Mongabay.co.id

Hilangnya Kearifan Pada Alam

 

Bencana dan fenomena perubahan iklim memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Agaknya, sudah semestinya manusia masa kini mulai menempatkan alam sebagai mitra terutama dalam konsep pembangunan.

Sekalipun menerabas konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek semata. Seperti halnya corak paradigma Cartesianisme, yang menganut hitam-putih atau subjek-obyek. Sebagaimana obyek dapat dieksploitasi atau bahkan dihancurkan.

Terlepas dari itu, tanpa disadari iklim terus berubah. Bencana alam terjadi di mana-mana. Jangan marah jika banjir karena hutan dirusak. Sementara pembangunan perumahan tak memerhatikan aspek keseimbangan lingkungan. Kini, manusia seolah berhadapan dengan bom waktu yang dituai sendiri.

Di Jawa Barat, rusaknya hutan tak dapat disangkal. Tengoklah Bandung, kawasan yang dulu dikenal sejuk kini mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung adalah kota tempat para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan pegunungan yang permai.

Setali tiga uang, banjir telah menjadi satu titik yang hendak dituju oleh kota-kota di Jabar, dengan Bandung sebagai “pemimpinnya”. Penyebabnya memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan pada ketidaksigapan menata lingkungan.

baca : Kondisi Hutan Jawa Bagian Barat Kini, dan Bandingan Masa Lalu Zaman Junghuhn

 

Bangbarongan salah satu pelengkap dalam Kesenian Tradisional Reak Lumping yang berasal dari Ujung Berung, Kota Bandung, Jawa Barat. Sosok Bangbarongan merupakan gambaran dari jelmaan Batara Kala. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak mampu melawan hukum karma. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Agaknya, seiring daerah menjadi kota, manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan manusia terdahulu. Nilai hidup itu adalah kearifan lokal.

Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi atau perenial. Disebut demikian karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat.

Dalam konsep filsafat perenial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar sama yaitu produk “kreatif” Tuhan. Oleh karena berasal dari Tuhan, semestinya tak ada yang berhak merusak satu sama lain.

Sekalipun makro dan mikro hanya tentang peran. Tetapi keduanya harus saling membangun harmoni. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Pendosa bagi yang melanggar.

Lalu masalah baru muncul pada tataran praktis. Kearifan lokal acap kali dipandang sebelah mata. Padahal kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi bahwa alam diyakini harus dijaga sepenuhnya.

Dalam tradisi Sunda, misalnya, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (mengambil seperlunya, mengambil mohon izin). Pepatah ini bukan hanya tersurat soal larangan berbuat angkara murka. Melainkan juga tersirat adab yang baik sekalipun terhadap alam.

Maka jika terjadi bencana, bukan alamnya yang marah. Melainkan manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam. Alam punya siklus waktu tersendiri.

baca juga : Orang Sunda Itu Sudah Diwarisi Cara Melestarikan Alam

 

Kuncen melalukan ritual sebelum memasuki Leweung Larangan Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat. Ritual ini bertujuan untuk menghormati leluhur sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Agak ironis, ketika adanya aksi seorang pria membuang dan menendang sesajen yang diduga di area Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Tindakan itu terekam dalam video dan viral di media sosial. Pria itu menyebutkan, sesajen membuat murka Tuhan.

Padahal secara saintis ahli vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman, dikutip dari Kompas.id, menjelaskan, Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A. Gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut itu memiliki interval letusan jangka pendeknya 1-2 tahun.

Sedangkan lokasi pemukiman penduduk yang terdampak erupsi berdasarkan peta geologi Semeru, kata Mirzan, berada di tenggara dan selatan. Lokasi tersebut searah dengan aliran sungai yang berhulu di puncak Semeru.

Mirzam menambahkan, gunung api mempunyai ancaman bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer berkaitan saat gunung meletus, seperti lava, wedhus gembel atau awan panas, dan abu vulkanik. Sementara bahaya sekunder terjadi setelah letusan seperti bahaya banjir bandang dan lahar hujan.

 

Tanda Alam

Terkait sesajen, masyarakat Pesisir Losari di Cirebon tetap mempertahankan tradisi nadran atau sedekah laut di tengah pesatnya modernisasi. Ritual nelayan dengan melarungkan sesajen itu menjadi simbol rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki lewat laut.

Menurut Pemerhati Budaya Losari, Ridwan, nadranan adalah wujud terima kasih kepada Tuhan dengan menghormati alam. Tradisi ini akan terus lestari selama masyarakat pesisir masih memiliki budaya.

“Selagi lingkungan terjaga, budaya tetap ada,” imbuhnya saat dihubungi via telepon beberapa waktu lalu.

Pada budaya masyarakat Sunda, sesajen digunakan untuk melindungi tempat yang dikeramatkan. Tempat itu kemudian dimitoskan dan tak boleh dijamah oleh manusia. Mitos itu selain menjadi penanda batas alam, antara mana yang dapat digarap dan dilindungi. Juga mengajarkan agar manusia tetap punya adab.

baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

 

Foto udara pesawahan yang kian tergerus oleh pememukiman di kawasan Bandung Timur, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dalam buku Filsafat Kebudayaan, menurut Van Peursen, fungsi pertama mitos ialah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tersebut tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai sesuatu kekuatan yang memengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.

Pernyataan itu senafas dengan pakem yang diamanini masyarakat Sunda baheula (dulu), bahwa kehidupan manusia di dunia ini tidaklah bebas. Kehidupan manusia dipercayai sebagai bagian dari fungsi kosmos. Oleh karena itu, para leluhur membentenginya dengan macam-macam pamali (tabu). Supaya pantangan tidak boleh dilakukan oleh generasi penerus. Kalau dilanggar, bakal mengakibatkan kerugian.

Akan tetapi kekurangannya terletak pada konsekuensi dari melanggar pamali yang tidak pernah dijelaskan secara lugas. Akibatnya, banyak pamali yang telah diabaikan karena dianggap tidak masuk akal dan tidak berguna, atau bahkan dianggap takhayul.

Padahal, pamali dapat pula diilmiahkan dan sejalan dengan ilmu modern, seperti ekologi dan konservasi alam. Sayangnya, berbagai pengetahuan penduduk tentang lingkungan kini banyak yang tidak dihiraukan lagi dan punah. Dominasi kehidupan modern telah melupakan nilai-nilai tradisional, lantaran keberadaannya minim mendapatkan perhatian.

Konsep huluwotan (sumber mata air), menjadi buktinya. Dimitoskan sebagai tempat jin atau makhluk gaib lainnya, adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan nenek moyang Sunda memuliakan air.

Hal itu berbeda dengan masyarakat modern yang tak lagi memerhatikan hal-hal seperti demikian itu. Yang penting bagi mereka ialah bagaimana memanfatkan lahan demi kepentingannya.

Padahal, di masa silam masyarakat Sunda sangat peduli terhadap penataan ruang untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini, di antaranya, dapat disimak dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (kropak 632) yang memberi wejangan agar manusia bijaksana dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan.

Sebagaimana yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cibedug, Sukabumi, tata ruangnya dibagi menjadi tujuh zona, yaitu leuweung titipan (hutan titipan), leuweung kolot (hutan tua), leuweung cadangan (hutan cadangan), kompleks keramat (situs), walungan (sungai), dan mata air.

Agak ironis, ketika pemerintah mesti mengeluarkan biaya program rehabilitasi termasuk hutan dan lahan sekitar Rp2,23 triliun tiap tahun. Angka fantastis hanya untuk membayar kebodohan yang dibuat sendiri.

baca juga : Budaya Leluhur Sunda Telah Ingatkan Masyarakat untuk Rawat Citarum

 

Kondisi salah satu Gedong Cai Cikendi yang di bangun Belanda tahun 1921 di Lembang, Kota Bandung, Jawa Barat. Sebelum merancang kota, Pemerintah Belanda sudah membangun saluran air guna menunjang perkembang kota-kotanya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengadopsi Kearifan Lokal

Tuntunan hidup dalam kearifan lokal jelas mampu memprediksi masa depan. Maka sudah saatnya, manusia masa kini kembali mengkaji atau memahami tuntunan-tuntunan hidup implisit yang terkandung dalam kearifan lokal. Toh masih relevan juga dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang didambakan oleh dunia saat ini.

Pakar Hidrologi Universitas Padjadjaran (UNPAD), Chay Asdak, berpandangan, tantangan yang dihadapi saat ini selain krisis kepedulian juga terjadinya krisis kepemimpinan. Secara faktual pemerintah diklaim sudah memiliki semua data maupun analisis termasuk kebencanaan.

Pemerintah dinilai tak kekurangan informasi apapun. Begitu pula perihal rencana pembangunan ekonomi yang mempertimbangkan tata ruang berikut kajian aspek ekologisnya. Pemerintah sudah tahu, katanya.

“Instrumen pembangunan (KLHS dan RMPJM) yang dimiliki pemerintah itu lengkap. Tetapi, sungguh kecewa saya sampaikan, mereka kerap inkonsistensi, tidak dilaksanakan dengan sebenar-benarnya dan acapkali cacat proses tergantung kepentingan pemodal maupun politik,” kata Chay saat dihubungi via telepon.

Di ujung telepon, Chay menegaskan, seyogyanya pemerintah wajib berefleksi sekaligus renponsif terhadap perubahan iklim. Jika tidak, perubahan iklim bakal memberikan dampak sosial dan ekonomi sangat besar.

 

Exit mobile version