Mongabay.co.id

Konflik Penambang Timah Ilegal dengan Masyarakat Kembali Terjadi di Bangka Belitung

 

 

Konflik antara masyarakat dengan para penambang timah ilegal terus terjadi di Kepulauan Bangka Belitung. Jika tidak segera diatasi, konflik akan kian meluas dan membesar. Bagaimana mengatasinya?

“Pemerintah pusat harus turun, guna menghentikan secara total aktivitas penambangan timah ilegal di Kepulauan Bangka Belitung. Sebab, kegiatan ini sudah merusak bentang alam yang  menyebabkan masyarakat lokal terganggu kehidupannya, baik kenyamanan maupun sumber ekonominya, yang akhirnya berujung konflik,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, terkait Catatan Awal Tahun 2022, Jumat [07/01/2022].

Seratusan penambang timah ilegal mendatangi rumah Yudi Amsori di Desa Suka Mandi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kamis [06/01/2022]. Mereka menuntut Yudi untuk meninggalkan Pulau Belitung. Sebabnya Yudi yang merupakan salah satu pegiat Forum Daerah Aliran Sungai (Fordas) Belitung Timur, aktif menyuarakan kerusakan lingkungan [mangrove] di daerahnya sebagai dampak penambangan timah ilegal.

“Selain menyuarakan dampak kerusakan, Yudi juga aktif melakukan rehabilitasi mangrove. Dia melibatkan masyarakat lokal yang sebagian besar adalah nelayan. Dia melakukan itu dengan biaya sendiri. Jadi, tindak kekerasan psikologi terhadap Yudi bukan sebatas terhadap pegiat lingkungan, juga masyarakat lokal,” kata Jessix.

Apa yang dilakukan para penambang ilegal tersebut, dengan mengusir Yudi dari desanya, memberi kesan jika masyarakat desa tersebut mendukung penambangan illegal.

“Itu sebuah kebohongan. Lingkungan dirusak, masyarakat menderita, lalu dikesankan pro tambang ilegal. Penambangan timah ilegal seharusnya ditertibkan, sebab melanggar hukum,” ujarnya.

Konflik antara penambang timah ilegal dengan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung berulang kali terjadi. Ada yang terpublikasi dan tidak. “Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin hal yang sangat tidak kita inginkan terjadi,” ujarnya.

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Seorang penambang sedang duduk di salah satu ponton tambang timah laut di sekitar perairan Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, pada 1 Mei 2021, terjadi bentrokan antara masyarakat dengan penambang timah di Teluk Kelabat. Satu rumah di Desa Pangkalan Niur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, dibakar warga. Rumah tersebut merupakan “mess” para penambang timah liar. Bentrokan juga menyebabkan sejumlah warga dan penambang mengalami luka-luka.

Aksi penolakan dilakukan karena masih adanya penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat. Padahal, berdasarkan Perda No. 3 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan bahwa Teluk Kelabat tidak masuk dalam zona pertambangan.

Naziarto, Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, beberapa waktu lalu menyatakan, penambangan timah di perairan Teluk Kelabat tidak hanya merusak lingkungan, juga bertentangan dengan RZWP3K, yang menyatakan Teluk Kelabat dikhususkan sebagai kawasan budidaya tangkap, perikanan, pelabuhan, dan pariwisata sehingga tidak ada ruang untuk pertambangan.

Selain di Teluk Kelabat, penambangan timah ilegal yang memicu konflik sosial, terjadi juga di Desa Tanjung Labu, Pulau Lepar Pongok, Bangka Selatan.

Baca: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

Aktivitas tambang timah di Bangka Belitung menjadi salah satu penyebab bencana banjir di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berakhir damai

Pasca-peristiwa konflik para penambang dengan Yudi Amsori, Unit Pidum Satreskrim Polres Belitung Timur, melakukan pemeriksaan terhadap Amin Noor, selaku terduga pelaku, dan Yudi Amsori selaku korban, pada Jumat [07/1/2022].

“Maaf kepada Yudi atas perlakuan saya dan teman-teman penambang lainnya, semoga ke depannya bisa damai terus,” kata Amin Noor, dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Griya Patriatama, Polres Belitung Timur, Jumat [07/1/2022].

Dalam konferensi pers tersebut dihadiri oleh Kapolres Belitung Timur, AKBP Taufik Noor Isya, Bupati Belitung Timur, Burhanudin, Ketua DPRD Belitung Timur, Fezzi Uktolseja, dan Kejaksaan Negeri Belitung Timur, Abdur Kadir.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Yudi Amsoni didampingi kuasa hukumnya dari LBH KUBI, Cahya Wiguna, mengatakan sudah memaafkan tindakan persekusi yang diterimanya.

Yudi berpesan sebagai aktivis lingkungan, sudah seharusnya menyuarakan keadilan lingkungan secara damai, sehingga dia harus memaafkan.

“Kami dari pihak korban, pertama-tama mengapresiasi tindakan cepat kepolisian atas kejadian ini. Alhamdulillah masalah selesai. Bang Yudi tetap berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan Belitung Timur” tegas Cahya yang disambut anggukan Yudi.

Baca: Suku Lom dan Legenda Akek Antak yang Menjaga Perairan Tuing Ratusan Tahun

 

Seorang penambang menunjukkan timah yang kerap menjadi pemicu konflik antar masyarakat di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Banjir dan sungai yang tercemar

Kabupaten Belitung Timur dengan luas 250.700 hektar, memiliki sejumlah DAS [Daerah Aliran Sungai] yang berfungsi sebagai sumber air baku bagi 119.807 jiwa yang tersebar di 39 desa. Diantaranya DAS Manggar [27.472,57 hektar], DAS Linggang [73.590,68 hektar] DAS Pala [6.053,49 hektar] DAS Senusur [8.537,44 hektar], DAS Pakem [638,73 hektar] dan DAS Batu Itam [1.522,20 hektar].

Berdasarkan penelitian berjudul “Analisis Banjir Belitung Timur” oleh Fadillah Sabri, Taufik Aulia, dan Mega Tresnanda pada 2017, keenam DAS tersebut merupakan daerah terdampak becana dengan luas total 152.477,70 hektar.

“Selama 17 tahun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbentuk, bencana banjir besar untuk pertama kali terjadi di Kabupaten Belitung Timur pada 14-16 Juli 2017 dengan ketinggian air 2-3 m,” tulis penelitian tersebut.

Dua faktor penyebab adalah faktor alam, seperti banyak terjadi pendangkalan sungai, sumbatan sungai, serta curah hujan dan topografi wilayah Belitung Timur yang relatif datar, serta faktor manusia, seperti mengubah penggunaan lahan yaitu luas areal perkebunan bertambah dari 2008 hingga 2016. Semula dibawah 300 ribu hektar menjadi lebih 350 ribu hektar.

Selain itu, banyaknya sebaran kolong atau lubang eks tambang juga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.

“Kolong-kolong atau eks lubang tambang yang merupakan hasil tambang ilegal juga menjadi salah satu penyebab banjir. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya aliran normal,” tulis penelitian tersebut.

 

Wilayah Desa Sukamandi, tempat tinggal Yudi Amsori, merupakan salah satu desa pesisir yang berbatasan dengan Sungai Manggar. Dari foto terlihat hamparan lubang tambang yang mengepung wilayah tersebut. Foto: Google Earth

 

Berdasarkan laporan tim dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung Timur bersama ForDAS Kabupaten Belitung Timur, nelayan dan Pokdarwis Desa Sukamandi, Desember 2021,

tujuh titik di Sungai Manggar yang diambil sampel air permukaannya menunjukkan telah melebihi standar baku mutu lingkungan, untuk dijadikan sebagai sumber air minum, maupun budidaya ikan.

“Perlu kajian lanjutan. Di sisi lain, sebagian besar titik aktivitas ponton rajuk [tambang timah] terindikasi berada pada batas-batas kawasan hutan dan mengarah pada kawasan hutan lindung, yang berpotensi menyebabkan pencemaran bahkan kerusakan lingkungan di sekitar DAS Manggar,” tulis laporan tersebut.

 

 

Exit mobile version