Mongabay.co.id

Perusahaan Tambang Kembali Beraksi di Wawonii, Para Perempuan Melawan

 

 

 

 

Puluhan orang menghadang satu eksavator kuning punya perusahaan tambang, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang mau menggusur kebun warga di Desa Sukarela, Pulau Wawoni, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, 3 Maret lalu. Warga berteriak meminta kendaraan dan operator mundur.

Warga berusaha bertahan, para perempuan maju di garis depan menolak kebun tergusur. Dua perempuan tidur depan ban yang serupa bajak itu. Laki-laki berada di dekatnya, mengepalkan tangan dan berteriak agar kendaraan meninggalkan kebun. Hartina, perempuan paruh baya, bahkan membuka baju dan memanjat kendaraan. Dia berdiri dan berbicara sambil terisak. Menangis, meraung-raung.

Perempuan itu ipar La Dani. Kebun itu milik La Dani, yang ditangkap Polda Sulawesi Tenggara 24 Februari 2022. Dia ditangkap atas tuduhan penyekapan 10 karyawan GKP di kebun pada Agustus 2019.

“Tak ada pilihan, warga tak ingin kebun itu menjadi jalan perusahaan. Kenapa mereka datang tanpa pemberitahuan dan merobohkan pohon kakao, cengkih, dan pala?” kata seorang warga.

Warga khawatir kala perusahaan beroperasi di Desa Masolo, akan berdampak buruk bagi mereka.

 

Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Alat berat mau merobohkan tanaman di kebun warga, untuk bikin jalan tambang perusahaan. Foto: dokumentasi warga Wawonii

 

Jalan tambang itu kelak akan membelah gundukan dan lahan garapan masyarakat dari pelabuhan bongkar muat perusahaan di pesisir laut. Jarak dari pemukiman utama hanya sekitar 300 meter. Sementara dermaga tempat bersandar perahu nelayan dari pelabuhan bongkar hanya 200 meter.

Pesisir Wawonii, adalah ruang kehidupan nelayan. Tempat mereka memancing kerapu hingga sunu. Sekitar tiga mil dari bibir pantai, ada beberapa rumpon ikan, untuk pelagis besar seperti cakalang.

“Keluarga saya itu nelayan. Kalau pelabuhan itu beroperasi dengan lalu lintas kapal besar, siapa yang bisa menjamin laut itu tetap seperti sekarang,” katanya.

GKP, anak perusahaan Harita Group ini, ini mengantongi IUP seluas 1.000 hektar di Desa Lampeapi, Kecamatan Wawonii Tengah. Pada 2017, perusahaan memperoleh IUP seluas 950 hektar, diperbarui Maret 2018 jadi 850 hektar. Sekitar 707 hektar konsesi merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)

 

Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii

Biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

***

Sejak perusahaan masuk, dan membangun jalan tambang, ketegangan mulai terjadi. Perusahaan mengajukan penggantian tanaman warga Rp700.000 setiap pohon cengkih produktif, dan tanaman lain dengan harga berbeda. Tanah tak dihitung dengan alasan lahan warga masuk dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi (HPK).

Perusahaan bersikeras tetap membangun jalan. Pada 9 Juli 2019, sekitar pukul 11.00 perusahaan memasuki lahan Marwah. Warga protes. Pada 10 Juli 2019, perusahaan kembali menerabas lahan Idris.

Puncaknya, Agustus 2019, ketika perusahaan menerobos masuk lahan milik La Baa, La Amin dan Wa Ana. Perusahaan masuk malam hari membawa sembilan eksavator, satu mesin breaker, empat buldozer serta enam mesin bor.

Malam kejadian itu, Ririn, anak lelaki La Amin, menjaga di rumah kebun sampai pukul 22.00.

Pagi hari, ketika Ririn kembali ke kebun, terkejut melihat puluhan pekerja perusahaan. Tanaman kebun sebagian sudah tumbang.

Ririn memberitahu orangtua dan warga. Warga geram. “Mereka bekerja waktu warga itu tidur.”

 

 

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Warga Wawonii berkumpul menolak alat berat perusahaan yang akan merobohkan tanaman di kebun mereka. Kebun-kebun itu akan dibikin jalan tambang. Foto: dokumen warga Wawonii

 

Petani naik pitam. Di kebun La Baa, puluhan petani adu mulut dengan pekerja dan polisi yang mendampinginya. Warga tak ingin kalah, kemudian membawa 10 pekerja membawanya ke kebun milik Nurbaya. Mereka jadi alat negosiasi agar perusahaan menarik alat beratnya.

Negosiasi alot, mulai siang hingga sekitar pukul 19.00, atas bantuan kepolisian, para pekerja dilepas dengan todongan senjata. Warga mengalah. Tiga hari berikutnya, peralatan itu dibawa menuju camp perusahaan di halaman pelabuhan bongkar muatnya.

Perusahaan melaporkan 21 orang ke Polda sultra atas perampasan kemerdekaan seseorang, sesuai Pasal 333 KUHP. Tiga orang atas tudingan menghalangi perusahaan dengan UU Mineral dan Batubara.Tiga orang lainn, dilaporkan melakukan penganiayaan pada pekerja perusahaan.

Warga juga melaporkan GKP ke Polres Kendari dan Polda Sultra pada 28 dan 29 Agustus 2019. Bedanya, laporan warga tak ditanggapi hingga kini, hanya laporan perusahaan proses berlanjut.

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Masbudi, memperlihatkan koprah putih. Ini hasil dari kebun kopra milik warga. Harga dari koprah putih Rp7.000 . Kini, berkurang karena masyarakat dominan bertani mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Belum beroperasi, kerusakan sosial sudah terjadi

Luas Pulau Wawonii 708,32 km2 dengan penduduk sekitar 31.688 jiwa. Ia dihuni beragam suku yang sudah beberapa generasi menetap, mulai Tolaki, Kulisusu (Buton Utara), Buton, Bugis dan Jawa. Warga menyebut diri mereka, orang Wawonii.

Wawonii berarti kelapa, dalam bahasa lokal nii itu kelapa. Wawo adalah di atas. Pulau ini dapat dijangkau dengan kapal laut dari Kendari selama empat jam. Hasil pertanian dan laut melimpah.

Orang-orang Wawonii, hidup rukun. Mereka mengirim anak-anak sekolah di Kendari, Ibukota Sultra atau ke Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka mampu memenuhi keperluan sehari-hari, sampai anak-anak sekolah ke perguruan tinggi.

Laut masih terjaga memungkinkan nelayan pancing mudah mendapatkan ikan. Kini, pertambangan warga terpecah. Bagi mereka yang mendukung, pertambangan adalah simbol industri modern dan kemajuan.

Bagi warga di bagian tenggara pulau, tempat konflik dengan perusahaan, tambang adalah ancaman hidup mereka. Setelah peristiwa di kebun La Dani, keadaan mulai tenang. Perusahaan menahan diri, dan warga mawas diri.

Memasuki 2020, pandemik COVID-19 menghantam Indonesia, termasuk di Wawonii. Perusahaan memutuskan mengurangi tenaga kerja kontrak, termasuk beberapa warga yang bekerja sebagai buruh. Pada Februari 2020, 300 pekerja dari 500 karyawan kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Beberapa peralatan diangkut menuju Pulau Obi, Maluku Utara.

Sampai 2021, warga kampung yang jadi pekerja, kelimpungan. Lahan perkebunan sudah dijual kepada perusahaan, hasil ganti rugi makin menipis. Warga memutuskan mengolah bekas lahan dengan tanaman musiman, lewat status pinjaman.

 

Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii

Perusahaan sedang menyiapkan pelabuhan bongkar muat dan akan buka jalan melalui lahan warga yang menolak tambang. Foto: Dokumen warga Wawonii

 

Dua tahun berlalu, Januari 2022, GKP kembali. Kali ini, mereka mencoba membelokkan arah jalan ke sisi kanan, melewati kebun Wa Asina, kemudian membelah kebun Hurlan. Setelah itu, menembus kebun La Dani, hingga Sahria.

Namun, hanya kebun Wa Asina yang setuju jadi jalan tambang. Tiga warga lain menolak. Mereka protes pada perusahaan hingga berujung La Dani ditangkap atas dasar laporan pada 2019.

Kisruh kembali terjadi. Pada 3 Maret, ketika perusahaan sedang menggusur tanaman di kebun La Dani, keluarga bersama penduduk menghalangi. Belakangan tersiar kabar, perusahaan berani menggusur karena kebun La Dani hingga Sahria bukan pemilik asli lahan, melainkan Wa Asina.

Warga menilai itu akal-akalan perusahaan. Sebelumnya, Wa Asina tak pernah mengklaim lahan itu. Klaim muncul beberapa saat ketika Hurlan–ponakan Wa Asina – yang menolak akhirnya melunak di penjara dan menyetujui pelepasan tanah.

Belakangan Marwah juga menyetujui pelepasan tanah, namun keluarga menolak menjual karena kebun itu warisan orangtua mereka.

Apakah perusahaan akan mencari jalan pintas lain untuk membuat jalan? “Rasanya akan sulit, dia akan membelokkan kemana? Semantara di sekeliling itu lahan warga yang sejak awal sudah menolak, ” kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional.

Di Wawonii, katanya, mereka bukanlah warga baru. Lahan-lahan warga sudah diolah sejak tiga generasi. “Lalu ada orang lain mengaku memiliki lahan itu. Ini aneh.”

Perusahaan, katanya, telah membangun konflik, dan memanfaatkan masyarakat pro dan kontra. “Akhirnya sesama warga saling berhadapan. Ini daya rusaknya tidak kalah seram.”

Melky bilang, pembangunan terminal khusus untuk bongkar muat perusahaan pun, menyalahi aturan. Pembangunan itu telah dilaporkan ke mana-mana termasuk Dinas Perikanan dan Kelautan Sultra, dan terbukti kalau tak memiliki izin. “Sebenarnya itu melanggar hukum. Di RTRW Wawonii itu memang ada dermaga tapi untuk perikanan tangkap.”

Edy Kurniawan, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar, mengatakan, rentetan peristiwa di Wawnonii punya pola hampir sama pada setiap tempat kejadian di Indonesia. Korporasi yang mengincar sumber daya alam, selalu mengerahkan aparat kepolisian dan TNI.

Melky benarkan itu. Konflik di Wawonii itu diciptakan. Sebelum perusahaan masuk ke pulau itu, hampir tak ada konflik perebutan lahan antara warga, karena mereka saling mengerti. Sejarah penguasaan atau kepemilikan tanah dari turun temurun. Bahkan, apa yang ditampilkan pemerintah daerah, seperti Wakil Bupati Konawe Kepulauan, bahkan mendatangi warga untuk negosiasi melepaskan tanah.

Dalam rilis bersama beberapa lembaga seperti, KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), LBH Makassar, Kiara dan Jatam, menyatakan, penyerobotan tanah warga tanpa dasar, merupakan pelanggaran yang menunjukkan betapa aparat kepolisian dan TNI cenderung jadi centeng korporasi tambang.

“Demikian juga pemerintah pusat dan daerah, alih-alih menindak tegas tindakan GKP, justru turut memfasilitasi, bahkan ada upaya pembiaran hingga warga berjuang sendirian menyelamatkan ruang hidup mereka.”

Dalam rilis itu juga menyebutkan, soal Pemerintah Konawe Kepulauan telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan GKP sebagai wujud komitmen investasi di Pulau Wawonii pada 30 September 2021. MoU ini tindak lanjut pasca rencana tata ruang wilayah (RTRW) Konawe Kepulauan disahkan tahun lalu. Dalam RTRW baru itu, ada alokasi ruang untuk investasi pertambangan di pulau kecil.

“Mereka gunakan payung hukum UU Cipta Kerja dan perintah presiden mengenai kemudahaan investasi. Kita akan menghadapi situasi sulit, karena kekuasan negara kini bertalian dengan korporasi. Jadi, upaya perlindungan lebih pada perusahaan,” kata Edy.

 

*******

Exit mobile version