Mongabay.co.id

Tantangan Mewujudkan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan

 

Ekonomi kelautan berkelanjutan (EKB) atau sustainable ocean economy tak hanya menjadi sekedar jargon bagi Indonesia untuk saat ini. Lebih dari itu, dengan semangat baru yang melambung tinggi di awal 2022, EKB dijadikan sebuah misi yang harus bisa berwujud dalam kehidupan sektor kelautan dan perikanan (KP).

Melalui perencanaan dan strategi yang tepat di bawah kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), EKB juga diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian di seluruh Nusantara. Dengan demikian, itu bisa mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Sayangnya, untuk bisa mewujudkan EKB yang diharapkan, perlu strategi dan perencanaan yang tepat. Hal ini, karena tata kelola sektor KP di Indonesia dinilai masih belum maksimal sampai sekarang. Bahkan, kesehatan laut di Indonesia juga masih di bawah rerata global.

Berdasarkan data Ocean Health Index, Indonesia masih menempati urutan nomor 135 dunia dari total 221 negara yang dinilai, dengan skor indeks hanya 65 dari minimal skor standar dunia 71.

Penilaian tersebut keluar, karena Indonesia menghadapi persoalan di laut yang mengancam kesehatan ekosistem. Misalnya dampak dari perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, perusakan habitat biota laut, dan pencemaran/polusi plastik di laut.

baca : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, untuk bisa mewujudkan EKB yang diharapkan dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di pesisir, kesehatan laut harus bisa dijaga dengan baik. Jika tidak, maka semua strategi dan perencanaan yang dilakukan tidak akan berjalan baik.

Fakta tersebut menjadi ironi, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas total perairan mencapai 6.400.000 kilometer persegi (km2), panjang garis pantai 108.000 km, dan jumlah pulau yang mencapai 17.504.

Padahal, pada 2021 Bank Dunia sudah melakukan penghitungan aset utama pariwisata Indonesia di wilayah laut yang mencapai angka fantastis sebesar USD1 miliar. Kemudian, Indonesia juga menjadi negara kedua di dunia yang memiliki produk domestik bruto (PDB) perikanan sebesar USD27 miliar dan bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk tujuh juta orang.

Semua analisa tersebut dirilis secara resmi oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada akhir pekan lalu di Jakarta. Menurut IOJI, pada 2015 Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sudah merilis riset bahwa Indonesia bisa mendapatkan kontribusi dari sejumlah industri berbasis laut dengan nilai mencapai USD31,7 miliar terhadap nilai global.

“Namun, belum ada estimasi nilai kekayaan laut Indonesia yang diterima secara formal. Perlu ada data aktual tentang kekayaan laut Indonesia untuk menghasilkan rencana pengelolaan laut terbaik,” demikian pernyataan resmi IOJI.

Di luar persoalan yang disebutkan di atas, EKB diakui menjadi paradigma yang baru dalam pemanfaatan sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi yang memperhatikan aspek keberlanjutan. Cara berpikir tersebut menjadi solusi untuk mewujudkan keseimbangan antara perlindungan ekosistem laut, pembangunan ekonomi kelautan, dan kesejahteraan masyarakat, terutama di pesisir dan nelayan kecil.

Namun, menurut CEO IOJI Mas Achmad Santosa, upaya untuk mewujudkan EKB juga harus menghadapi tantangan yang berat dan harus dilalui dengan baik. Tantangan itu, di antaranya adalah ketiadaan data yang akurat tentang kekayaan laut (ocean wealth), kesehatan laut (ocean health), dan distribusi manfaat sumber daya kelautan secara berkeadilan (ocean equity).

“Juga pembiayaan transformasi pembangunan kelautan (ocean finance) dan literasi kelautan (ocean knowledge),” jelas Otta, panggilan akrab Mas Achmad Santosa.

baca juga : Beratnya Mewujudkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan

 

Suasana bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Tegal, Pantai Utara Jawa, salah satu tempat ikan jenis pari kekeh didaratkan. Foto: Wahyu Mulyono

 

Oleh karena itu, diperlukan data yang akurat untuk mengembangkan rencana pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan yang menjadi implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2017 yang sudah terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional (Jangka Panjang, Jangka Menengah, dan Jangka Pendek).

Dengan pemetaan yang detail, diharapkan segala persoalan yang muncul sepanjang 2021 bisa diatasi dan dicarikan jalan keluar pada 2022. Salah satu langkah yang bisa dilakukan, adalah dengan menyusun Rencana Pembangunan Laut Berkelanjutan (RPLB) yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan RPJMN.

Otta menyebutkan, dalam melaksanakan koordinasi tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi harus bisa bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), KKP, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Kolaborasi yang penuh komitmen antar lembaga di atas, diharapkan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat operasional dan teknis. Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan tiga kemenangan bagi masyarakat (people), alam (nature), dan ekonomi (economy) bisa terjadi.

“Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik terkait dengan kelautan perlu dipertimbangkan ketiga kepentingan tersebut secara sama dan seimbang,” terang dia.

Sementara itu, terkait persoalan keamanan maritim yang sudah menjadi isu kedaulatan sebuah negara, juga dihadapi Indonesia sampai saat ini. Persoalan tersebut muncul bersamaan dengan isu hak berdaulat kapal ikan asing (KIA).

Selain itu, persoalan sampah plastik yang muncul di laut akibat aktivitas dari atas kapal perikanan, juga masih menjadi masalah yang terus disorot. Hal tersebut, menjadi alasan kenapa pengamanan di laut harus dikelola secara bersama dan berkelanjutan.

perlu dibaca : Fondasi Kuat untuk Ekonomi Kelautan Berkelanjutan

 

Sampah di sepanjang pantai Muncar, Banyuwangi, Jatim, pada akhir Juni 2019. Selain di pesisir, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Kedaulatan

Otta menyebutkan kalau ancaman yang menjadi perhatian utama terhadap hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sepanjang 2021 adalah hak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) hayati dan non hayati, serta penelitian ilmiah kelautan.

Adapun, sejumlah ancaman itu adalah mencakup aktivitas penangkapan ikan secara ilegal oleh KIA Vietnam di Laut Natuna Utara di wilayah non sengketa (masuk hingga 30 mil laut dari pulau terluar), dan ancaman terhadap hak berdaulat oleh kapal-kapal Cina.

Ancaman lain, adalah kapal ikan, kapal penjaga laut Cina, kapal riset/survei geologi, dan juga kapal militer. Termasuk, upaya protes yang dilakukan Cina kepada Indonesia untuk menghentikan kegiatan eksplorasi SDA di ZEE.

Menurut Otta, ancaman terhadap SDA minyak dan gas, serta penelitian ilmiah kelautan di ZEE Indonesia Laut Natuna Utara juga kini dihadapi Indonesia. Ancaman itu sebagai langkah politik Cina di kawasan tersebut untuk menegaskan klaim wilayah tidak berdasar hukum internasional yaitu UNCLOS 1982.

“Ancaman sampah plastik yang dibuang di laut dari aktivitas berbagai jenis kapal. Selama ini belum ada kajian dan evaluasi secara mendalam dan menyeluruh di tingkat nasional,” sebut dia.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Bidang Manajemen Sumber daya Perairan Universitas Halu Oleo Kendari Profesor La Sara, Ph.D, mengatakan, persoalan ancaman kedaulatan negara tidak boleh dianggap remeh. Pasalnya, ancaman masuknya KIA Vietnam dan Cina akan berpotensi kembali terjadi pada 2022 dan bahkan meningkat.

Selain itu, yang harus juga diwaspadai adalah perompakan bersenjata yang diantaranya menyamar menjadi nelayan tradisional di Papua, terorisme, dan penyelundupan barang serta obat-obatan ilegal seperti yang terjadi di pulau Lingayan, Sulawesi Tengah.

Ancaman yang juga masih akan terus mengintai, adalah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang digunakan oleh kapal-kapal perikanan dan non perikanan. Potensi tersebut muncul, karena keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan dan juga cakupan wilayah yang luas.

baca juga : Misi Indonesia Terapkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan

 

Sekelompok nelayan di pantai Jimbaran, Bali. Foto : shutterstock

 

Agar semua ancaman di atas bisa diatasi dan bahkan dicegah, dia mengimbau kepada Pemerintah untuk memperkuat koordinasi patroli dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif. Kemudian, perlu juga dilakukan peningkatan upaya untuk menangani sampah plastik di laut melalui kebijakan yang tepat dan terarah.

“Termasuk port reception facilities dan pendaftaran, serta pelaporan alat tangkap ikan,” tegas La Sara yang juga Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia itu.

Di luar itu, La Sara juga mengingatkan agar Pemerintah Indonesia juga menangani persoalan pemanfataan pulau-pulau kecil, terutama pulau kecil dan terluar; penanganan pencemaran perairan; dan penyelesaian sengketa kapal kandas yang merusak terumbu karang di berbagai daerah.

Dia menambahkan, penyebab lemahnya pengawasan dan penindakan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi ancaman dan pelanggaran di laut, adalah karena terlalu banyak diskusi yang dilakukan di dalam negeri. Setelah itu, baru kemudian disusun dokumen pendukungnya.

“Namun, setelah itu juga masih mencari formasi pengawasan yang tepat, dan dihadapkan pada sarana prasarana terbatas, juga anggaran yang terbatas,” tutur dia.

perlu dibaca : Cara Indonesia Membangun Kekuatan Maritim di Wilayah Laut

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Komitmen Indonesia

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen untuk merealisasikan EKB. Hal itu ditegaskan melalui Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dalam pertemuan Sherpa Meeting ke-20, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP SOE), pada Rabu (07/07/2021) secara virtual.

“Indonesia memiliki komitmen yang konsisten untuk memastikan bahwa 5 pilar (Kekayaan Laut, Kesehatan, Equity, Pengetahuan, dan Keuangan) di bawah SOE dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan dan hasilnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia,” jelas Plt. Asisten Deputi (Asdep) Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Marves Helyus Komar dalam pertemuan tersebut.

Komitmen tersebut tercantum dalam visi HLP SOE tentang pengelolaan wilayah laut di bawah yurisdiksi masing-masing negara secara berkelanjutan dan berpedoman pada Sustainable Ocean Plans pada tahun 2025.

“Kita harus atasi ketimpangan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta disparitas antarwilayah dapat dikurangi dengan memperkuat konektivitas dan sektor maritim,” tegas Komar dalam rilis Kemenko Marves.

Ia menjelaskan bahwa lautan berperan penting dalam mengurangi dampak bencana alam, terumbu karang dan bakau serta meminimalisasi dampak banjir dan tsunami bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang wilayah pesisir. Nilai perlindungan tersebut bernilai hampir US$ 639 juta per tahun (sumber: Reformasi untuk Ekonomi Biru di Indonesia- Bank Dunia 2021).

“Strategi ekonomi biru yang terintegrasi dan lintas sektoral menjadi kunci meningkatkan program pembangunan maritim, pemerataan kesempatan untuk pemberdayaan sumber daya kelautan, dan peningkatan kualitas penghidupan,” tambahnya.

 

Exit mobile version