- Tangkapan utama nelayan di Desa Deluk, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, adalah udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dan udang windu (Penaesus monodon).
- Umumnya, nelayan udang ini termasuk nelayan skala kecil dengan alat tangkap tradisional dan perahu berukuran antara 3-5 GT.
- Tangkapan udang pada musim-musim tertentu. Biasanya udang melimpah di perairan Selat Malaka dimulai ketika musim angin kuat.
- Pada cuaca normal, nelayan dapat membawa pulang udang tangkapan sekitar 15-20 kilogram sekali melaut
Hari menjelang malam ketika Ismail (65) baru saja pulang dari melaut. Raut wajah lelah begitu terpancar. Namun, dengan senyum ramah ia mencoba untuk menutup rasa penatnya itu ke pembeli yang sudah menunggu. Petang itu, kondisi air masih surut sehingga nelayan tidak bisa melabuhkan perahunya ke tempat pendaratan di pesisir pantai Desa Deluk, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Sampai-sampai sebagian pembeli ini ada yang rela berjalan kaki menuju ke tempat perahu-perahu nelayan berlabuh, jaraknya kurang lebih 50 meter dari daratan. Mereka kemudian melakukan transaksi di laut meski dengan kondisi air masih selutut. Di tempat berlabuh perahu tersebut selain pembeli, ada juga keluarga nelayan yang berdatangan.
Kedatangan mereka ini untuk menjaga perahu agar tidak terseret ombak, jika air laut sudah pasang mereka yang kemudian mengemudikan ke tempat pendaratan. Sementara para nelayan kembali pulang. “Laut pasang ini tidak tentu, kadang bisa sampai larut malam. Jadi anak-anak ini kadang jam 9 malam baru bisa mendaratkan perahu,” ujar Ismail disela-sela mengemasi hasil tangkapan yang masih di perahu untuk di bawa ke daratan pada Sabtu (21/02/2021).
baca : Produksi Terus Menurun, Nelayan Udang Rebon di Bengkalis Hadapi Berbagai Kendala
Alat Tangkap Tradisional
Ismail menjelaskan tangkapan utama nelayan setempat adalah udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis) dan udang windu (Penaesus monodon). Meski tidak sedikit juga yang membawa hasil tangkapan berbagai jenis ikan.
Sementara alat tangkap yang digunakan oleh nelayan ini yaitu jaring apollo bahannya terbuat dari bahan sintesis yaitu benang wol lembut, sedangkan untuk bagian pinggiran jaring digunakan talir ris, dan diikat beberapa pelampung di tali permukaan jaring dan ditambah timah sebagai pemberat jaring, supaya jaring bisa tenggelam ke dasar laut.
Ukurannya, untuk mata jaring 1,15 cm. Sementara panjang jaring yang digunakan sekitar 48 meter, untuk kedalaman atau lebar jaring ukurannya bervariasi antara 5-12 meter.
baca juga : Nelayan Masih Nekat Melaut Meski Kondisi Cuaca Buruk
Jupri (46), nelayan lain membeberkan untuk mengoperasikan penangkapan udang ini pertama yang harus dilakukan yaitu mempersiapkan alat tangkap berupa jaring Apollo. Perlengkapan lain yang harus di bawa yaitu solar, box, es batu dan perahu yang akan digunakan. Alat tangkap tersebut kemudian di tumpuk dengan rapi supaya jika diturunkan ke laut nanti bisa lebih mudah, begitu juga saat dinaikkan kembali.
Selain membawa perlengkapan kebutuhan tangkapan, para nelayan juga membawa bekal untuk makan di laut. Jika dihitung untuk operasionalnya sekali melaut menghabiskan biaya minimal Rp125-160 ribu.
Umumnya, nelayan udang ini termasuk nelayan skala kecil. Hal ini dikarenakan alat tangkap yang digunakan masih tradisional. “Kalau jaring kayak Apollo ini dua bulan sudah harus ganti. Harga jaringnya Rp350 ribu itu yang sudah siap,” katanya.
Sementara ukuran perahu yang dipakai nelayan antara 3-5 Gross Tonnage (GT). Harga perahu ini sekitar Rp25 juta, untuk mesin harganya sekitar Rp25 juta. Adapun jenis perahu yang digunakan yaitu perahu berbahan fiber, meskipun beberapa terlihat masih menggunakan perahu berbahan kayu. Nelayan setempat menyebutnya dengan sebutan perahu pompong.
“Disini jarak tempuh nelayan mencari udang di laut itu antara 2-3 mil. Kadang kami berangkat sendiri, tapi kebanyakan dua orang dalam satu perahu,” jelas Jupri yang mengaku sejak tamat Sekolah Dasar (SD) sudah melaut ini. Jika cuaca stabil rata-rata, kata dia, nelayan setempat berangkat melaut dimulai dari jam 07.00 WIB, mendarat lagi sekitar jam 17.00 WIB.
perlu dibaca : Inilah Udang Jerbung, Masa Depan Bisnis Udang Nasional
Cuaca Sulit Ditebak
Untuk tangkapan udang ini, kata Jupri ada musim-musim tertentu. Melimpahnya udang di perairan Selat Malaka biasanya dimulai ketika musim angin kuat, hanya kadang-kadang mau pergi ke laut tidak bisa lantaran perahunya kecil. Untuk itu ketika hendak melaut nelayan selalu memperhatikan cuaca terlebih dahulu. Jika angin sudah lumayan reda baru para nelayan ini berangkat melaut. Meski beberapa juga ada yang masih berani melaut.
Hal senada juga diungkapkan nelayan udang di Desa Selat Baru, Kecamatan Bantan, Muhammad Ali (63). Dia menjelaskan setiap tahunnya hasil tangkapan udang memang selalu ada. Hanya saat ini tangkapannya lebih banyak dibanding saat cuaca normal. Tangkapan banyak ini dimulai dari bulan Januari, biasanya sampai dengan bulan Mei. Jika cuaca normal dalam sekali melaut dia hanya bisa membawa pulang udang 5 kilogram, sekarang ini bisa 15-20 kilogram.
Meski begitu, lanjutnya, dibandingkan dengan 3-5 tahun lalu hasil tangkapan udang sekarang ini jauh berbeda. Dulu sekali melaut bisa dapat 25-30 kilogram. Sementara harga udang dari nelayan bervariasi antara Rp55-100 ribu per kilogram.
“Kalau dulu cuaca stabil, 6 bulan musim angin, 6 bulan musim teduh. Misalnya sekarang ini musim angin utara, bisa jadi angin timur laut datang. Tangkapan udang jadi menurun,” ujarnya.
menarik dibaca : Penampakan Udang Purba yang Bertahan di Gelapnya Gua
Kadir (32) nelayan yang sama juga merasakan sulitnya mencari udang ditengah kondisi cuaca yang tidak stabil. Dia mengaku walaupun sekarang ini resikonya di laut lebih besar karena kondisi cuaca yang tidak stabil, untuk menghidupi keluarganya ia tetap harus pergi melaut.
“Kami umumnya disini nelayan. Jadi kalau tidak pergi melaut ya mau makan apa? Kalau musim angin begini memang lebih beresiko, tapi paling ya cuma ya perahunya telungkup atau mati, ndak ada pilihan lagi,” ucap pria bertubuh dempal ini.