, yang membelakangi layar hingga terlihat tato di bagian bawah punggungnya, mendekati makhluk asing seperti burung raksasa dengan warna yang indah. Makhluk yang disebut Bronteroc oleh Isherwell itu menyambut kedatangan Orlean dengan antusiasme melihat pakan, dan segera terdengar suara kepala Orlean yang pecah di dalam mulutnya. Sementara manusia-manusia itu masih kebingungan, makin banyak Bronteroc yang mendekat, memberikan kesan bahwa setelah perjalanan menyelamatkan diri yang panjang, akhirnya nasib buruk menyergap mereka semua.

Film ini jelas tak bisa membuat orang bersepakat. Ketika tulisan ini saya buat, agregat pendapat para kritikus di situs Rotten Tomatoes hanya memberikan nilai 55%, sementara nilai dari para penonton adalah 77%. Para penonton di Netflix memberikan nilai 82%. Artinya, para penonton jauh lebih menyukainya dibandingkan para kritikus yang pendapatnya cenderung terbelah. Jelas, tak ada penampilan buruk dari seabreg aktor yang ada di dalamnya, walau buat saya bintang Rylance-lah yang paling bersinar di situ.

Film ini memang tak sempurna—jelas kalah rapi dengan The Big Short, yang secara meyakinkan membuat rerata skor kritikus 89%—dan punya ruang perbaikan yang luas dalam cerita, dialog, maupun penyuntingan. Tetapi, menurut hemat saya, nilai rerata 55% dari kritikus itu keterlaluan. Ada banyak film yang lebih buruk telah diganjar nilai yang lebih tinggi.

menarik dibaca : Sexy Killers : Pertambangan dan/atau Pembangunan Berkelanjutan? [1]

 

Kenyataan Krisis Iklim

Kalau banyak kritikus tak menyukai muatan politik yang kelewat berat di situ, saya sama sekali tidak keberatan, bahkan mendukung pengungkapannya. Saya melihat relevansi film itu lantaran memang begitulah tantangan yang dihadapi mereka yang mau mengingatkan bahwa Bumi dan seisinya sedang menghadapi bahaya besar. Jelas, waktu yang tersisa buat kita bukan 6 bulan sebagaimana di film itu, tetapi beberapa dekade yang tersisa untuk menghindarkan diri dari kepunahan massal lantaran krisis iklim jelas bukan waktu yang panjang.

Sudah beberapa dekade para ilmuwan mengingatkan soal bahaya pembangunan yang tak berkelanjutan, dan kebanyakan dianggap remeh, karena kepentingan ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana yang ditunjukkan film itu. Dalam makalah terbaru Gaya Herrington, Update to Limits to Growth: Comparing the World3 Model with Empirical Data (2021), ditunjukkan bahwa dunia tetap sedang menuju bahaya besar pada waktu sebagaimana yang diramalkan oleh Limits to Growth di tahun 1972.

Buku terbaru Michael Mann, The New Climate War: The Fight to Take Back the Planet, memberikan gambaran detail tantangan apa saja yang dihadapi mereka yang mau membuat dunia terhindar dari bencana iklim yang menjadi ancaman eksistensial ini. Kelindan kepentingan politik dan ekonomi memang seperti yang digambarkan di film itu, dan untuk itu umat manusia perlu berterima kasih pada McKay.

Saya sendiri adalah orang yang terus bekerja di dalam dan di luar perusahaan untuk memastikan bahwa mereka menjadi lebih bertanggung jawab atas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Saya punya banyak cerita sukses, namun tak membutakan diri dari kenyataan bahwa mayoritas perusahaan masih jauh dari tanggung jawab yang memadai—apalagi dalam urusan perubahan iklim.

baca juga : Sektor Pertambangan dan SDGs: Kawan atau Lawan?

 

Alat berat yang sedang bekerja di kanal yang menjadi bagian dari sistem drainase sebuah perkebunan kayu untuk industri bubur kertas (pulp) di Sumatera. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Memang ada perusahaan-perusahaan progresif, tetapi kebanyakan perusahaan melakukan mitigasi dan adaptasi dengan asal-asalan. Mereka bahkan memengaruhi pemerintah untuk tidak membuat kebijakan yang tegas melindungi generasi muda dan mendatang, atau setidaknya menunda kebijakan yang seperti itu. Percaya sepenuhnya, tanpa kritisisme yang sehat, pada mekanisme pasar dan teknologi yang dipromosikan perusahaan akan menyelamatkan umat manusia—seperti yang dipromosikan BASH dan Isherwell di film ini—juga sangat berisiko.

Pengaruh buruk perusahaan dan para pemiliknya itu jelas ada di depan mata, dan karenanya kita butuh lebih banyak lagi satire seperti karya McKay, juga film-film dari berbagai genre, termasuk dokumenter, untuk membantu kita mengingatkan atas tersebut. Kita memang perlu bekerjasama dengan perusahaan, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

Namun, mereka yang bisa diajak bekerjasama hanyalah yang sungguh-sungguh mau menggapai keberlanjutan. Seperti yang diingatkan oleh Raz Godelnik dalam buku Rethinking Corporate Sustainability in the Era of Climate Crisis: A Strategic Design Approach (2021), perusahaan-perusahaan sudah tak bisa lagi mengandalkan business case for sustainability yang hanya mau melakukan inisiatif keberlanjutan ketika jelas keuntungan ekonominya.

Kini, di hadapan ancaman kehancuran seluruh peradaban, perusahaan-perusahaan perlu menegakkan logika sustainability case for business, yaitu bahwa bisnis hanya layak dijalankan apabila memang berkontribusi pada keberlanjutan dan keselamatan Bumi dan seluruh isinya.

 

***

 

*JalalReader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version