Mongabay.co.id

Cerita Para Perempuan Tani Pesisir Kulonprogo Pertahankan Lahan dan Terus Menanam

 

 

 

 

“Waktu itu, saya hamil tua anak pertama, naik truk pergi ke DPRD Wates,” kata Sih Sumarni, petani dari Dusun Gupit, Desa Karangsewu, Galur, Kulonprogo, Yogyakarta, Oktober lalu.

Sih mengenang pada 2009 saat ikut aksi petani pesisir Kulonprogo yang tergabung Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Para petani sudah 15 tahun konsisten menolak rencana pertambangan pasir besi, PT Jogja Magasa Iron (JMI).

Enggak mikir apa-apa lagi, pokoknya memperjuangkan tanah untuk anak-anak kami. Waktu itu ricuh kena gas air mata,” kata perempuan 39 tahun ini.

Sih, bukanlah perempuan satu-satunya yang turun ke jalan. Bersama Umi Kalsum, Etik, Yani, Kuspaminatun, Suratinem dan puluhan perempuan petani lain berjuang mempertahankan lahan pesisir yang jad sumber kehidupan mereka.

Kala itu, sekitar 30an perempuan yang bernaung dalam gerakan PPLP nekat berdiri di bak truk untuk berangkat berdemo. Tanah bagi mereka tak hanya tempat tinggal, juga sumber ekonomi, budaya, sosial. Terpenting lagi, anak-anak yang tumbuh dan lahir sebagai keturunan.

Meski bukan warga asli pesisir, Sih menjadi petani setelah menikah dengan warga Dusun Gupit. Dia pernah merantau menjadi buruh ke luar daerah sebelum menikah dan bertani. “Dari dalam kandungan, bayi dan sudah berjalan, sudah mengenal tani, bertani itu sudah mendarah daging,” katanya.

Hamparan pasir pesisir yang berwarna hitam legam itu jadi ruang hidup produktif warga. Cabai merah, terong, kacang panjang, melon dan semangka tumbuh subur dengan kualitas yang baik.

Sayangnya, kemakmuran petani di pesisir selatan terusik rencana pertambangan pasir besi, JMI sekitar 2006. Etik yang kala itu masih duduk di SMA, merasa situasi kampung tidak aman dan mencekam. Dia bilang, propaganda tambang dan teror sistemik oleh orang-orang tak dikenal.

Teror itu antara lain, pawai karyawan tambang keliling jalan desa di jam-jam tertentu hingga ada maling yang tak hanya mencuri hasil tani, juga merusaknya. Ada pula aksi helikopter terbang rendah berkeliling di lahan warga.

“Pernah semangka yang sebentar lagi panen ditebas arit oleh orang tak dikenal. Warga jadi ketakutan.”

Dia menyaksikan bagaimana orangtua dan warga di sekitar bertahun-tahun melawan tambang. Setelah jadi petani, dia pun ikut melawan. “Orangtua saya petani, suami saya petani. Anak saya, calon petani.”

 

Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]

Produksi semangka melimpah di lahan pertanian di Temon, Kulonprogo. Foto: Tommy Apriando

 

Belasan tahun kemudian, meski teror tak tampak di permukaan, mereka masih waswas. Rasa tidak aman, ketakutan kalau-kalau suatu waktu peristiwa itu bakal terulang.

Hingga berita ini terbit, Karwa Aziz Purwanto, staff Community Development JMI tidak merespon konfirmasi sambungan telepon maupun pesan singkat soal dugaan teror itu.

Izin JMI merupakan kontrak karya terakhir yang ditandatangani Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro pada 4 November 2008. Area tambang yang tertera dalam kontrak karya JMI seluas 2.977 hektar, membentang di enam desa di pesisir Kulonprogo, yakni, Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), Bugel Garongan dan Pleret (Kecamatan Panjatan), serta Desa Karangsewu dan Banaran di Kecamatan Galur.

Kehadiran tambang ini mengancam petani karena bisa menghancurkan lahan pasir yang menghidupi mereka selama ini.

Cabai menjadi salah satu komoditas andalan yang jual sampai keluar daerah, seperti Lampung, Jambi, Palembang, Medan dan Batam. Ada juga melon, semangka, kacang panjang dan sayuran lain.

Suratinem maupun Umi Kasim menceritakan, anggapan lahan tak subur di pantai pesisir selatan sangat melekat dalam ingatan masa kecilnya. “Kala mben ki dianggap, tanah e mboten subur. Tanduran e elek-elek, miskin-miskin (dahulu tanah pesisir dianggap tidak subur, tanaman jelek, warga miskin),” kata Umi. Dulu, ada olokan ‘wong cubung’ jatuh kepada para petani lahan pasir pesisir selatan.

“Dulu kami memang tidak mengenal teknologi, menyiram masih pake gembor. Lebih rekasa (sulit), cara menanam masih tradisional.”

Mereka pun mencari tahu cara menyuburkan tanah dengan kearifan lokal. Mereka membuat saluran air untuk tanam, menggunakan pompa air untuk menyiram, bahkan mendapatkan hibah surya panel untuk penggunaan listrik di lahannya.

Sejalan dengan data di Badan Pusat Statistik dalam ‘Kulonprogo dalam Angka 2021. Data BPS memperlihatkan, selama 2017-2020, cabai jadi jenis sayuran dengan hasil terbanyak dan terus meningkat.

Selama 2020, panen cabai di Kulonprogo mencapai 37.000 ton, tertinggi dari Kecamatan Panjatan 14.000 ton, disusul Wates 7.000 ton, dan Galur 5.000 ton. Tiga kecamatan ini masuk lokasi klaim Pakualaman Ground (PAG) dan terdampak kontrak karya JMI.

Lahan panen cabai seluas 3.706 hektar di tiga kecamatan dengan luasan terbesar Panjatan 1.101 hektar, Wates 775 hektar, dan Galur 536 hektar. Tanpa detail jenis lokasi tanam, hasil ini termasuk sumbangsih cabai di lahan pasir pesisir selatan.

 

Baca juga: Petani Hidup Makmur dari Menanam di Lahan pasir Pesisir Kulonprogo [2]

Tanaman cabai di lahan tani pesisir Kulonprogo, yang terancam tambang pasir besi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Petani hidupi banyak orang

Setiap hari, para petani perempuan pesisir Kulonprogo bangun pukul 4.00. Mereka masak makanan, bereskan rumah, menyiapkan anak sekolah, dan lain-lain. Semua mereka lakukan sebelum berangkat bertani bersama suami.

Sesekali anak-anak mereka dibawa ke ladang, mengenalkan pekerjaan kedua orangtuanya.

Begitu juga dengan Suratinem, istri Tukijo. Tukijo, petani asal Desa Karangsewu yang sempat masuk dalam jeruji besi di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan pada 2011. Dia divonis tiga tahun penjara karena ‘menyekap’ tujuh pekerja JMI yang melanggar larangan melintasi Desa Karangsewu.

Selama itu pula, Suratinem mengurus lahan seluas 2.600 meter persegi bersama tetangga dan buruh tani. Meski kejadian itu menyimpan trauma dan luka cukup dalam, dia terus melawan dan menanam.

“Serendah-rendahnya harga cabai, petani pesisir tetap mempekerjakan orang. Artinya, tenaga kerja kalau hanya lokal sini (pesisir) tidak akan mampu. Kami bersyukur saat ada hasil, orang lain bisa menikmati,” kata Suratinem.

Ribuan buruh tani bekerja di lahan pesisir, mayoritas perempuan. Mereka menanam, memupuk, membuat pagar, kayu penyangga, hingga memetik cabai saat musim panen tiba.

Petani mengatur jadwal agar tak bentrok saat mempekerjakan buruh satu dan yang lain. Seorang buruh tani bisa bekerja di beberapa lahan tergantung keahlian. Lahan seluas satu hektar bisa mempekerjakan sampai 30 buruh per hari dalam satu kali masa tanam. Besaran upah buruh tani ditentukan kelompok tani.

Untuk setengah hari kerja, seorang buruh bisa Rp35.000. Kalau satu hari penuh, bisa Rp80.000.

Para buruh mengerti upah yang diterima tak selalu sama tergantung harga jual hasil tani. Cabai, misal, harga bisa naik dan turun tergantung pasar. Saat harga turun, buruh tani bersedia dibayar cukup. Mereka mengerti, empunya lahan sedang sulit. “Saat sedang baik, mereka bisa bawa pulang sampai Rp100.000 sehari.”

 

Baca juga: Pasal Siluman dalam RTRW Yogyakarta, Beri Jalan Tambang, Tumpang Tindih dengan Proyek Jalan [3] 

Para petani perempuan Kulonprogo, terus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka yang terancam tambang pasir besi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Harga turun, bukanlah satu-satunya persoalan petani. Pupuk mahal, serangan hama dan penyakit tanaman adalah ragam kekhawatiran yang mereka hadapi. Kendati cuaca buruk juga ditakuti, namun harga jatuh jadi momok. Saat itu terjadi, mereka harus berutang.

Tanpa modal, mereka tak bisa membeli bibit, menebus pupuk, atau membayar buruh. “Harga jatuh berarti menambah utang,” kata Suratinem.

Mereka ibaratkan kalau harga jatuh, lauk yang terhidang di meja makan hanya telur, sayuran biasa dari kebun. Saat harga tinggi, mereka bisa memasak daging, ayam, dan ikan.

Suratinem dan petani perempuan lain menyadari, jadi petani tak selalu untung. Banyak kesulitan, selain kerap terlilit utang.

Ada juga masalah lain, petani pesisir ini kesulitan mengakses listrik dari PLN karena lokasi pertanian mereka kawasan kontrak karya perusahaan pasir besi.

Ketiadaan listrik itu memaksa petani mengandalkan pompa air berbahan bakar bensin. Biaya untuk itu jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran pompa air listrik. Tak kehilangan akal, mereka lantas memasang panel surya.

Dengan solar panel mereka lebih hemat dibanding memakai bahan bakar. Dia perkirakan, penggunaan bahan bakar untuk pengairan menelan biaya Rp1 juta per bulan. Solar panel hanya pakai energi matahari, gratis dari alam. Meski saat awal pemasangan perlu Rp25 juta, penghematan bisa setelah berbulan-bulan beroperasi.

Suratinem dan ribuan petani pesisir Kulonprogo berharap rencana tambang pasir besi itu batal hingga mereka bisa bertani dengan aman.

Baginya, bertani itu jalan hidup. Sektor pertanian juga membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Lahan pasir itu sumber penghidupan ribuan orang.

Kabeh-kabeh yo disyukuri (semua harus disyukuri). Wong tani ki rekasa (petani itu susah), enggak punya modal. Tidak bisa menanam jika tidak ada berutang. Kalau lahan hilang, kami mau makan apa. Orang kota makan apa?”

 

Lahan pertanian di pesisir Kulonprogo yang terancam tambang emas. Petani terus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

*Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan  Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com).  Liputan ini juga sebagai bagian dari kolaborasi riset “Potret Dampak Pengelolaan Tambang Pasir Besi Kulon Progo bagi Perempuan” oleh IDEA Yogyakarta dan AJI Yogyakarta, yang didukung oleh Publish What You Pay (PWYP).

*********

Exit mobile version