Mongabay.co.id

Dampak Pandemi, Pengusaha Ikan Asin Merugi

 

Pandemi COVID-19, selain berpengaruh terhadap menurunya pasokan ikan dari nelayan tangkap juga berdampak pada melemahnya daya beli ikan kering di pasar. Hal ini seperti yang dirasakan Maknun (55), pengusaha ikan asin di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Timur.

Pria yang sudah 20 tahun menekuni usaha pengasinan ikan ini mengaku sudah dua tahun ini usahanya lesu. Akibat pandemi virus corona, produksi ikan asin menjadi turun drastic. Penurunannya bisa sampai 70 hingga 50 persen.

Padahal sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan pasar, dalam per hari dia mampu memproduksi ikan kering 1 hingga 2 ton. Selain ibu-ibu rumah tangga rata-rata pelanggan yang membeli ikan asin ini adalah pedagang warteg.

Namun, karena adanya berbagai kebijakan dari pemerintah untuk memutus rantai penularan virus corona, salah satunya yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat warung-warung makan tutup lebih awal. Karena ketidakpastian waktu, tidak sedikit pula yang akhirnya memilih gulung tikar.

baca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Pengendara melintas diantara tumpukan ikan basah yang baru selesai diangkut untuk dikeringkan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Awalnya, dari bisnis yang menggantungkan sinar matahari yang digelutinya itu Ma’num mengaku bisa menghasilkan omset Rp20 juta dalam sehari. Selama pandemi ini menurun, sekarang ini Rp7 juta itu sudah yang paling besar.

Selain itu, akibat virus corona ini bahan baku berupa ikan basah dari nelayan tangkap yang awalnya mudah didapatkan saat ini masih sulit diperoleh. Semula, dalam per harinya pria berambut ikal ini bisa membeli ikan basah dari nelayan sekitar 100-150 keranjang plastik, sekarang ini tinggal 50 keranjang.

“Dibandingkan biasanya, datangnya ikan dari nelayan sekarang ini juga lambat,” kata Ma’nun, saat ditemui rumahnya di kawasan sentra pengeringan ikan di pesisir Jakarta Utara ini, Minggu (06/03/2022).

Dia bilang, mulanya jam 1 dini hari ikan sudah mendarat, dan sudah bisa diproses. Namun, sekarang ini jam 9-10 pagi ikan baru sampai. Hal ini berpengaruh terhadap waktu pengeringan ikan menjadi lambat.

baca juga : Curhatan Pengangkut Ikan, Sandarkan Penghasilan dari Nelayan

 

Sejumlah buruh mengeringkan ikan dan udang di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tidak Ada Perhatian

Di tempat yang sama, penurunan daya beli ikan asin juga dirasakan Subari (45), pria yang melanjutkan usaha orang tuanya ini mengaku pada masa pandemi permintaan ikan asin menurun. Dia bilang banyak dan sedikitnya ikan asin yang dia produksi bergantung pada permintaan konsumennya di Bogor.

Awalnya saat masih lancar pemesanan ikan dari kota berjuluk kota hujan ini dia bisa mengolah ikan mentah minimal 3 ton, setiap minggu selalu ada permintaan ikan kering. Namun, pada saat pandemi ini dua minggu setelah pengiriman baru ada permintaan lagi.

Turunnya permintaan ikan kering ini sudah dirasakannya sejak akhir tahun 2019. Meski kondisi usahanya masih mengalami goncangan, belakangan ini sudah mulai berangsur-angsur membaik, permintaan pasar mulai merangkak naik.

Pria yang kerap disapa cak Peng ini juga merasakan sepinya pasokan ikan basah dari nelayan tradisional. Ia menduga ditingkat lokal, volume dan nilai tangkap ikan nelayan tradisional selain disebabkan daya beli warga menurun juga disebabkan oleh cuaca yang tidak stabil.

perlu dibaca : Stimulus Ekonomi untuk Nelayan Masih Gagal Terwujud

 

Selain berpengaruh terhadap menurunya pasokan ikan pandemi Covid-19 juga berdampak pada melemahnya daya beli ikan kering di pasar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menghadapi situasi yang sulit itu dia merasa pemerintah juga tidak hadir memberikan solusi. Bahkan dia beranggapan pemerintah justru malah mengizinkan ikan asin dari luar negeri masuk ke Indonesia. “Daripada impor, lebih baik produk lokal diperhatikan, pemulihannya juga dibantu,” kata pria bertubuh gemuk ini.

Suhana, dkk, dalam jurnal Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Era New Normal Pasca Pandemi Covid-19 Gagasan inovasi Masa Depan memaparkan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 jauh lebih buruk dibandingkan dengan ketika krisis ekonomi pada tahun 1998.

Sepanjang tahun 2020 data Badan Pusat Statistika menunjukkan pertumbuhan ekonomi perikanan sempat terkontraksi selama dua periode, yaitu triwulan 2 dan 3. Sementara triwulan 4 pertumbuhan ekonomi perikanan mencapai 1,06% (Y on Y) yang ditopang oleh peningkatan produksi perikanan tangkap dan permintaan luar negeri.

Bahkan di tahun 2020, pertumbuhan ekonomi perikanan jauh lebih buruk dibandingkan sektor pertanian. Padahal sejauh ini pertumbuhan sektor perikanan selalu menjadi pemimpin dalam sektor pertanian, kehutanan.

baca juga : Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil

 

Akibat pandmei corona ini bahan baku berupa ikan basah dari nelayan tangkap yang awalnya mudah didapatkan saat ini masih sulit diperoleh. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menghubungkan Dengan Pasar

Untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan maka diperlukan berbagai upaya, misalnya dengan meningkatkan daya serap produk perikanan dari nelayan dan pembudidaya ikan, hal ini menjadi kunci untuk kembali meningkatkan pertumbuhan disektor perikanan.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, jika dilihat dari rantai perdagangan yang bergerak di sektor perikanan, dari produsen hingga konsumen semuanya terdampak pandemi COVID-19.

Selama pandemi banyak nelayan yang harus menghitung ulang antara modal melaut dan pendapatan, jika dihitung biaya operasional melaut justru lebih tinggi daripada penghasilan. Sehingga banyak nelayan yang akhirnya memutuskan untuk berhenti melaut. Untuk bertahan hidup, beberapa memilih untuk bercocok tanam.

Hal ini berdampak terhadap pasokan ikan untuk pengeringan jadi menurun, “Permasalahan yang dihadapi pengusaha ikan asin di Cilincing ini saya kira potret secara umum ya,” kata pria yang juga mengajar di Universitas Paramadina ini, Senin (07/03/2021).

Oleh sebab itu diperlukan upaya perlindungan bagi para nelayan atau pelaku perikanan yang terdampak bencana non alam tersebut.

Pemerintah perlu menjalankan amanat sesuai dengan yang dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Seharusnya pemerintah memprioritaskan nelayan-nelayan tradisional maupun pelaku perikanan lain, hasil tangkapannya diserap. Kemudian juga disambungkan dengan pasar-pasar lokal maupun internasional.

“Perlu adanya intervensi negara disitu di dalam mengurusi rantai perdagangan ikan,” jelas Parid. Saat pandemi melanda, lanjut dia, pemerintah juga tidak punya data yang baik terhadap nelayan atau pelaku perikanan lain yang terdampak. Sehingga adanya bantuan menjadi tidak tepat sasaran.

baca juga : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Sebelum dijemur, ikan basah yang didapatkan dari nelayan tangkap itu terlebih dahulu didih menggunakan garam. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan menerapkan kebijakan penangkapan terukur di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Sistem ini berbasis kuota ke industri atau kelompok nelayan.

“Perikanan berbasis kuota akan menjadi alat utama kami untuk menjaga lingkungan laut dan pada saat yang bersamaan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini akan dimulai pada tahun ini, tahun 2022,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melalui Ketua Pelaksana Unit Kerja Menteri Anastasia Rita Tisiana dalam acara dialog Blue Halo-S di Bali, Selasa (1/3/2022), seperti dikutip dari siaran pers. Program Blue Halo-S ini memberikan konsesi pada perusahaan atau kelompok usaha untuk menangkap ikan secara komersial di perairan sekitar kawasan konservasi.

 

Exit mobile version