Mongabay.co.id

Komoditas Udang Nasional, Dikejar Target dengan Konflik Tak Berujung

 

Nelayan kecil kembali menjadi korban dari kebijakan tata kelola perikanan yang sudah diterbitkan Pemerintah Indonesia saat ini. Penilaian itu keluar, karena Pemerintah cenderung memberi prioritas kepada kapal dengan ukuran besar ketimbang kapal berukuran kecil atau tradisional.

Bentuk kebijakan yang dimaksud, adalah tentang aturan penangkapan udang yang memberikan keleluasaan kepada pelaku usaha dengan modal besar melalui perizinan untuk kapal perikanan mereka. Kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat perikanan skala kecil.

Penilaian tersebut dipublikasikan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia belum lama ini di Jakarta. Menurut mereka, penerbitan kebijakan yang dimaksud, tak hanya meminggirkan kapal kecil yang dioperasikan oleh nelayan kecil, namun juga bisa memicu masalah ekonomi di kalangan mereka.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, praktik ketidakadilan yang sudah diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, diberikan secara eksklusif hanya kepada kapal ikan berukuran besar, serta zona tangkap yang luas.

“Itu termasuk dalam zona tangkap nelayan kecil dan tradisional,” ucap dia.

Adapun, kebijakan yang menyebabkan nasib nelayan kecil dan tradisional terpinggirkan, tidak lain adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

baca : Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budi daya

 

Udang Vaname hasil budi daya di Desa Bayan, Lombok, NTB. Foto : shutterstock

 

Menurut dia, kebijakan tersebut mengandung sejumlah aturan yang bisa merugikan nelayan tradisional dan juga penangkap udang. Salah satunya, adalah Pasal 26 yang menyebutkan jaring hela udang berkantong hanya diberikan pada kapal berukuran di atas 30 gros ton (GT).

Kehadiran pasal tersebut, dinilai telah menutup kesempatan kapal yang ukurannya di bawah 30 GT untuk melakukan aktivitas penangkapan udang dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) jenis pukat hela (trawl) mini.

“Jaring hela berkantong oleh nelayan Indonesia timur identik dengan jenis alat tangkap trawl mini,” terang dia.

Kapal-kapal berukuran kecil berukuran di bawah 5 GT yang dimaksud, adalah yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku. Mereka biasa mengoperasikan kapal dengan trawl mini, namun kemudian terhenti karena ada pelarangan pada masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Abdi Suhufan menambahkan, ancaman yang dihadapi nelayan kecil menjadi semakin besar, karena selain dominasi perizinan untuk kapal besar dengan menggunakan trawl mini, kapal besar juga dibolehkan untuk beroperasi pada zona II dan III.

Kedua zona tersebut diperbolehkan, asalkan tidak melewati garis pada peta yang menghubungkan tempat yang sama kedalaman lautnya (isobat) dengan kedalaman minimal 10 meter pada WPPNRI 718 yang mencakup wilayah perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur.

baca juga : Udang Indonesia di Lingkaran Kuantitas, Kualitas, dan Keberlanjutan Lingkungan

 

Sebuah kapal penangkap ikan baru pulang dari Laut Arafura. Foto : YKAN

 

Dalam penilaian dia, kebijakan tersebut akan menjadikan WPP 718 sebagai wilayah perairan yang bisa dieksploitasi tanpa batas oleh kapal perikanan berukuran besar yang beraktivitas menangkap udang sebagai buruan utamanya.

“WPPNRI 718 akan menjadi ajang pesta pora kapal udang ukuran besar, karena akan beroperasi pada laut dangkal yang menjadi wilayah penangkapan ikan nelayan lokal dan tradisional,” jelas dia.

Abdi Suhufan menilai, jika kebijakan itu terus dijalankan, maka potensi konflik zona penangkapan ikan di WPPNRI 718 antara kapal besar dan nelayan tradisional tidak akan bisa dicegah. Untuk itu, perlu dievaluasi dan dilakukan revisi aturan tersebut, sebelum dilaksanakan.

Peneliti DFW Indonesia yang juga pengelola National Fishers Center (NFC) Muh Arifuddin mengatakan, saat ini sudah ada laporan konflik dan insiden antar kapal penangkap ikan di WPPNRI 718. Laporan tersebut diketahui terjadi pada lintang 6 ’27 dan Bujur 135’ 11, Minggu (23/1/2022).

Detail kejadian tersebut, adalah terjadinya tabrakan kapal antara kapal Poleang Raya berukuran 30 GT dengan kapal ikan Binama 11 yang berukuran di atas 200 GT. Kejadian tersebut dilaporkan karena kapal Binama menabrak API jaring insang yang sedang dipasang oleh kapal Poleang Raya.

Adapun, kapal Poleang Raya diketahui mendapatkan perizinan untuk melaut dari Pemerintah Provinsi Maluku. Sementara, kapal Binama 11 diketahui sengaja merusak API yang sedang dipasang oleh kapal Poleang Raya, saat dia melakukan operasi penangkapan dengan API trawl.

“Saat ini sedang dilakukan investigasi dan pengumpulan keterangan tentang keberadaan kapal Binama 11 yang diperkirakan ukurannya di atas 200 GT. Kami berkoordinasi dengan KKP untuk mengetahui detail kapal tersebut, termasuk perizinan yang pasti berasal dari mereka,” pungkas dia.

baca juga : Peluh Perjuangan Nelayan Mencari Udang di Selat Malaka

 

Nelayan mengemudikan perahu tradisional menuju saung yang digunakan untuk menjemur udang rebon di Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Budi daya Udang

Di lain pihak, saat konflik nelayan tradisional dengan nelayan besar yang sama-sama berburu udang sedang terjadi di Indonesia Timur, di saat yang sama KKP fokus untuk melaksanakan percepatan produksi udang hingga mencapai target nasional sebesar dua juta ton pada 2024.

Selain masalah di atas, sebelumnya DFW Indonesia juga mengkritik cara Pemerintah Indonesia menetapkan target produksi hingga dua juta ton udang pada 2024. Menurut mereka, ada hal mendasar yang harus dibenahi lebih dulu sebelum menjalankan target tersebut.

Masalah mendasar yang dimaksud, berkaitan dengan proses produksi udang yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan perikanan budi daya. Jika tidak dipecahkan, maka masalah yang dimaksud akan bisa menghambat kegiatan produksi udang di masa akan datang.

Detailnya, masalah yang bisa menghambat capaian target 2024 sendiri adalah ketiadaan peta detail tambak, status lahan tambak, dan kondisi saluran air yang tidak berfungsi. Ketiga masalah tersebut harus bisa dicarikan jalan keluar dengan baik.

“Harus ada perubahan dan reformasi program budi daya perikanan, jika ingin mencapai target produksi yang ditetapkan,” ungkap Abdi Suhufan.

Penetapan angka dua juta ton sendiri didasarkan pada produksi udang nasional yang berjalan sepanjang 2020 di angka 856.753 ton. Dengan demikian, ada kenaikan angka produksi hingga 133 persen pada target yang sudah ditetapkan.

perlu dibaca : Standardisasi Pengelolaan Tambak Udang Superintensif Diharapkan Ada Pada 2022

 

Panen udang dari tambak. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Menurut Abdi Suhufan, jika KKP hanya melakukan intervensi sebatas pada penyediaan atau bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti benih, pintu air, dan genset, maka itu tidak bisa mendorong peningkatan angka produksi dengan signifikan.

“Sebab, masalah inti budi daya lebih kompleks dari sejumlah bantuan tersebut,” tambah dia.

Adapun, penyebutan tiga masalah yang bisa menghambat produksi di atas, didasarkan pada fakta bahwa hingga saat ini Indonesia belum memiliki peta detail tambak untuk keperluan manajemen dan kegiatan teknik pada tingkat budi daya perikanan.

Di sisi lain, rencana KKP untuk melakukan revitalisasi tambak udang tradisional seluas 5.000 ha juga masih belum jelas hingga sekarang. Menurut dia, perlu ditegaskan apakah sudah ada peta detail tentang rencana tersebut, dan juga kejelasan status lahan yang bisa dikelola secara intensif.

Dalam penilaiannya, status dan kepemilikan lahan budi daya selama ini selalu menjadi masalah yang sensitif dan berkontribusi untuk menciptakan kegagalan program budi daya udang. Fakta tersebut sudah ditemukan di Sulawesi Tenggara, di mana produksi tidak berjalan lancar karena ada keterbatasan lahan hampir 50 persen kawasan tambak di kawasan lindung mangrove.

Permasalahan tersebut khususnya terjadi di Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Muna Barat. Sedangkan Konawe Selatan adalah salah satu dari lima lokasi yang dipilih oleh KKP untuk menjadi lokasi tambak udang terintegrasi.

baca juga : Produksi Terus Menurun, Nelayan Udang Rebon di Bengkalis Hadapi Berbagai Kendala

 

Tambak tradisional udang di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh yang direvitalisasi oleh KKP untuk memenuhi target produksi dua juta ton udang pada 2024. Foto : KKP

 

Jelas dan Bersih

Upaya untuk mengejar target tersebut, salah satunya dilakukan melalui tambak udang terintegrasi yang dijadikan akselerasi implementasi program terobosan pada subsektor perikanan budi daya. Agar bisa berjalan baik, tambak terintegrasi harus sudah dalam status jelas jelas dan bersih (clean and clear).

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb Haeru Rahayu menjelaskan, untuk menggapai target produksi udang hingga dua juta ton, pihaknya menerapkan dua model yang dinilai menjadi langkah strategis.

Pertama, langkah yang dipilih adalah dengan melakukan revitalisasi, dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan tambak tradisional. Kedua, adalah tambak terintegrasi yang nantinya melibatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pemerintah pusat.

“Ini bukan tugas yang mudah, dan bukan hanya tugas KKP saja,” sebut dia tentang target produksi dua juta ton pada 2024.

Saat ini, KKP sedang mengumpulkan data lokasi yang bisa dijadikan tambak udang terintegrasi. Untuk sementara, sudah dilakukan identifikasi terhadap lima calon lokasi sejak 2021 lalu. Kelimanya ada di Kabupaten Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Muna dan Kabupaten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Aceh Timur (Aceh), serta Kabupaten Kotabaru (Kalimantan Selatan).

Selain dengan pemerintah daerah, untuk mencapai kesepakatan secara terintegrasi, KKP melakukan koordinasi dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

baca juga : Penampakan Udang Purba yang Bertahan di Gelapnya Gua

 

Kawasan tambak udang Bumi Dipasena, Lampung. Foto : bumidipasenajaya.desa.id

 

Tb Haeru Rahayu mengungkapkan, langkah lain yang juga dilakukan, adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang ada di lima lokasi yang sudah dilakukan identifikasi. Diharapkan, semua proses tersebut bisa mempercepat pelaksananaan tambak udang terintegrasi.

Diketahui, berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya (DJPB) KKP, lahan eksisting tambak udang di Indonesia baru terdapat 300.501 hektare. Rinciannya, itu terdiri dari tambak intensif seluas 9.055 ha, tambak semi intensif seluas 43.643 ha, dan lahan tambak tradisional seluas 247.803 ha.

Tb Haeru Rahayu menjelaskan, dari kondisi lahan eksisting yang ada saat ini, pihaknya hanya mampu memenuhi kebutuhan udang nasional sekitar 856.000 ton. Dengan kata lain, masih ada kekurangan sekitar 1 juta ton yang harus dipenuhi agar bisa menggenapkan angka menjadi dua juta ton pada 2024.

Dia meyakini, untuk bisa menggapai target tersebut, tidak hanya intervensi dari Pemerintah Pusat saja yang harus dilakukan, namun juga diperlukan keterlibatan seluruh unsur, baik pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta.

Sedangkan Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf berharap, pelaksanaan tambak udang terintegrasi bisa berjalan dengan baik tanpa ada perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak tertentu. Ancaman tersebut diingatkan, karena program kerja tersebut berpotensi menghadirkan praktik korupsi.

“Dalam menjalankan program tersebut jangan sampai terjadi penyimpangan,” tutur dia.

 

Exit mobile version