Mongabay.co.id

Tahun 2022: Pengetahuan Lokal di Kepulauan Bangka Belitung Harus Digali

Batu yang juga terkait dengan legenda Akek Antak di Desa Puput. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Penambangan mineral di Kepulauan Bangka Belitung dipastikan tidak akan berhenti. Selain timah, kepulauan ini memiliki potensi logam tanah jarang [LTJ] atau Rare Earth. Guna menjaga keberlangsungan kepulauan yang berusia sekitar 250 juta tahun ini, bukan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Juga, dbutuhkan pengetahuan lokal berupa kearifan terhadap alam.

“Pengetahuan lokal terkait kearifan terhadap alam tersebut, mulai dari hubungan manusia [masyarakat] dengan hutan, mangrove, dan laut. Jadi, kita merekomendasikan tahun 2022 merupakan tahun penggalian pengetahuan lokal di Kepulauan Bangka Belitung,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, terkait Catatan Awal Tahun 2022, Senin [03/01/2022].

“Kami berharap, bukan hanya kami yang melakukan hal ini [penggalian pengetahuan lokal], juga perguruan tinggi, budayawan, tokoh masyarakat, media massa, generasi muda, pemerintah, serta lembaga atau organisasi masyarakat sipil lainnya,” kata Jessix.

Dijelaskan dia, pengetahuan lokal terkait kearifan terhadap alam pada masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung, masih hidup dan terjaga. Sebab pada beberapa wilayah di kepulauan ini, masyarakatnya masih hidup dengan pengetahuan yang sangat arif dengan hutan, mangrove dan laut, sehingga bentang alam atau lingkungannya masih lestari,” jelas Jessix.

Misalnya pada masyarakat di Pulau Belitung, khususnya di wilayah barat. “Di sana masyarakatnya menjaga hutan. Terutama di wilayah perbukitan. Kelekak [kebun campuran tanaman hutan] masih didapatkan pada setiap dusun. Mangrove dan laut juga terus terjaga. Semua itu terjaga oleh berbagai pengetahuan lokal yang terjaga dalam tradisi maupun kepercayaan,” kata Jessix.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Dinarasikan “Harta Karun”, Eksploitasi Mineral di Kepulauan Bangka Belitung Berlanjut

 

Batu yang juga terkait dengan legenda Akek Antak di Desa Puput, Kecamatan Simpangkatis, Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama ditemukan pada sejumlah kelompok masyarakat atau komunitas di Pulau Bangka. Misalnya pada masyarakat Suku Mapur yang biasa disebut “Orang Lom”, Suku Maras, Suku Ketapi, Suku Jerieng, serta Suku Melayu yang hidup di pulau-pulau kecil.

Contoh pengetahuan lokal itu seperti obat-obatan alami. Hutan, mangrove dan laut, dijadikan masyarakat lokal sebagai apotek atau sumber obat-obatan. Sehingga, mereka menjaga keberadaan hutan, mangrove, dan laut dikarenkan adanya sumber obat-obatan.

Pengetahuan lokal ini tentunya menjadi dasar atau pijakan bagi pemerintah maupun pelaku usaha dalam mengelola kekayaan alam, khususnya mineral, di Kepualuan Bangka Belitung. Serta, pengembangan infrastruktur dan ekonomi lainnya, seperti pelabuhan, pariwisata, pertambakan, dan perkebunan skala besar.

Penambangan LTJ itu sama dengan penambangan timah. Sebab, LTJ didapatkan dari pasir timah. Sehingga dampak lingkungannya, jika tidak diantisipasi, kian merusak bentang alam di Kepulauan Bangka Belitung. “Dampak lingkungan dari penambangan timah saja belum selesai diatasi. Bukan tidak mungkin aktivitas LTJ kian memperparah kerusakan bentang alam.”

“Jadi sangat dibutuhkan hadirnya pengetahuan lokal. Bukan sebagai lawan, tapi sebagai pengetahuan bersama dalam mengelola kekayaan alam yang berkelanjutan,” kata Jessix.

“Jika pengetahuan lokal ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat, itu sebuah kabar buruk. Artinya, perubahan bentang alam akibat aktivitas ekonomi ekstraktif telah menghilangkan peradaban luhur di Kepulauan Bangka Belitung.”

Dijelaskan Jessix, aktivitas penambangan timah, termasuk tambang ilegal, menyebabkan kerusakan di daratan, pesisir, hingga laut. Misalnya kerusakan hutan sekitar 55 persen dari 657.510 hektar luasan hutan di Kepulauan Bangka Belitung, diduga akibat penambangan timah. Sebanyak 159 sungai dari 271 sungai di Kepulauan Bangka Belitung, mengalami kerusakan.

Tercatat ratusan hingga ribuan lubang eks tambang timah atau yang disebut kolong, saat ini belum direklamasi.

Baca: Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

 

Telapak kaki Akek Antak yang ukurannya cukup besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mangrove juga mengalami kerusakan. Sebelum hadirnya penambangan timah ilegal yang marak sejak tahun 2000-an, luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung sekitar 273.692,81 hektar.  Saat ini, sekitar 240.467,98 hektar mangrove mengalami kerusakan, atau tersisa 33.224,83 hektar. Mangrove yang rusak ini, hanya sebagian kecil yang direhabilitasi. Sisanya, menjadi pertambakan udang dan lokasi pariwisata.

Laut juga mengalami kerusakan. “Aktivitas tambang ilegal apung dan KIP [Kapal Isap Produksi] membuat sebagian laut menjadi rusak, sehingga banyak terumbu karang diduga mengalami kerusakan. Laut di Timur Pulau Bangka dan Belitung Timur yang banyak rusak. Tapi kami belum mendapatkan data luasan laut yang rusak. Yang pasti ribuan nelayan mengeluhkan menurunnya hasil tangkap akibat kondisi laut yang rusak,” kata Jessix.

Baca: Jejak Akek Antak dan Ajaran Tidak Tamak dengan Hasil Alam

 

Penampakan kolam bekas tambang timah ilegal di Desa Rindik, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ira Esmiralda, pekerja seni yang menetap di Sungailiat mengatakan setuju sekali penggalian dan penyebaran pengetahuan lokal dilakukan. Tujuannya, menghadapi berbagai aktivitas ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung, yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan.

“Saya percaya jika pengetahuan lokal berpadu dengan ilmu pengetahuan moderen, maka berbagai aktivitas ekonomi akan memberikan dampak yang baik. Kesejahteraan meningkat dan lingkungan terjaga. Jadi, bukan hanya masyarakat, pengetahuan lokal ini juga harus dipahami para pelaksana pemerintahan dan pelaku usaha,” ujarnya.

Wahyu Adi, peneliti wilayah pesisir dari Universitas Bangka Belitung [UBB], mengatakan sudah banyak penelitian yang dilakukan UBB dalam menggali berbagai pengetahuan lokal, baik terkait daratan, mangrove, maupun laut.  “Sebab, semua jurusan di UBB menjadikan keunikan potensi Kepulauan Bangka Belitung sebagai riset unggulan.”

Sebagai universitas riset,  penelitian di berbagai bidang dilakukan. Masyarakat, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, pengusaha dapat memanfaatkan publikasi ilmiah yang telah dilakukan. “Publikasi ilmiah ini dapat berupa jurnal, prosiding seminar, buku dan lain sebagainya. Sebagian besar dapat diakses gratis.”

“Besar harapannya informasi dari setiap bidang dapat mempermudah pengelolaan sebuah kawasan dengan potensi yang unik, seperti Kepulauan Bangka Belitung,” ujarnya.

 

Seorang penambang menunjukkan bongkah batuan yang mengandung timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lahan terbatas, hasil memakmurkan

“Leluhur kami datang ke Pulau Bangka beberapa belas abad lalu bukan untuk merusak alam. Sebab, leluhur kami mengembangkan kebun dan pertanian yang arif dengan alam,” kata Agussari, tokoh muda Desa Puput, Kecamatan Simpangkatis, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, akhir Desember 2021.

Salah satu pengetahuan yang dipahamai adalah mengembangkan kebun yang tidak banyak menggunakan lahan, atau menggunakan lahan terbatas. Meskipun lahan terbatas, tapi hasilnya sangat baik secara ekonomi maupun kebutuhan pangan.

“Leluhur kami sadar, Pulau Bangka tidak seluas Pulau Sumatera, Kalimantan atau Jawa, sehingga lahan digunakan terbatas. Apalagi lahan ini bukan hanya untuk manusia, juga makhluk hidup lainnya,” jelasnya.

Maka tanaman yang dipilih yakni lada, serta mengembangkan kebun campuran berisi tanaman buah hutan, seperti durian, manggis, dan jering. “Meskipun hasilnya sedikit atau tidak melimpah tapi harganya cukup baik, sehingga leluhur kami hidup makmur dengan alam yang tetap terjaga,” ujarnya.

Selain itu, menggunakan pupuk organik, yang memanfaatkan daunan dan ranting pohon yang sudah mati dan kering dengan cara ditimbun di sekitar tanaman.

Persoalan muncul ketika hadirnya berbagai aktivitas ekonomi yang banyak menggunakan atau merusak lahan. “Misalnya, aktivitas penambangan timah, perkebunan sawit, yang butuh lahan luas. Pengetahuan yang diturunkan leluhur kami kalah oleh kepentingan ekonomi pelaku usaha yang didukung pemerintah, seperti yang terjadi di desa kami,” katanya.

Kami [masyarakat] bukan menolak sawit atau tambang timah. Tapi sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan arif. Misalnya dengan lahan terbatas untuk berkebun sawit, dan dilakukan reklamasi eks tambang sebelum membuka tambang baru.

“Jika itu dilakukan, mungkin tidak muncul konflik manusia dengan buaya, kekeringan, banjir, dan hilangnya sejumlah kelekak [kebun campuran],” ujarnya.

 

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang masih bertahan di Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Debi Nasrullah, pemuda dari Desa Pangkal Niur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan pengetahuan lokal terkait lingkungan yang membuat desanya terus terjaga. Misalnya, larangan menebang mangrove berlebihan.

“Kami hanya boleh menebang untuk keperluan bangunan. Itu pun dengan jumlah terbatas, yang diawasi warga,” ujarnya.

Desa Pangkal Niur berada di tepian Teluk Kelabat Dalam. Pengetahuan masyarakat di sini, mangrove itu selain penahan badai, juga sebagai tempat bertelur dan membesarnya sejumlah ikan. Tapi, seperti halnya daerah lain di Kepulauan Bangka Belitung, aktivitas pertambangan timah dan perkebunan sawit membuat mangrove ini menjadi rusak.

“Pengetahuan itu perlahan dilupakan. Sehingga, sangat tepat jika pengetahuan itu digali Kembali dan disebarluaskan, khususnya kepada generasi muda,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version