Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Satwa Liar Masih Terjadi di Aceh, Solusinya?

 

 

Pencegahan konflik manusia dengan satwa liar di Aceh, apalagi diburu hingga dibunuh karena dianggap hama, harus dilakukan dengan kolaborasi berbagai pihak. Pemerintah, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat [LSM], peneliti, akademisi, dan masyarakat, semua harus berpadu.

“Pemerintah, bahkan hingga tingkat desa, harus berpartisipasi dalam pencegahan konflik satwa liar,” terang Direktur CRU Aceh, Wahdi Azmi, Senin [10/01/2022].

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] Banda Aceh ini menyebutkan, pencegahan konflik hingga perburuan satwa liar dilindungi harus melibatkan juga polisi [Bhabinkamtibmas] dan tentara [Babinsa] yang bertugas di setiap desa.

Wahdi menambahkan, dengan kerja sama berbagai pihak, pembunuhan satwa dilindungi karena konflik dapat dihindari.

“Misalnya, masyarakat yang memasang jerat babi dengan arus listrik, dapat dicegah karena cara itu tidak hanya membunuh satwa seperti gajah dan harimau, tapi juga manusia,” ungkapnya.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Jerat yang Lagi-lagi Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

Kulit harimau sumatera disita dari pelaku yang hendak memperdagangkan secara ilegal. Barang bukti ini telah dimusnahkan dengan cara dibakar oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, pada Rabu, 24 November 2021. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Arianto mengatakan, sejumlah pihak termasuk timnya terus melakukan upaya penyelamatan satwa dilindungi.

“Harus dilakukan, karena masing-masing lembaga memiliki tanggung jawab yang sama,” ujarnya.

Agus menambahkan, konflik satwa dengan manusia masih menjadi persoalan serius, selain perburuan dan pembunuhan satwa dilindung.

“Untuk mencegah konflik, BKSDA Aceh telah memasang pagar listrik, membuat barrier, dan merevitalisasi Conservation Response Unit. Kami juga tengah membahas rencana pembangunan kawasan ekosistem esensial bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh,” ungkapnya.

Baca: Belalai Kena Jerat, Anak Gajah Sumatera Ini Mati

 

Perburuan rangkong gading untuk diambil paruhnya menyebabkan populasinya menurun di alam liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 30 Maret 2021, DLHK Aceh bersama BKSDA telah menggelar rapat Tim Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Satwa Liar dan Manusia di Aceh.

Hasilnya, Tim Satgas merekomendasikan beberapa hal, seperti harus dilakukan identifikasi jalur habitat atau koridor satwa liar untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar penanganan konflik satwa.

Lalu, harus disusun strategi [roadmap] komprehensif sesuai karakteristik wilayah penanganan konflik, dengan melibatkan para pihak sesuai kewenangannya di tingkat pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, serta masyarakat.

Penanganan konflik harus mempertimbangkan strategi jangka pendek, menengah, dan panjang yang berorientasi pemulihan ekonomi, sosial masyarakat yang terkena dampak, serta kelangsungan dan kelestarian satwa liar melalui pengembangan komoditi yang tidak disukai satwa liar.

Foto: Dimusnahkannya 71 Paruh Rangkong Gading Hasil Perburuan di Hutan Leuser

 

Perburuan trenggiling untuk diambil sisiknya juga terjadi di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

46 kasus kematian gajah

Data yang dirilis Balai Penegakan Hukum [Gakkum] KLHK Wilayah Sumatera, khusus gajah sumatera, menunjukkan periode 2015 -2021 tercatat sebanyak 46 kasus kematian gajah di wilayah Aceh.

“Kasus ini cukup tinggi,” kata Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera, Subhan.

Dia mengatakan, pada waktu yang sama, konflik gajah dengan manusia mencapai 528 kasus. Rinciannya, 49 kasus [2015], 44 kasus [2016], 103 kasus [2017], 73 kasus [2018], 107 kasus [2019], dan 130 kasus [2020].

“Sementara Januari-Agustus 2021, jumlah konflik mencapai 22 kasus,” ungkapnya.

Subhan menambahkan, pada 2021, pihaknya menangkap beberapa pelaku penjualan kulit harimau dan kini sudah divonis.

“Penegakan hukum adalah solusi paling akhir. Langkah pertama untuk menyelamatkan satwa dilindungi adalah dengan mencegah terjadi perburuan dan pembunuhan.”

Selain itu, tambah dia, semua lembaga harus bersinergi mencegah terjadinya perburuan dan pembunuhan satwa liar dilindungi.

“Semua pihak, khususnya pemangku kawasan harus bersinergi,” ungkapnya.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Menanti Hukuman Maksimal untuk Pembunuh Gajah Tanpa Kepala di Aceh Timur

 

Anak gajah sumatera ini menderita akibat belalainya kena jerat yang dipasang pemburu di di hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Sempat mendapat pertolongan, gajah malang ini mati, Selasa [16/11/2021]. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Aspidum Kejaksaan Tinggi [Kejati] Aceh, Edi Samrah Limbong, saat menghadiri konferensi pers akhir tahun yang dilaksanakan Forum Jurnalis Lingkungan [FJL] Aceh menyatakan, pada 2021, kejaksaan memproses 22 berkas perkara kejahatan satwa liar.

“Sebagian besar, terdakwa yang ditangkap merupakan pemain kecil atau pelaku lapangan,” sebutnya.

Edi berharap, kedepan yang diungkap juga para pemodal, yang membeli bagian tubuh satwa liar tersebut.

“Penegakan hukum di tingkat kejaksaan tahun 2021 sudah maksimal, tetapi hakim yang menentukan hukuman melalui proses persidangan,” ungkapnya.

 

 

Exit mobile version