Mongabay.co.id

Menyoal Keterlibatan Militer dalam Proyek Food Estate

 

 

 

 

Pandemi COVID-19 jadi alasan pemerintah mengembangkan proyek pangan skala besar (food estate) guna mengantisipasi terjadi krisis pangan. Jutaan hektar lahan di beberapa provinsi bakal dibuka untuk food estate ini. Di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, sudah mulai sebagian, menyusul Papua. Pemerintah dapat sorotan kala dalam pelaksanaan melibatkan militer. Menteri Pertahanan ditunjuk sebagai koordinator pembangunan pangan skala besar ini.

Proyek food estate ini juga banyak menuai kritik dari berbagai pihak termasuk di Papua. Presiden Joko Widodo dinilai mengabaikan peran masyarakat dalam menyediakan pangan, memperparah perampasan lahan, dan rawan kerusakan lingkungan.

Muhamad Haripin, peneliti Pertahanan dan Keamanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, pelibatan militer di proyek food estate cenderung menurunkan profesionalitas militer.

“Dalam studi sosial pada intinya militer itu untuk mengelola kekerasan. Militer ini institusi atau birokrasi yang dilatih untuk membunuh musuh, mengalahkan musuh. Pekerjaannya terkait erat dengan kekerasan,” katanya dalam diskusi daring Yayasan Pusaka, beberapa waktu lalu.

Pada militer profesional di bawah negara seperti TNI, kata Arifin, melekat tiga aspek penting yaitu keahlian, tanggungjawab, dan kesatuan. Militer, katanya, harus memiliki keahlian mengelola kekerasan. Jadi, seluruh peraturan, perlengkapan, pelatihan, perencanaan kegiatan militer untuk meningkatkan keahlian itu.

Pelibatan dalam proyek lumbung pangan, katanya, berpotensi mengaburkan keahlian para prajurit dari mengelola kekerasan karena lebih fokus pada keahlian pertanian. Apalagi, di tengah situasi TNI sedang berusaha membangun kekuatan menghadapi ancaman pertahananan keamanan termasuk menjaga wilayah-wilayah perbatasan.

“Pelibatan ini mendistorsi upaya keterampilan teknis atau manajemen kekerasan dari angkatan bersenjata.”

Food estate juga melibatkan korporasi swasta sebagai mitra. Jadi, garis komando dan koordinasi prajurit juga bisa beralih pada sektor swasta yang dalam berbagai temuan terhubung dengan aktor negara ini.

Bersatunya aktor elit ekonomi politik, swasta, dan militer dalam proyek ini akan menimbulkan kapitalisme yang ditopang negara.

“Alih-alih menjadi the guardian of state, cita-cita luhur militer di negara manapun, menjadi penjaga negara, khawatirnya militer akan menjadi the guardian of capital, penjaga kapital.”

Dia bilang, meski benar ancaman pangan berpengaruh pada ketahanan negara dan harus diantisipasi sedini mungkin. Namun, kata Arifin, pada level sekarang tidak perlu mengerahkan militer. Ada kementerian dan lembaga yang selama ini terkait langsung dengan penyediaan pangan seperti sektor pertanian, peternakan, perkebunan, pendidikan dan lain-lain.

Undang-undang Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara juga mengamanatkan, dalam menghadapi ancaman non militer, lembaga pemerintahan di luar militer jadi unsur utama sesuai sifat ancaman yang dihadapi. Unsur-unsur lain bersifat mendukung.

 

Baca juga: Kala Proyek “Food Estate” Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan

Kondisi cetak sawah di Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang hanya sebagian dapat dimanfaatkan karena terendam air. Kala itu, proyek cetak sawah juga melibatkan TNI. Apakah hal serupa akan terjadi di proyek food estate?  Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Temuan BPK dalam proyek cetak sawah TNI

Gufron Mabruri, Direktur Imparsial mengatakan, pelibatan TNI dalam proyek food estate ini berpotensi mengulang kesalahan dalam proyek cetak sawah.

Pada 2015-2017, Kementerian pertanian membuat nota kesepahaman dengan Kepala Staf TNI AD dan Panglima TNI untuk proyek cetak sawah. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019 menunjukkan, program itu tidak sepenuhnya berjalan sesuai ketentuan.

“Pemerintah harusnya belajar dari beberapa program yang melibatkan militer, salah satunya lewat program cetak sawah. Laporan BPK harusnya menjadi acuan,” katanya.

Temuan BPK antara lain, realisasi cetak sawah di enam kabupaten yang kurang dari kontrak dan menyebabkan kerugian Rp9,66 miliar, pekerjaan cetak sawah tak jalan di enam provinsi menyebabkan kerugian Rp25,20 milia. Juga, cetak sawah di luar wilayah survei di Kepulauan Meranti dan Morotai mengakibatkan pemborosan Rp1,76 miliar, perluasan sawah memotong kawasan lindung 113, 71 hektar di Sulawesi Utara dan Lampung hingga menyebabkan kerusakan hutan lindung dan sawah tidak bisa dimanfaatkan. Kemudian, perluasan sawah yang disubkontrakkan ke pihak ketiga dan merugikan negara Rp5,14 miliar.

BPK merekomendasikan, Kementerian Pertanian meminta pertanggungjawaban pejabat pembuat komitmen (PPK) atas berbagai temuan dalam laporan ini. Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan BPK- mengungkapkan 17 temuan yang memuat 21 permasalahan.

Permasalahan itu, katanya, terdiri dari sembilan kelemahan sistem pengendalian intern, enam ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan Rp935,61 juta, dan enam masalah terkait ketidakhematan, ketidakefesienan, dan ketidakefektifan Rp403,42 miliar.

Gufron bilang, pasca reformasi 1998 ada pemisahan tegas antara peran militer dan sipil. Walau begitu, militer tetap bisa terlibat dalam urusan sipil tetapi ada prinsip dasar harus diperhatikan antara lain situasi darurat, permintaan institusi sipil, berdasarkan keputusan politik otoritas sipil, memiliki landasan legal, bersifat sementara, dan proporsional.

Pemerintah sipil yang memiliki otoritas jelas dan terukur menentukan kondisi darurat. Militer, katanya, bisa terlibat kalau institusi sipil tidak mampu menangani.

“Apa urgensinya militer dilibatkan dalam proyek food etsate? Saya kira tidak ada. Dari sisi pengetahuan dan pengalaman, saya kira Kementerian Pertanian jauh lebih punya itu dibanding Kementerian Pertahanan apalagi militer,” katanya.

Dasar hukum pelibatan militer adalah UU TNI Nomor 34/2014 terkait operasi militer selain perang. Ada sekitar 14 operasi militer selain perang disebutkan dalam pasal UU itu, tetapi tidak ada satu pun terkait penyediaan pangan nasional. Namun, katanya, pemerintah pusat menggunakan poin “​​membantu tugas pemerintahan di daerah,” meski dalam perencanaan, pemerintah daerah tidak dilibatkan.

Perbantuan militer, katanya, juga harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Kebijakan politik ini, pemerintah bersama-sama DPR melalui mekanisme hubungan kerja, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan.

“Jadi, tidak bisa pada praktiknya militer dilibatkan begitu saja dalam konteks pengamanan dalam negeri, ranah sipil dalam kontek pengamanan unjuk rasa, kemudian food estate, atau sektor-sektor lain tanpa ada keputusan politik negara.”

Menguatnya peran militer pada sektor keamanan dalam negeri dan ranah sipil di Indonesia justru dibuka oleh institusi sipil. Penelitian Imparsial menunjukkan tren ini menguat setelah 2014. Di manam masa mulai Pemerintahan Jokowi, presiden kalangan sipil. Praktik ini terlegitimasi dalam bentuk MoU antara TNI dengan kementerian atau instansi sipil lain dengan sekitar 42 nota kesepahaman pernah dibuat.

“Militer di awal reformasi kita dorong kembali ke barak, fokus pada tugas dan fungsi ancaman militer negara lain. Hari ini peran lebih luas keamanan dalam negeri dan sektor lain.”

Pelibatan militer berlebihan, katanya, bisa berdampak negatif apalagi kalau tidak tepat, tidak kontekstual dan tidak mengikuti dinamika. Selain memecah konsentrasi pada peran utama militer, bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil jadi preseden buruk pada demokrasi dan hak asasi manusia.

Potensi gesekan dengan masyarakat sipil bisa terjadi, terutama di wilayah yang terdapat konflik agraria. Sisi lain, potensi pelanggaran HAM akan sulit diproses. Dia bilang, masih ada impunitas untuk kasus-kasus yang melibatkan TNI karena mereka memiliki rezim hukum sendiri yang sampai saat ini belum direformasi.

“Dalam konteks food estate saya pikir dampak sudah dirasakan terutama oleh komunitas atau masyarakat adat. Mereka mengalami intimidasi, kemudian akses terhadap sumber daya alam dibatasi dan lain-lain.”

Kalau pemerintah benar-benar ingin mencapai kedaulatan pangan, kata Gufron, pemerintah fokus saja pada kebijakan-kebijakan mendasar pertanian seperti reforma agraria secara benar dan konsisten.

 

Baca juga: Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

Salah satu palang ditancapkan di Kampung Wambi di Wambi, Merauke, menolak masuknya perusahaan yang bakal mengancam kehidupan mereka. Kala itu juga pemerintah sedang galakkan proyek pangan dan energi skala besar di Merauke, Papua, lewat,Merauke Integrated Food and Energy Estate. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Tenaga komponen cadangan?

Pada 7 Oktober 2021, Jokowi resmi menetapkan komponen cadangan (komcad). Komcad adalah sipil yang direkrut dan dilatih layaknya tentara untuk siap membantu komponen utama yaitu tentara. Komponen cadangan akan dilibatkan untuk pembangunan food estate.

Meski komcad adalah warga sipil, katanya, pelibatan dalam food estate tetap juga menyalahi aturan. Komcad adalah bagian TNI dan pelibatan dalam urusan sipil harus berdasarkan prinsip dan mekanisme pelibatan TNI dalam urusan sipil. Penetapan komcad untuk mengerjakan food estate dia nilai sebagai pelanggaran atas prinsip dasar pembentukan komcad itu sendiri.

Pembentukan komcad juga berpotensi menimbulkan konflik sosial. Di Indonesia, ada kelompok-kelompok paramiliter yang terhubung dengan kesatuan tertentu. Kelompok paramiliter sering melibatkan diri dalam urusan keamanan dan menimbulkan konflik dalam masyarakat.

Sampai saat ini, katanya, pemerintah belum memiliki upaya menyelesaikan masalah paramiliter dan justru membentuk kelompok baru yaitu komcad.

“Masyarakat sipil dilatih, dipersenjatai untuk mendukung militer. Kekhawatiran sangat jelas dalam kontek proyek lumbung pangan, potensi bentrokan tidak hanya dengan masyarakat setempat yang pemilik atau ingin mendapat akses lahan tapi bisa juga dengan aktor keamanan yang lain.”

Hal-hal macam itu, katanya, harus menjadi pertimbangan pemerintah karena realitas lapangan, ada permainan aktor ekonomi politik di antara aparat keamanan. Dia khawatir, keterlibatan komcad akan menambah masalah baru.

 

Food estate di Papua

Di Papua, food estate akan dilaksanakan di Merauke, Mappi, Boven Digul, dan Yahukimo. Pemerintah sudah mengkonfirmasi pembangunan food estate di Papua akan melibatkan komcad. Pemerintah nilai komcad sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat lokal.

Yohanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke dan tokoh adat dari Suku Marind mengatakan, masih ada trauma masyarakat dalam hubungan dengan militer. Doktrin yang akan ditanamkan kepada masyarakat sipil yang direkrut menjadi komcad, katanya, akan sangat berpengaruh pada relasi mereka dengan masyarakat lain.

“Karena ini memunculkan satu kelas atau elit baru yang justru dapat menerjang saudaranya sendiri.”

Gufron berpendapat, stigma-stigma yang selama ini dilekatkan pada kelompok masyarakat di Papua akan berpotensi memparah situasi kekerasan dalam proyek ini.

“Kuatnya stigma separatis ditambah lagi stigma KKB sebagai teroris saya kira itu akan memperkuat stigma-stigma negatif yang bisa menjadi faktor pendorong kekerasan potensial terjadi.”

Dia pun mendesak, presiden dan DPR segera mengevaluasi semua praktik keterlibatan militer di semua sektor termasuk dalam food estate ini.

Gebze bilang, rencana food estate juga belum banyak diketahui pemerintah daerah maupun masyarakat adat di Papua.

“Kita hanya kaget ketika ada tim turun mulai mengkomunikasikan rencana penanganan food estate beberapa komoditi tertentu, dengan patokan, ada kebutuhan lahan sejumlah sekian puluh ribu hektar yang harus dialokasikan untuk pengembangan ini,” katanya.

Kalau merujuk ke UU Otonomi Khusus Papua, urusan pertanian bukanlah mutlak pemerintah pusat. UU Otsus Papua menyebutkan, kewenangan pemerintah pusat di Papua hanya enam yaitu fiskal dan moneter, politik luar negeri, agama, pertahanan dan keamanan, dan yudisial.

“Kita bertanya lagi, apakah urusan pertanian, food estate menjadi urusan absolut? Juga tidak. Lalu kenapa sentralisasi begitu dominan? Seakan-akan tidak ada kepercayaan dan keikhlasan.”

Gebze kritik pemerintah pusat di Papua yang tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat di Papua. Pemerintah memperlakukan tanah-tanah di Papua, sebagai milik negara padahal secara riil ada masyarakat adat. Meski sudah ada pengakuan masyarakat hukum adat, tetapi pengaturan ruang dan pemanfaatan oleh berbagai lembaga dan kementerian tidak selaras dengan kondisi lapangan.

Tidak jarang, katanya, berbeda antar kementerian dan lembaga hingga sering membingungkan pemerintah daerah.

Pada proyek food estate, Gebze tidak melihat ada peran masyarakat adat di Papua. Masyarakat, hanya diminta melepaskan hak ulayat, sekadar diberi ganti rugi beserta berbagai janji kesejahteraan yang seringkali janji yang tidak pernah terwujud.

Seharusnya, kata Gebze, masyarakat adat terlibat aktif sebagai pelaku pembangunan demi kesejahteraan mereka. “Memperkuat mereka menjadi pelaku. Itu tidak bisa disulap. Perlu ada niat, perlu ada ketulusan. Lalu itu dijabarkan dalam program pemberdayaan.”

Belum lagi jenis pangan yang hendak dikembangkan pemerintah, katanya, masih fokus pada padi. Sagu, yang menjadi makanan pokok orang Papua dan identitas budaya makin terpinggirkan. Masyarakat terus diarahkan meninggalkan sagu, beralih ke yang lain.

Gebze meminta, pemerintah membuka ruang mendengarkan masukan dari berbagai pihak agar tak menimbulkan dampak buruk.

“Proposal tentang pembangunan food estate juga kami belum tahu. Kalau sudah ada mohon disosialisasi terbuka supaya bisa mendapatkan masukan dari berbagai stakeholder.”

 

Baca juga: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

 

Areal persawahan proyek food estate di Desa Makata Keri Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Foto : Suwensy Daha Walu

*****

 

 

 

 

Exit mobile version