Mongabay.co.id

Berharap Negara Kembalikan “Jantung” Suku Mapur

 

 

Baca sebelumnya:

Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

Menjaga Hutan Melancarkan Orang Mapur Menuju Surga

Di Hutan, Perempuan Suku Mapur Bahagia

**

 

Asih Harmoko [40] terdiam sejenak, saat ditanya hutan adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Dia menarik napas. “Tidak ada hutan adat di dusun ini. Semuanya sudah menjadi padang sawit,” katanya, awal Februari 2022.

“Dusun ini dulunya dikelilingi hutan dan kelekak [kebun buah seperti durian, cempedak, dan manggis]. Beragam pohon tumbuh,” kata Asih, yang sejak 2019 menjadi Ketua Lembaga Adat Mapur [LAM].

Dia mengisahkan masa kecil dan remajanya, yang sering diajak almarhum kakeknya [Atuk Amin] dan bapaknya [Saini Pangilan Aku], ke kebun keluarganya di Benak, hutan adat Suku Mapur di kaki Gunung Pelawan [300-an meter].

“Mereka selalu berpesan agar saya menjaga hutan. Menjaga hutan ibarat melindungi keluarga. Hutan adalah jantung orang Mapur.”

“Pesan itulah yang membuat saya bersama warga lainnya di Dusun Aik Abik, berjuang mempertahankan kebun dan hutan kami ketika perusahaan [PT. Gunung Pelawan Lestari] mengembangkan kebun sawit di dusun ini. Tapi, perjuangan belum membuahkan hasil maksimal,” kata bapak dua anak ini.

Khawatir budaya dan tradisi Suku Mapur hilang karena banyak hutan menjadi perkebunan sawit, dia bersama tokoh adat Suku Mapur mendirikan Lembaga Adat Mapur [LAM]. Tujuannya, selain melestarikan budaya dan tradisi Suku Mapur, “Kami juga berjuang mendapatkan kembali hutan adat,” katanya.

 

Asi Harmoko [40] berdiri di tengah aliran Aik Duku yang berhulu di Bukit Cundong, Dusun Aik Abik. Dulunya wilayah ini merupakan hutan adat, kini menjadi perkebunan sawit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada 2006, PT. Gunung Pelawan Lestari [GPL] melakukan sosialisasi perluasan perkebunan sawit di Dusun Aik Abik. Sebagian masyarakat menerima kehadiran perusahaan tersebut, dan sebagian menolaknya. Yang menerima kehadiran perusahaan, diberi ganti rugi lahan dan menjadi plasma PT. GPL.

“Tapi, tidak semua warga Dusun Aik Abik yang kehilangan kebunnya menjadi plasma perusahaan,” ujar Asih.

Pada 2013-2014 terjadi aksi penolakan perluasan perkebunan sawit PT. GPL oleh masyarakat Dusun Aik Abik. Masyarakat menyatakan perusahaan melakukan perusakan terhadap 11 makam leluhur Suku Mapur, serta merusak hutan adat.

PT. GPL membantah tuduhan tersebut. Perusahaan menyatakan merawat dan menjaga makam leluhur Suku Mapur. Dijelaskan, PT. GPL memiliki izin perluasan perkebunan sawit dari Pemerintah Kabupaten Bangka pada 2005, seluas 13.565 hektar, yang berada di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa Mapur, dan Desa Silip yang masuk Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip.

Dua tahun sebelum aksi penolakan tersebut, kata Asih, sejumlah perempuan Suku Mapur melakukan aksi buka baju [masih menggunakan pakaian dalam], menghadang buldoser milik perusahaan PT. GPL  yang sudah meratakan ladang padi milik warga Dusun Aik Abik, di kaki Gunung Kiareng [250-an meter].

Sebelum kehadiran perusahaan sawit, aktivitas penambangan timah sudah berjalan di kawasan adat Suku Mapur di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip. Kegiatan ini menyusul terbitnya Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum oleh Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung. Penambangan timah ini, khususnya penambangan ilegal, terus berlangsung hingga saat ini.

“Awalnya tidak ada orang Mapur di Dusun Aik Abik yang terlibat penambangan timah, tapi persoalan ekonomi karena kebun dan hutan sudah habis, ya sejumlah warga terpaksa menambang,” kata Asih.

 

Seorang anak dari keluarga Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Kabupaten Bangka. Mungkinkah di masa dewasanya akan menemukan hutan adat? Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebuah penelitian berjudul “Analisis Sebaran Kegiatan Pertambangan Timah Menggunakan Sistem Informasi Geografi di Daerah Bangka, Provinsi Bangka Belitung” oleh Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan, yang diterbitkan Jurnal Teknologi Vol. I, Edisi 13, Periode Juli-Desember 2008, menyebutkan hingga tahun 2006 di Pulau Bangka terdapat 1.021 kolong atau eks penambangan timah.

Kolong terbanyak berada di Kabupaten Bangka, yakni 413 lubang. Sebanyak 230 kolong berada di Kecamatan Belinyu dengan luasan 1.006,39 hektar, serta di Kecamatan Riau Silip sebanyak 72 kolong dengan luasan 274,11 hektar. Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip merupakan ruang hidup Suku Mapur.

Di wilayah adat Suku Mapur terdapat tiga sungai besar dan puluhan sungai kecil. Tiga sungai besarnya: Sungai Tengkalat, Sungai Pejem dan Sungai Mapur. Ketiga sungai itu bermuara ke pesisir utara dan timur Pulau Bangka yang menghadap Laut China Selatan. Sungai Tengkalat dan Sungai Pejem berhulu di Gunung Pelawan, sementara Sungai Mapur berhulu di Bukit Semedang.

Penambangan timah dan perkebunan sawit, membuat volume air tiga sungai tersebut berkurang dan sebagian besar berwarna “teh susu”. “Sudah sulit mencari ikan di huluan tiga sungai itu,” kata Asih.

 

Hutan kami sudah habis, kata seorang ibu di Dusun Aik Abik, seusai menjemur padi hasil dari ladang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Rizza Muftiadi, dari Simbang Institut, mengatakan, “Kerusakan DAS dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang. Di wilayah adat Suku Mapur, seperti perairan di Tuing dan Pejem, terdapat terumbu karang yang masih terjaga. Baik karang tepi [Fringing Reefs] maupun karang penghalang [Barrier Reefs].”

“Terumbu karang di Tuing, satu-satunya terumbu karang menyatu dengan daratan Pulau Bangka yang masih bertahan,” kata peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung.

Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk menyatakan, bagi perusahaan [PT Timah Tbk] reklamasi adalah bagian utuh. Tidak terpisahkan dari proses penambangan terintegrasi, yaitu dari pelaksanaan eksplorasi, penambangan, hingga kewajiban terhadap lingkungan.

“Ini dilaksanakan pada setiap izin konsesi yang masuk ke dalam rencana penambangan perusahaan.”

Reklamasi yang dilakukan PT. Timah Tbk pada konsesi yang berdampingan dengan Suku Mapur, antara lain penanaman sengon di Air Lekok Mapur tahun 2015, penanaman sengon di Air Lekok Mapur 2 [2018], penanaman sengon di Deniang [2019], penanaman sengon di Sungai Deniang Blok 2 [2019], serta penanaman sawit di Air Rengas 1 [2021].

“PT. Timah Tbk juga membantu sejumlah kegiatan yang terkait budaya dan tradisi Suku Mapur,” kata Anggi.

 

Wilayah hutan di sekitar Dusun Aik Abik, yang kini berubah menjadi hamparan perkebunan sawit dan tambang timah. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dosa Orde Baru

Muhammad Syaiful Anwar, peneliti masyarakat adat dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, menjelaskan apa yang dialami Suku Mapur juga dirasakan masyarakat adat lainnya di Indonesia. Suku Mapur, satu dari ratusan masyarakat adat di Nusantara, yang tidak dilindungi pemerintah sejak lahirnya Republik Indonesia.

“Tapi rezim Orde Baru yang memulai penguasaan wilayah adat,” kata Anwar.

Dijelaskannya, pemerintahan Orde Baru dalam upaya menguasai wilayah adat, dimulai dengan memindahkan masyarakat adat ke permukiman baru. Misalnya, melalui Proyek Perkampungan Masyarakat Terasing [PKMT], yang disebutkan tujuannya memudahkan pendataan dan pembinaan masyarakat yang dinilai terasing.

“Suku Mapur dipandang pemerintahan Orde Baru bukan sebagai masyarakat adat, tapi sebagai masyarakat terasing, sehingga pada 1973 mereka dibuatkan perkampungan, yakni Dusun Aik Abik. Lalu, awal 1980-an dibuatkan Dusun Pejem.”

Melalui Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang diganti Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pemerintahan Orde Baru menghilangkan keberadaan masyarakat adat, dan wilayah adat menjadi milik negara.

UU Nomor 5 Tahun 1979 memberikan ruang pemerintah pusat untuk campur tangan terhadap pemerintah desa, sehingga desa tidak mampu membentuk, menghimpun, mewadahi, melindungi, dan melestarikan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam. Termasuk, hak ulayat atau pengelolaan sumber daya alam di desanya. Bahkan, dalam menerjemahkan kedudukan negara, dilahirkan program Pembangunan Masyarakat Desa [PMD] dan Pembangunan Desa [Bangdes].

“Ini dosa Orde Baru, tapi pemerintahan setelah Reformasi 1998 kian melenyapkan masyarakat adat. Menghadirkan berbagai perusahaan di wilayah yang sebelumnya hutan atau tanah adat,” ujar Anwar.

Sementara skema Perhutanan Sosial [PS] dengan salah satu tujuannya mengembalikan hutan adat, yang dicanangkan pemerintahan SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] hingga pemerintahan Jokowi [Joko Widodo] belum berjalan optimal. Termasuk, belum menyentuh ruang hidup Suku Mapur di Pulau Bangka.

 

Tambak udang milik perusahaan tengah dibangun di pesisir Dusun Tuing. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, menyatakan perjuangan Suku Mapur maupun masyarakat atau komunitas adat lainnya di Indonesia, bukan hanya dikarenakan kurangnya kepedulian pemerintah dan para pelaku usaha. Juga, rendahnya dukungan masyarakat di luar komunitas adat.

“Dalam kasus Suku Mapur, saya menilai ada penggambaran negatif terhadap mereka. Jadi, ketika mereka berjuang mempertahankan wilayah adatnya, minim sekali dukungan dari luar. Mungkin, dukungan hanya dari organisasi nonpemerintah dan pegiat budaya. Dukungan dari kampus, seperti dosen dan mahasiswa, mungkin tidak terlalu besar,” kata Fitri.

Gambaran negatif tersebut terbangun dari penyebutan “Orang Lom”. “Dari penyebutan tersebut, Suku Mapur dinilai sebagai kelompok masyarakat yang tidak beragama, sehingga tradisinya berbeda dengan masyarakat umumnya. Ditambah lagi, Suku Mapur disebutkan kuat dengan dunia mistis. Jadi, banyak orang tidak peduli dengan mereka karena takut atau merasa berbeda.”

Salah satu upaya menghilangkan gambaran negatif tersebut, kata Fitri, yakni menggali dan menyebarkan berbagai pengetahuan dari Suku Mapur. Sebagai masyarakat adat, Suku Mapur diperkirakan menyimpan berbagai pengetahuan milik leluhur bangsa Indonesia.

“Misalnya, pengetahuan menjaga alam, budi pekerti, hingga dunia obat-obatan. Semua itu sangat dibutuhkan bangsa ini, termasuk bangsa-bangsa lainnya di dunia, yang saat ini mengalami krisis kemanusiaan dan perilaku terhadap alam.”

 

Rumah adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik. Satu-satunya simbol keberadaan Suku Mapur yang wilayahnya dipenuhi sawit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harapan

“Harapan kami satu, negara mengembalikan jantung Suku Mapur, yakni hutan adat. Manfaat adanya hutan adat, bukan hanya melestarikan budaya dan tradisi Suku Mapur, juga turut menyelamatkan Pulau Bangka yang hutannya kian hari terus berkurang, akibat aktivitas berbagai perusahaan,” kata Asih.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, memperkirakan sekitar 50 persen lebih dari 657.510 hektar hutan di kepulauan yang luas daratan hanya 1,6 juta hektar, mengalami kerusakan. Mangrovenya mengalami kerusakan sekitar 240.467,98 hektar atau tersisa 33.224,83 hektar.

Luas perkebunan sawit di Kepulauan Bangka Belitung, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia tahun 2019, sekitar 273.842 hektar.

Terkait luasan daratan di Kepulauan Bangka Belitung yang sudah ditambang timah, pihak Walhi  mengatakan, belum mendapatkan data akurat. Tapi, sekitar 700 IUP [Izin Usaha Pertambangan] beroperasi setelah dinyatakan CnC [Clean and Clear] oleh KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] yang melakukan Koordinasi dan Supervisi  Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2014-2017.

“Tapi, PT. Timah Tbk  yang memegang 122 IUP di Kepulauan Bangka Belitung, luasan tambang daratnya mendekati 300 ribu hektar,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung.

“Kami butuh hutan. Tanpa hutan, keturunan kami  tidak akan mampu mempertahankan budaya dan tradisi Mapur. Jadi, kembalikan hutan adat kami,” ujar Abok Geboi [53], Ketua Adat Mapur Desa Gunung Muda.

“Bukan hanya hutan adat yang dikembalikan kepada kami, juga laut adat kami yang juga terancam dengan aktivitas penambangan timah laut dan pertambakan udang vaname [Litopenaeus vannamei],” kata Sukardi [53], tokoh masyarakat Dusun Tuing.

Udang vaname atau udang putih, yang habitat aslinya di perairan Amerika Tengah dan Amerika Selatan, kini dibudidayakan di Indonesia, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung.

Berdasarkan data sementara Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Kepulauan Bangka Belitung, luasan tambak udang vaname di provinsi yang garis pantainya sekitar 1.200 kilometer, mencapai 2.560,7 hektar. Terluas di Kabupaten Bangka, yakni 1.170,75 hektar.

 

Hamparan perkebunan sawit hingga ke kaki Gunung Cundong dan Gunung Pelawan, yang dilihat dari puncak Gunung Tuing. Dulunya, wilayah ini merupakan hutan adat Suku Mapur. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

“Kami mohon, pemerintah mengakui kawasan Benak sebagai hutan adat kami,” kata Atuk Sukar [67], Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka.

Dijelaskan Asih, ratusan jiwa orang Mapur mengharapkan hutan adatnya dikembalikan atau diakui negara. Baik yang menetap di Dusun Aik Abik [280 jiwa], Dusun Pejem [143 jiwa], serta di Dusun Tuing, Dusun Mapur, maupun di tempat lain yang belum terdata.

Hutan adatnya adalah kawasan Benak yang berada di kaki Gunung Pelawan [300-an meter] dan Gunung Cundong [300-an meter], sebagian kawasan Dusun Aik Abik, serta kawasan pesisir dari Pesaren hingga Tuing.

 

*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.

 

 

Exit mobile version