Mongabay.co.id

Masyarakat Pesisir Harus Berperan Besar dalam Presidensi G20

 

Pertemuan negara Kelompok Dua puluh atau Group of Twenty (G20) yang akan berlangsung di Indonesia pada 2022, menjadi momen penting bagi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Indonesia berjanji akan membawa isu kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan dalam pertemuan nanti.

Pernyataan tersebut dirilis secara resmi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada pekan lalu. Namun sayangnya, janji yang dipublikasikan tersebut masih mengundang keraguan dari sejumlah pihak, utamaya pada masyarakat perikanan nasional.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, jika Indonesia akan membawa isu kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan, maka seharusnya yang dilakukan adalah berkomunikasi dengan masyarakat pesisir.

Dengan kata lain, Indonesia harus bisa membawa amanat dari masyarakat pesisir jika isu yang akan dibawa adalah tentang kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan. Pasalnya, masyarakat pesisir adalah pemeran utama untuk isu yang menjadi bahasan tersebut.

“Cuma sayangnya, di dalam beberapa pertemuan strategis (sebelumnya), Indonesia belum punya narasi komprehensif tentang isu kelautan dan perikanan, apalagi yang berkelanjutan,” ucap dia kepada Mongabay, pekan lalu di Jakarta.

baca : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Dia mencontohkan, isu yang dibawa Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia pada akhir 2021 lalu, tidak lain adalah ekonomi biru beserta turunannya seperti karbon biru.

Menurut Susan, walau isu tersebut mengusung keberlanjutan lingkungan di laut dan bumi secara keseluruhan, namun itu tidak menutup fakta bahwa orientasi dari kebijakan tersebut mengarah kepada investasi. Lebih tepatnya, mengeksplorasi kepada jasa lingkungan.

Hal itu, diperparah dengan fakta lainnya bahwa hingga saat ini industri ekstraktif juga masih terus berjalan, baik di Indonesia maupun di dunia secara keseluruhan. Itu juga akan mempertanyakan peran dari negara lain dalam kontribusi mereka terhadap perubahan iklim.

Selain fakta di atas, Susan juga mengkritisi kebijakan yang sudah dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk isu kelautan dan perikanan. Sejauh ini, narasi yang dibangun adalah tentang perikanan berkelanjutan, namun selalu berjalan dengan berlawanan dari pertahanan lingkungan.

Salah satu contohnya adalah penerbitan Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal dengan UUCK. Regulasi tersebut justru tidak membenahi tata kelola kelautan dan perikanan, melainkan justru membuka kesempatan yang luas bagi para investor, baik luar atau dalam negeri.

Dalam penilaian dia, tata kelola kelautan dan perikanan di bawah UUCK akan selalu berakhir di tangan kepentingan para pelaku usaha. Tidak peduli apakah skemanya ekstraktif atau eksploitatif, namun itu akan tetap mengarah kepada pelaku usaha demi bisa mengejar target besa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Target PNBP senilai Rp13 triliun tersebut, disebut Susan Herawati sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kan KKP sedang mendorong cita-cita besar tersebut,” tutur dia.

baca juga : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Deretan perahu nelayan bersandar di pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Oktober 2019. Foto : Shutterstock

 

Untuk bisa mencapai target yang ditetapkan, KKP tidak hanya membebankan pajak kepada para pelaku usaha yang bergerak pada sektor kelautan dan perikanan saja, namun juga kepada para pelaku usaha yang bergerak dalam usaha tambang yang bisa menyebabkan kerusakan lingkungan.

“Itu semua ada dalam PP No.85/2021,” tegas dia.

Dengan demikian, Susan mempertanyakan sikap KKP yang akan membawa isu kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan pada forum G20. Pasalnya, jika membaca seluruh fakta di atas, KKP belum menerapkan kebijakan yang berkelanjutan.

Itu termasuk juga dengan kebijakan alat penangkapan ikan (API) yang masih membiarkan penggunaan trawl atau pukat harimau di perairan tradisional Indonesia. Kebijakan tersebut tidak hanya akan mengancam ekosistem laut, namun juga akan memicu munculnya konflik horisontal dengan nelayan tradisional.

Di luar itu, dia menyebut kalau Indonesia juga masih belum bisa menerapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) poin 14 yaitu melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan. Terutama, karena semakin banyak luasan lahan hutan mangrove yang mengalami degradasi.

Fakta tersebut berlawanan dengan cita-cita KKP yang ingin mempercepat produksi perikanan budi daya hingga mencapai target yang ditetapkan, salah satunya produksi udang sebanyak 2 juta ton pada 2024. Target tersebut bisa berakhir fatal, karena itu akan berkaitan dengan perluasan lahan budi daya.

“Namanya lahan budi daya diperluas, itu pasti di pesisir, dan itu memangkas habis hutan-hutan mangrove yang tersisa. Padahal, setiap tahun terjadi penurunan signifikan terhadap luasan lahan mangrove yang ada di Indonesia,” papar dia.

baca juga : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Presiden Joko Widodo melakukan penanaman mangrove di Desa Tritih Lor, Kecamatan Jeruklegi, Cilacap. Foto : BPMI Setpres

 

Sinkronisasi Isu

Berbeda dengan KIARA, respon lebih tenang diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan saat memberikan keterangan kepada Mongabay, akhir pekan lalu di Jakarta.

Menurut dia, jika memang KKP akan membawa isu kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara G20, maka sebaiknya dilakukan sinkronisasi isu di antara semua pemangku kepentingan kelautan dan perikanan.

“Tujuannya, agar terjadi satu pemahaman tentang kesehatan laut seperti apa yang mau diadaptasi dan dicapai. Untuk itu, diperlukan indikator dan cara pengukuran kesehatan laut secara global dan dilakukan penyesuaian dalam konteks Indonesia.

Khusus untuk isu penanganan sampah plastik di laut, dia menyebut bahwa Indonesia sudah memberikan kontribusi yang nyata untuk penanganan pencemaran di laut tersebut. Bahkan, Indonesia sudah menerbitkan payung hukum melalui Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Plastik di Laut.

“Pelaksanaan perpres tersebut perlu diakselerasi dan hitung sejauh mana kontribusinya dalam mengurangi sampah plastik di laut,” tambah dia.

Berkaitan dengan isu isu kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan, diperlukan adanya sinkronisasi dengan seluruh pemangku kepentingan kelautan dan perikanan. Sebab, pemahaman tentang kesehatan laut belum dikuasai oleh para pemangku kepentingan, bahkan detail dan atributnya masih belum dipahami juga.

Sementara, meski ada banyak pandangan dan penilaian yang beragam dari banyak pihak terkait pengukuran kesehatan laut, namun tetap saja semua pihak dan pemangku kepenting harus bisa menyamakan persepsi, kesepakatan, dan komitmen nasional tentang kesehatan laut.

Paling tidak, Moh Abdi Suhufan menyebutkan bahwa hal yang harus disepakati itu, adalah tentang strategi, indikator dan cara mengukurnya, serta otoritas atau lembaga apa yang berperan dalam pengukurannya.

“Sebab saat ini semua pihak bisa bicara apa saja tentang kesehatan laut, sesuai dengan persepsinya masing-masing,” tutur dia.

baca juga : Ekonomi Biru untuk Menjaga Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Tumpukan sampah diantara kapal nelayan di sepanjang pantai Satelit, kecamatan Muncar, Banyuwangi, pada akhir Juni 2019. Selain di pantai, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Diketahui, pekan lalu KKP menyebut bahwa KTT G20 yang puncaknya akan berlangsung di Bali pada akhir 2022 mendatang akan dijadikan momen untuk berbagi isu tentang kesehatan laut dan perikanan berkelanjutan.

Dari rilis resmi KKP tersebut, isu yang dibawa akan dibagikan dalam segmen Environment and Climate Sustainability Working Group (ECSWG) yang mengupas isu tentang lingkungan. ECSWG di bawah Presidensi Indonesia akan fokus pada prioritas sustainable recovery, land and sea-based actions, dan resource mobilization.

“(Itu) untuk mendukung perlindungan lingkungan dan target-target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” demikian bunyi pernyataan resmi tersebut.

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar menjelaskan, dari tiga isu tersebut, ada tujuh isu turunan yang menjadi prioritas, di antaranya adalah tentang keanekaragaman hayati yang berkaitan dengan Post 2020 Global Biodiversity Framework, serta pemulihan lingkungan dari land degradation dan deforestation.

Kemudian, ada juga isu tentang perlindungan ekosistem laut yang berkaitan dengan aktivitas penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF), kawasan konservasi perairan (marine protected area/MPA) di Antartika, dan Osaka Blue Ocean Vision.

Selain itu, ada juga isu tentang sampah laut, efisiensi penggunaan sumber daya dan ekonomi sirkular, pendanaan berkelanjutan untuk mencakup isu lingkungan hidup yang lebih luas, serta G20 Water Dialogue.

“Melalui kebijakan ekonomi biru, KKP mendorong kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan dan pemanfaatan ruang laut yang mempertimbangkan ketahanan ekologi dan ketahanan ekonomi,” ujar dia.

baca juga : Hari Laut Nasional : Apakah Konservasi Kawasan Perairan Sudah Berjalan Baik di Indonesia?

 

Sejumlah ASN melintasi poster dukungan KKP dalam rangka menyambut perhelatan G20 yang puncak acara Leaders’ Summit di Bali pada bulan Oktober 2022. Foto : KKP

 

Adapun, ekonomi biru yang dimaksud sesuai dengan program prioritas KKP di bidang pengelolaan ruang laut, yaitu rehabillitasi ekosistem pesisir, mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, serta pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan.

Di samping itu, KKP juga memiliki kebijakan penangkapan ikan terukur di mana targetnya adalah untuk memerangi praktik IUUF, distribusi pertumbuhan ekonomi secara merata di wilayah pesisir untuk pengentasan kemiskinan, hingga menjamin kesehatan laut untuk jangka waktu yang panjang.

Selain ECSWG, ada juga tema payung Blue Economy: Towards Global Recovery yang akan digelar nanti. Ada dua pilar yang menjadi sorotan, yaitu meningkatkan kesehatan dan perlindungan ekosistem laut melalui rehabillitasi ekosistem pesisir, mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan, pemberantasan IUUF, serta memerangi sampah laut.

“Kemudian mendukung pemulihan pasca pandemi dan ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas perikanan budidaya yang berkelanjutan, penangkapan terukur serta peningkatan mutu dan keamanan pangan,” pungkas dia.

Perhelatan akbar Forum G20 sendiri sudah dilangsungkan sejak awal Desember 2021 dan direncanakan akan menggelar acara puncak berupa pertemuan KTT G20 di Bali pada akhir Oktober 2022. Presiden RI Joko Widodo sudah menekankan agar Indonesia harus bisa mendorong anggota G20 untuk melakukan aksi nyata dan terobosan besar.

Selain itu, Presidensi Indonesia juga akan digunakan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang. Lebih tegas lagi, Presiden Jokowi ingin agar Indonesia bisa membangun tata kelola dunia yang lebih adil.

 

Exit mobile version