Mongabay.co.id

Aplikasi Bank Sampah Digital ini Jadi Basis Data lebih 15 Ribu Warga Bali

 

Bagaimana perilaku konsumsi warga dan jumlah volume sampah di lebih dari 400 bank sampah di Bali bisa terpantau di aplikasi bank sampah Griya Luhu. Setelah 1,5 tahun dibuat, aplikasi ini sudah digunakan di 427 bank sampah di 7 kabupaten dan kota di Bali, dan kini akan diperluas ke Surabaya, Jawa Timur.

Tak mudah membuat aplikasi yang operasional, atau memang digunakan dan dibutuhkan. Apalagi bisa berusia panjang dan bertambah penggunanya. Griya Luhu, sebuah inisiatif sistem manajemen pengelolaan bank sampah yang dibuat di Bali bahkan berkembang jadi bank sampah induk. Tak hanya menyediakan aplikasi, tapi juga memilah sampah-sampah dari bank sampah yang menggunakan.

Kegiatan gudang bank sampah induk Griya Luhu di Kabupaten Gianyar, pada 26 Januari 2022 lalu terlihat sibuk dengan aktivitas pemilahan sampah anorganik. Sedikitnya ada 8 orang pekerja, sebagian besar perempuan yang tekun memisahkan aneka jenis sampah plastik, kertas, botol plastik, kemasan multilayer, besi, dan lainnya.

Hal menarik, dalam kelompok plastik ada banyak yang harus dipilah jadi kelompok berbeda. Karena tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang, artinya tidak laku dijual ke rantai pasok industri recycle. Sesi pemilahan ini membuat kita menyadari, memilah sampah ke dua jenis tong sampah yakni anorganik dan organik saja tak cukup.

Tiga perempuan yang mengambil tantangan ini adalah Komang Sulasmi, Wayan Dartini, dan Komang Opik. Ketiganya mengelilingi karung jumbo berisi sampah yang dibawa bank-bank sampah dari daerah seni di Gianyar, kabupaten yang mewilayahi Ubud dan Sukawati ini.

Karung ini jadi penuh sampah plastik, bekas cemilan plastik multilayer, beberapa robekan kardus, kresek, gelas air kemasan, dan lainnya. Ternyata, bank sampah tidak memilah dengan lebih spesifik. “Sementara ini kami terima walau masih tercampur, agar warga mau mengumpulkan anorganik dulu, biar sampah-sampah ini tidak terbuang sembarangan di lingkungan sekitarnya,” jelas Kadek Ayun Wardimas, salah satu staf Griya Luhu.

baca : Inilah Gringgo, Aplikasi Android Pengelolaan Sampah di Bali

 

Pekerja sedang memilah sampah di gudang bank sampah induk Griya Luhu di Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Untuk mempercepat kerja, ketiga perempuan pemilah memulai dengan mengambil plastik lembaran. Ini jenis plastik bening bungkus kerupuk atau lainnya yang polos tanpa sablon, bukan kresek. Ini salah satu jenis plastik yang dinilai terbesar, selain botol pet.

Berikutnya mengambil kresek saja, dipindahkan ke keranjang lain. Kemudian multilayer, ini paling rumit karena ukurannya kecil seperti bungkus sampo, snack, plastik dengan lapisan alumium tipis.

Setelah itu mengambil potongan kertas atau kardus. Sisanya dibiarkan tercampur. Sampah yang bisa terpilah dengan lebih spesifik dari bank-bank sampah adalah botol minuman dan logam.

Nah di bank sampah induk ini, botol kembali dipilah menurut jenisnya lebih detail. Pet bening, biru muda, dan warna lain. Botol-botol ini dibersihkan oleh pemilah Kadek Sariasih. Ia pekerja generasi pertama, sebelumnya berdagang canang (sarana sembahyang). Dari merangkai janur kelapa dan bunga untuk persembahan, kini ia membersihkan botol sampah. Pekerjaan yang memiliki tujuan sama, keselamatan bumi dan kesejahteraan dengan cara yang berbeda.

Hampir semua pemilah juga adalah anggota bank sampah di banjar atau desanya masing-masing. Banjar adalah sistem administrasi terkecil di Bali. Tiap desa mewilayahi beberapa banjar.

Wayan Dartini adalah nasabah di Banjar Kaja Kauh, Kelurahan Beng, lokasi bank sampah induk Griya Luhu ini. Ia kini punya tabungan hampir Rp100 ribu yang bisa dicek langsung di aplikasi Griya Luhu.

Sedangkan Komang Sulasmi adalah kader bank sampah di banjarnya. Setiap warga dikenakan retribusi Rp10 ribu per bulan untuk pengambilan sampah di rumah, tanpa kecuali. Walau dia tidak mau diangkut, karena ingin buang atau bakar di halaman belakang rumahnya. Langkah ini dilakukan untuk menutup peluang buang sampah sembarangan di kebun.

baca juga : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali

 

Aplikasi bank sampah Griya Luhu mulai diperluas ke Surabaya. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gagal lalu Bangkit Lagi

Griya Luhu mengalami sejumlah hambatan sebelum aplikasi dibuat. Akhir tahun 2017, pendirinya Ida Bagus Mandhara Brasika, sering dipanggil Gus Nara lulus master di bidang teknologi lingkungan dari Imperial College London, Inggris. Setelah kembali di Bali, ia memulai bank sampah di sejumlah banjar di Kabupaten Gianyar, daerah asalnya.

Selain itu, dari catatannya saat itu, sekitar 29% sampah di Bali yang belum terkelola berasal dari Gianyar. Ia bermimpi membangun kesadaran pengelolaan sampah dengan teknologi digital.

Namun, prosesnya tidak semulus perkiraan. Tiga bank sampah yang didampingi tutup karena dampak pandemi, aktivitas dibatasi, sementara volume sampah terus meningkat.

Ia juga mendapat penolakan saat membuat gudang pengelolaan sampah di Tulikup, Gianyar, karena dikira membuat lingkungan jadi tempat pembuangan akhir yang bau dan kotor. Gus Nara tak menyerah, ia mengontak temannya seorang programmer Gede Wiguna, untuk jadi tim teknologi informasi serta pengembang aplikasi Griya Luhu. Aplikasi Griya Luhur didaftarkan di Play Store pada Juni 2020.

Lokasi gudang dan kantornya kini adalah tanah yang dipinjamkan Keluarahan Beng, lokasi tempat tinggalnya. Saat ini menjangkau 7 dari 9 kabupaten/kota di Bali, digunakan 427 unit bank sampah dengan 15.118 anggota bank sampah. Targetnya adalah daerah pedesaan yang tidak punya akses pengelolaan sampah dan pengelola bank sampah yang masih menggunakan sistem manual. Menunya adalah daftar konsumen, saldo bank sampah, dan detail tabungan. Untuk mengevaluasi konsumennya, ada pemberian peringkat terhadap pemilahan sampah.

Mekanismenya, sampah rumah tangga dibawa ke banjar/dusun yang membuat bank sampah, dibawa ke gudang Griya Luhu, lalu residunya diambil pemerintah ke TPA. Sedangkan sampah yang bisa didaur ulang dijual ke industri di luar Bali.

baca juga : Ini Merek Sampah Terbanyak Beberapa Sekolah di Bali

 

Menu di aplikasi bank sampah Griya Luhu. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejauh ini ada 50 jenis sampah anorganik yang teridentifikasi, paling banyak kantong plastik 32%, kaca 22%, botol plastik 19%, kertas 10%, besi 7%, karton 6%, dan lainnya.

Bank sampah induk Griya Luhu mengelola 20 ton sampah tiap bulan, berkolaborasi dengan 22 banjar/desa (34%) di Kabupaten Gianyar. Hasil bersih dari penjualan sampah sekitar Rp4 juta per bulan.

Rencana pengembangan adalah meluaskan aplikasi dan bank sampah ke Surabaya, menambah skema pemilahan untuk penanganan popok, dan membangun stasiun daur ulang. Ada 13 tim inti, 62% perempuan, dan semuanya orang Bali.

Keterlibatan warga lokal ini dianggap isu penting karena kebanyakan pemilah, pemulung, pengepul, dan ekosistem pengelolaan sampah diisi orang luar Bali. Pekerjaan ini dianggap kotor dan tidak menjanjikan padahal tak sedikit pengepul sampah bernilai jual kini berhasil mengembangkan usahanya. Griya Luhu ingin mengajak warga mengurus sampahnya sendiri.

Gus Nara juga pernah bekerja sebagai analis perubahan iklim di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bangli. Setelah lima tahun bekerja di BLH Bangli, kini jadi dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana sejak 2019.

Walau bank sampah dan pengguna aplikasi makin banyak, masih banyak tantangan pengelolaan sampah di Bali. Pertama, bank sampah belum merata di tiap banjar, masih banyak yang tidak memilah sampahnya.

Kedua, pemilahan dari bank sampah masih belum bagus, tercampur antara plastik, kertas, kertas nasi, multilayer, dan lainnya. Ketiga, sampah residu yang tidak dikumpulkan diangkut pemerintah ke TPA. Nah, bagaimana sampah ini dikelola di TPA masih jadi pertanyaan besar.

baca juga : Sentilan Untuk Pergub Larangan Sampah Sekali Pakai di Bali

 

Tabungan salah satu pemilah sampah di bank sampah dusunnya dalam aplikasi bank sampah Griya Luhu. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gus Nara mengatakan dari pengalamannya masuk ke pengelolaan sampah. Evaluasinya adalah ‪Peraturan Gubernur Bali ‪No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP) belum efektif hingga kini. ‪Jenis PSP, berupa kantong plastik; ‪polysterina (styrofoam); dan ‪sedotan plastik dinyatakan dapat digantikan dengan bahan lain atau dihilangkan sama ‪sekali. ‪Pembatasan Timbulan Sampah PSP, mencakup volume atau berat, ‪distribusi, dan ‪penggunaan.

“Pergub No.97 masih tidak efektif, terutama karena kerannya belum ditutup. Maksudnya meskipun banyak inisiatif muncul dibawah, tapi distribusi bahan plastik sekali pakai di Bali masih tidak dibatasi, sehingga konsumsi tetap tinggi,” paparnya.

Di sisi lain, kecepatan pembangunan pengelolaan sampah di sumber kalah cepat dengan penuhnya TPA Suwung, dekat Teluk Benoa. Terutama untuk Kota Denpasar. Menurutnya masalah di TPA Suwung terlalu kompleks dan banyak kepentingan di sana.

Gianyar juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) Gianyar Nomor 11 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pasal 14 Perda ini menyatakan bahwa pemerintah daerah menyediakan prasarana dan sarana pemilahan sampah. Perda juga menjelaskan perlu dilakukan pemilahan sampah paling sedikit menjadi tiga pewadahan yaitu sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat didaur ulang dan sampah lainnya.

 

Exit mobile version