Mongabay.co.id

IKN Nusantara, Bagaimana Pastikan Ramah Alam dan Lindungi Hak Masyarakat Adat?

ILustrasi. Jangan sampai pembangunan kota mengorbankan kelestarian alam dan menimbulkan permasalahan lingkungan baru. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

Ilustrasi. Jangan sampai pembangunan kota mengorbankan kelestarian alam dan menimbulkan permasalahan lingkungan baru. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

“Selanjutnya kami akan menanyakan sekali lagi pada seluruh anggota dewan, apakah Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang?” tanya Puan Maharani, Ketua RDPR RI dalam rapat paripuran DPR ke-13 masa persidangan III tahun 2021-2022 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, 18 Januari lalu.

“Setujuuuuuu…”

Politikus PDIP itu lantas mengetuk palunya satu kali ketika mendengar respon anggota sidang. Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru ke Kalimantan Timur pun sah secara hukum. Calon ibukota baru ini pun diberi nama: Nusantara.

Berbagai kalangan menyoriti UU IKN ini. Dalam catatan Walhi, menyebutkan, proses RUU IKN sekitar 40 hari sejak anggota panitia khusus RUU IKN ditetapkan 7 Desember 2021. Rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan ahli dan akademisi lantas digelar pada 9 Desember 2021.

Sepekan setelah itu, anggota pansus rapat maraton hingga memasuki reses pada 16 Desember 2021. UU ini lahir ‘kilat’ terlihat dari durasi rapat yang tidak jarang berlangsung sejak pagi hingga jelang tengah malam.

Menurut Walhi, hal itu mirip dengan proses penyusunan UU Cipta Kerja (omnibus law). Seharusnya, pemerintah belajar dari omnibus law yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute mengatakan, pembangunan yang sepihak, mendadak, dan buru-buru merupakan watak dasar kebijakan pembangunan di Indonesia.

Track record-nya demikian. Biasa tidak partisipatif dan tidak lihat tingkat lokal,” katanya.

Dia contohkan, Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, sepi aktivitas dan peruntukan tak jelas. Dalam proses, pembangunan bandara ini ditolak masyarakat sekitar dan terjadi bentrokan antara petani dan polisi.

“Pada dasarnya negara itu cenderung melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak sepihak dengan otoritas tinggi,” katanya.

Pemindahan IKN perlu biaya sampai Rp466,98 triliun ini menimbulkan kecurigaan sebagai upaya pemerintah dalam menguntungkan korporasi yang menguasai lahan-lahan IKN.

 

Baca: Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

Buku Saku IKN Nuantara Bappenas

 

Catatan Walhi, setidaknya ada 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batubara di lokasi IKN.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), para pebisnis yang menguasai lahan itu adalah orang-orang dekat dengan istana seperti Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo Subianto), Reza Herwindo (anak Setya Novanto) hingga Yusril Ihza Mahendra.

Untuk itu, penting disimak skema pembebasan lahan dari korporasi-korporasi ini. Jatam menduga, skema ini penuh transaksional, terutama wacana tukar guling lahan.

Eko menyebut, kondisi IKN bukan lahan kosong hingga patut dicurigai jadi ajang pemutihan dosa-dosa tambang, kebun dan industri kehutanan. “Belum lagi dengan banyak puluhan anak kecil yang meninggal di lubang bekas tambang,” katanya.

 

Pertanyakan keberlanjutan

Dalam buku saku Pemindahan Ibu Kota Negara terbitat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Juli 2021 disebutkan, Visi IKN adalah jadi kota paling berkelanjutan di dunia. Menurut Eko, hal ini perlu jadi perhatian.

Salah satunya terkait ekosistem gambut di sekitar IKN.Dalam buku saku itu dikatakan kalau salah satu indikator kota keberlanjutan yang diincar adalah desain yang sesuai dengan kondisi alam.

“Apakah mungkin bangun di atas gambut? Kan kita bisa belajar dari orde baru, pembukaan lahan gambut 1 juta hektar,” katanya.

Selain itu, di sekitar IKN pun kaya biodiversitas. Pada 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat flora Indonesia mencapai 26.632 jenis. 40% di Kalimantan Timur.

Bahkan, status flora di Kalimantan terutama famili dipterocarpaceae masuk kategori vulnerable, endangered dan critically endangered. Setidaknya, ada 9.956 jenis flora dan 3.936 flora endemik perlu dilindungi di Kalimantan Timur.

Lembaga yang dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional itu juga mencatat, ada 34 jenis mangrove dan 527 tumbuhan berguna di provinsi itu. Untuk satwa, ada 150 orangutan, 100-1.000 bekantan, penyu hijau, beruang hutan dan lumba-lumba.

Kekayaan sumber daya alam hayati inilah, kata Eko, perlu perhatian kalau memang konsep kota berkelanjutan diutamakan di IKN.

Indonesia, katanya, perlu belajar dari negara-negara maju yang pembangunan infrastruktur mengedepankan ekosistem, bahkan untuk serangga kecil seperti lebah.

“Itu di Jerman, kalau di situ ada komunitas lebah, pembangunan dipastikan tidak ganggu ekosistem, makanann dan semacamnya.”

 

Baca: Resmi, Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kalimantan Timur

Ilustrasi, Bagaimana memastikan hutan tetap terjaga kala wilayah itu menjadi IKN Nusanara? Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dia bilang, memastikan ekosistem di IKN tidak cukup dengan hanya menanam pohon. Harus memperhatikan ekosistem di sana dan bencana ekologis yang kerap terjadi beberapa waktu belakangan di Kalimantan, mulai dari banjir, krisis pangan, kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan.

Wakil Ketua Lembaga Studi Papua ini pun mengkritik konsep forest city di IKN. Setidaknya, kalau memang ingin membuat IKN sebagai forest city, harus memastikan enam ciri.

Pertama, konservasi dan sumber daya alam serta habitat satwa yang kuat. Kedua, menjaga koneksi alam. Ketiga, pembangunan rendah karbon.

Keempat, sumber daya air yang memadai. Hal ini mengacu pada catatan Walhi yang menyebut Panajam Paser sebagai sumber air bagi Balikpapan, bukan tidak mungkin ketersediaan air akan menipis seiring migrasi 2,5 juta orang ke IKN.

Kelima, pembangunan yang terkendali dengan memerhatikan daya dukung dan daya tampung ekosistem. Keenam, partisipasi masyarakat yang harus diutamakan dalam pembangunan.

Nah, nantinya ekologis seperti apa yang akan dikedepankan? Apa yang akan dilakukan di sana, banyak pertanyaan soal ini.”

 

Bagaimana masyarakat adat?

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, kalau ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat adat bisa dilihat dari UU IKN yang baru disahkan.

Dia spesifik menunjuk Pasal 16 ayat 1 dan 3, masing-masing berbunyi mekanisme pengadaan tanah dengan memperhatikan hak atas tanah masyarakat dan hak atas tanah masyarakat adat serta pemberian hak pengelolaan kepada otorita IKN Nusantara dengan memperhatikan hak atas tanah masyarakat dan gak atas tanah masyarakat adat.

“Sudah ditaruh di penjelasan, itu pun hanya ‘memperhatikan’. Itu tidak mengikat sama sekali,” kata Abdon.

Padahal, katanya, pandangan untuk memastikan hak-hak masyarakat adat di IKN sudah disampaikan beberapa fraksi dua hari sebelum ketuk palu. Pandangan fraksi meminta, ada pengaturan khusus guna memastikan tak ada perampasan tanah.

Sayangnya, desakan itu tidak muncul sama sekali dalam proses dan batang tubuh UU IKN. “Kelihatan ada pengendalian proses.”

Kondisi ni, katanya, akan meminggirkan masyarakat adat di kawasan yang akan jadi IKN. Apalagi, Gubernur Kalimantan Timur Isran Nur pernah berujar kalau tidak ada masyarakat adat di IKN.

 

Sumber: Buku saku IKN Nusantara Bappenas

 

Nyatanya, Dewan Pengurus Daerah Lembaga Adat Paser Kabupaten Penajam Paser Utara pernah bersurat pada 15 Januari lalu kepada Pansus RUU IKN. Surat itu berisikan aspirasi Masyarakat Adat Paser dan gamblang mencantumkan 12 sub Suku Paser yang jelas keberadaan dan asal-usulnya.

“Bahkan, teman-teman sudah ke Jakarta dan berdialog dengan pansus,” kata Abdon.

Jadi ucapan gubernur jelas bertolak berlakang dengan Perda Kalimantan TImur Nomor 1/2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Timur. Produk hukum ini merupakan ‘sarana’ perlindungan bagi masyarakat adat di IKN.

Dia khawatir, kalau pembangunan “Nusantara” ini bakal penuh konflik. Masalah lahan ini rentan terjadi karena basis klaim hak adat yang sudah ada sejak ratusan tahun.

Potensi konflik bisa terjadi, katanya, pada saat pembangunan maupun terjadi di kemudian hari antara masyarakat adat dengan pendatang di IKN.

Menurut Eko, sudah banyak pengalaman serupa di daerah lain. Antara lain, di Merauke dengan jutaan pendatang dari Jawa, Bugis dan Makassar. Orang-orang Merauke dengan keahlian asli meramu dan berburu kalah saing dengan pendatang yang budidaya padi.

Ekonomi pendatang meningkat membuat orang lokal jadi tersingkirkan dan tak memiliki posisi politik kuat untuk duduk di pemangku kebijakan. “Orang Jawa di Merauke itu butuh 3-5 tahun untuk bisa mandiri, lalu jadi Pak RW dan jadi Kades,” kata Eko.

Jadi, persoalan mendatangkan penduduk ke IKN bukan hanya dari akan bertambah banyak penduduk di satu lokasi, juga ada persoalan sosial hingga politik. “Bom waktu sosial-politik ini apakah diantisipasi sebagai pengembangan kota baru?”

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, mereka akan menjaga aspek lingkungan hidup dalam pembangunan IKN. Dia berjanji, terus mengawal pembangunan agar sesuai dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan master plan sudah mengedepankan aspek lingkungan.

Satu contoh, rencana pembangunan jalan tol dari Balikpapan ke Samarinda, hendak berbelok ke IKN. Jalan tol itu akan menerabas hutan lindung Sungai Wain.

“Saya protes, akhirnya mereka berbelok,” katanya.

Dia juga meminta, seluruh pihak membantu menjaga aspek lingkungan di IKN.

Medrilzam menyebut, IKN ini justru akan memperbaiki kondisi lingkungan di sana mengacu pada kondisi hutan yang tinggal 42% serta air sulit.

Bahkan, dia menyebut kalau biodiversitas di kawasan IKN sudah kacau balau dan terfragmentasi. “IKN akan menyambung lagi hutan dan home range satwa menjadi luas,” katanya.

Keberadaan IK, kata N Medrilzam, akan menghutankan kembali kawasan itu. Berdasarkan rencana, kawasan akan 75% dan tingkat emisi ditekan supaya IKN zero net city.

 

 

******

Foto utama: ILustrasi. Jangan sampai pembangunan IKN Nusantara  mengorbankan kelestarian alam, menimbulkan permasalahan lingkungan baru dan mengabaikan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version