Mongabay.co.id

Mengurai Benang Kusut Pasar Bebas Plastik

 

Sebuah upaya untuk mendorong pasar tradisional minim penggunaan kantong plastik dilakukan di Bali. Ujicobanya di Pasar Sindu Sanur, Denpasar. Hal ini dilakukan karena banyak alasan kenapa pembeli dan pedagang pasar tradisional masih sulit melepas ketergantungan pada plastik sekali pakai itu.

Salah satu hal mendasar yang membedakan supermarket, minimarket, dan pasar adalah pemiliknya. Pasar tradisional diisi ratusan atau ribuan pedagang, dengan kepemilikannya masing-masing. Sedangkan supermarket atau minimarket dikendalikan satu atau segelintir pemiliknya.

Namun, di masa lalu, pasar tradisional adalah ruang bebas penggunaan plastik sekali pakai. Para pedagang biasanya menjual barang dagangannya secara curah, belum dikemas, dan kemasannya pun alami seperti daun atau penggunaan ulang seperti koran bekas. Kini, situasinya berkebalikan. Pasar mirip swalayan karena bahan pangan atau barang dagangan sudah dibungkus-bungkus kecil.

Hal ini nampak di sejumlah los dan kios Pasar Sindu Sanur. Sebagian pedagang sudah mengemas cabai, bawang, buah, kentang, dan lainnya dalam plastik bening. Setelah itu, para pembeli juga akan mendapat kresek untuk menampung bungkusan bahan pangan tadi. Tanpa perlu biaya tambahan.

“Kalau tidak dikasih kresek, nanti mereka marah,” kata Simpen, salah satu penjaga warung sembako. Jika pedagang dilarang memberi kresek, dan diganti dengan kantong kertas, apakah mau? “Mau, tapi kalau pembeli mau. Tapi tidak semua barang bisa dimasukkan kantong kertas,” sergahnya dalam Bahasa Bali.

Beberapa detik kemudian seorang pembeli datang, sudah membawa tas belanja, dan hendak membeli beras 2 kg. Simpen menimbang beras dan membungkusnya dalam wadah kresek. Nah, kantong kertas tipis juga tak mampu menahan beban beras 2 kg. “Kalau pakai kantong kertas, pasti robek, kan saya rugi,” jawab pembeli, perempuan tengah baya yang mengenakan pakaian adat Bali.

baca : Bali Kesulitan Mengurangi Plastik Sekali Pakai

 

Transaksi beras di Pasar Sindu, Sanur, Bali yang masih menggunakan kantong plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu kerumitan ini juga jadi bahasan dalam diskusi dan peluncuran Pasar Bebas Plastik di Pasar Sindu Sanur, sebagai pilot project, pada Minggu (09/01/2021). Pasar ini berkategori sedang, berisi 100-an orang pedagang. Tidak nampak terlalu sibuk karena selama pandemi ini, aktivitas belum kembali normal. Aktivitas pasar sudah sepi jelang tengah hari. Pasar ini terdampak dari lesunya kunjungan turis karena berada di kawasan pusat turisme di pesisir Kota Denpasar.

Peluncuran Pasar Bebas Plastik dihela Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali bekerja sama dengan pengelola pasar. Dayu Candra dari PPLH Bali mengatakan dari riset dasar pada 104 pedagang menunjukkan lebih dari 2.960 kantong plastik besar, kecil, dan bening diberikan pedagang setiap hari.

Sebanyak 45 pedagang diwawancarai untuk mengetahui kenapa program pengurangan plastik yang pernah dikampanyekan sebelumnya belum berhasil di pasar ini. Terbanyak adalah karena pembeli masih minta plastik bahkan dobel (42%), peraturan kurang tegas (15%), banyak pedagang menyediakan plastik, tuntutan produk/basah, dan tidak tahu masing-masing 11%. Lainnya adalah pembeli tidak bawa tas belanja, belum ada pengganti plastik, dan kurangnya kesadaran bahaya plastik.

Karena itu, pasar ini akan diproyeksikan sebagai percontohan bebas plastik sekali pakai. Tujuannya, ada perubahan perilaku yang diprakarsai pedagang, pemberian kantong plastik bisa ditekan sampai tak lagi ditawarkan. Berikutnya, membangun kesadaran pembeli dan pedagang terkait dampak cemaran plastik ini. Survei awal dilakukan September ke pembeli dan pedagang tentang plastik sekali pakai.

baca juga : Produksi Sampah dari Rumah Meningkat di Masa Pandemi Corona, Kok Bisa?

 

Suasana Pasar Sindhu Sanur, Bali pada 9 januari 2022. Pasar Sindhu menjadi tempat uji coba pasar bebas plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Alasan terbanyak kenapa kantong plastik masih dipakai diantaranya pembeli masih minta plastik bahkan dobel, sehingga biaya meningkat. Strategi yang dilakukan adalah pendekatan ke pedagang untuk menekan pemberian sekali pakai, mediasi pedagang dengan Dinas Lingkungan Hidup, bekerjasama membuat media edukasi, flyer, spanduk, serta produksi kantong guna ulang dan kertas.

PPLH akan membuat ratusan kantong kertas dan wadah guna ulang untuk diberikan ke pedagang. Imbauan tidak memberikan kantong plastik dimulai 10 Januari.

Selama proses program ujicoba ini, PPLH akan melaksanakan monitoring dan evaluasi 3 kali, riset pasca kampanye dan pasca implementasi sekitar Maret 2022.

I Made Sudana, Kepala Pasar dan Kepala Desa (Perbekel) Sanur Kaja mengatakan keberhasilan ujicoba ini sangat tergantung kesepakatan pedagang dan pengelola pasar. Selama ini menurutnya pemerintah kerap sosialisasi bebas plastik tanpa solusi jangka panjang untuk meyakinkan pedagang.

“Banyak kampanye bebas plastik tapi hanya diberi tas sekali,” keluhnya. Sedangkan ia berharap solusi jangka panjang. Misalnya pemberian kantong kertas untuk mengganti kantong plastik.

Ia menjelaskan pasar yang sering jadi berbagai program percontohan ini dikelola swadaya, bukan pemerintah, di bawah Yayasan Pembangunan Sanur (YPS). YPS dimiliki 27 banjar dan 3 desa adat di Sanur.

baca juga : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Salah satu pedagang di Pasar Sindhu, Sanur, Bali, menjajakan tas dari anyaman plastik sebagai pengganti kantong plastik sekali pakai. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Didirikan 2010, Pasar Sindu mengandalkan modal membangun dari Lembaga Perkreditan Desa dan penjualan los dan kios pedagang. Saat musim hujan, pasar ini pernah kebanjiran sehingga mendorong pembuatan biopori dan bak penampungan air hujan.

Pengelolaan sampah di desa wisata ini bukan hal mudah. Ia mengatakan sedikitnya ada 6 ton sampah tiap hari di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST), sebagian sampah plastik. Ia berharap ada strategi dan solusi untuk pedagang, misal ujicoba kantong kertas serta panduan kualifikasi jenis dagangan dan kantong kertas yang cocok.

Tiza Mafira dari IDKP mengatakan ujicoba pasar bebas plastik ini bukan kali pertama, tapi penting terus dicoba. Terlebih, dari catatannya, penurunan penggunaan kantong plastik di sampah hanya 20%, kalah berhasil dibanding supermarket dan pasar modern. “Orang yang sama, beda perilaku,” herannya. Menurutnya ada sejumlah faktor seperti bungkusan, serta perbedaan perilaku konsumen dan pedagang. “Ini bukan program bagi-bagi tas,” tukasnya.

Ujicoba wadah guna ulang sudah dicoba seperti tas kain belacu, keranjang, tas karung goni, kotak plastik untuk bahan basah, dan lainnya. Para pedagang pasti tanya berapa harganya? Solusi di tiap pasar tidak sama. Misal di salah satu pasar di Bandung, pedagang senang diberi dan pakai koran bekas. Sedangkan di Bali jarang ada koran, susah dicari. Terutama kertas yang tidak ada lapisan plastik.

menarik dibaca : Memilah Sampah di Gang Sari Dewi Kala Pandemi

 

 

Penggunaan plastik sebagai bungkus makanan seperti jajanan di pasar-pasar tradisional di Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Made Dwi Arbani dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali mengingatkan Bali darurat sampah karena TPA penuh. Di sisi lain, tak mudah cari area TPST karena warga kerap menolak takut bau dan limbahnya. Padahal Bali sudah memiliki Pergub terkait larangan plastik sekali pakai pada 2018, dan Peraturan Gubernur No.47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Sampah harus diselesaikan sedekat mungkin dengan sumber sampah, dan seminimal mungkin yang dibawa ke TPA, hanya residu. Demikian idenya.

Regulasi ideal hanya berakhir di atas kertas jika kepemimpinan, edukasi, dan pengawasan tidak berjalan.

Menurut Dwi, pihaknya sudah identifikasi tidak ada pabrik plastik di Bali, hanya ada penyalur produk plastik. Makin banyak pedagang plastik, malah makin banyak sekali pakai termasuk kemasan kertas dilapisi plastik.

Putu, pedagang sembako di Pasar Sindu mengatakan membeli sekitar Rp200 ribu per bulan untuk beli kantong plastik. Ia pernah berusaha mengurangi dengan mandiri, awalnya pembeli mau, tapi berikutnya pelanggan mengeluh.

Gede Robi, musisi band Navicula yang membuat program Pulau Plastik juga heran kenapa saat upcara agama dan adat, sampah plastik malah meningkat. “Tujuan odalan (ritual) kan menyucikan diri dan alam. Tapi kita mengotori alam, temuku, klebutan, sumber air,” sebutnya dalam sesi talkshow. Hal sederhana adalah tidak menggunakan kresek untuk bawa sarana persembahyangan seperti canang.

baca juga : Operasi Kantong Plastik di Pasar. Memangnya Efektif?

 

Para pedagang bersiasat agar makanan dan minuman tak berwadah plastik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Terkait canang, ini juga belum menemukan ide yang tepat dan disukai pedagang. Canang adalah komoditas yang paling banyak dijual di pasar karena kebutuhan sehari-hari selain sembako. Jika disarankan menggunakan keranjang bambu, pedagang dan pembeli mengeluh canang dari rangkaian janur dan bunga ini mudah mengering dan hancur.

Inisiatif-inisiatif praktis perlu terus digali selain menegakkan regulasi indah di atas kertas tersebut. Sebuah riset pada 2019 dari kolaborasi akademisi dan komuntas Bali Partnership menyebutkan produksi sampah di Bali mencapai 4.281 ton per hari di mana 11 persen di antaranya mengalir hingga ke laut. Dari jumlah tersebut, lebih banyak sampah yang tidak dikelola (52 persen).

Dari jumlah itu, sebanyak 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah di Bali yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar. Dari sampah yang dibuang ke tempat sampah, 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung yang memperluas areanya sebagai gunung sampah dan mencemari Teluk Benoa dan Taman Hutan Mangrove.

 

Exit mobile version