Mongabay.co.id

Perburuan atau Pariwisata? Pilihan Pengelolaan Ikan Pari Manta di Laut Sawu

 

Perairan Laut Sawu yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang  termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia, memiliki potensi biodiversitas laut yang sangat beranekaragam dan dihuni oleh berbagai satwa besar laut seperti paus, lumba-lumba, dan pari manta oseanik (Mobula birostris).

Para peneliti telah mengungkap bahwa wilayah Laut Sawu ini menjadi habitat bagi berbagai kebutuhan bioekologis para satwa besar laut ini seperti koridor migrasi, tempat mencari makan, dan pengasuhan (nursery ground).

Danie Al Malik dari Biodiversitas Indonesia dan Iqbal Herwata dari Konservasi Indonesia selaku peneliti dalam rilisnya yang diterima Mongabay Indonesia, Senin (21/3/2022) menyebutkan, di Bentang Laut Sunda Kecil, dimana Laut Sawu didalamnya, menyediakan habitat seluas 23,412 km² bagi pari manta oseanik, tersebar dari Selat Bali hingga Pulau Rote dan Pantar.

Daniel menyebutkan, meski penyebarannya cukup luas, studi Putra et al yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah internasional Ocean & Coastal Management pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa Laut Sawu menjadi lokasi dengan persebaran habitat pari manta terluas di Bentang Laut Sunda Kecil ini.

Dugaannya, perairan dangkal wilayah ini yang selalu terjadi coastal upwelling pada musim kemarau April-Oktober menjadi lokasi yang produktif bagi pari manta oseanik untuk mencari makan, yang diindikasikan dengan pemilihan habitat mereka di wilayah-wilayah yang tinggi konsentrasi klorofil-a (proxy dari kelimpahan zooplankton sebagai sumber makanan utamanya).

baca : Pemusnahan Insang Pari Manta dan Pelepasan Pari Manta di Flores Timur

 

Persebaran habitat pari manta oseanik di Bentang Laut Sunda Kecil berdasarkan studi Putra, M. I. H., Setyawan, E., Laglbauer, B. J., Lewis, S., Dharmadi, D., Sianipar, A., & Ender, I. (2020).

 

Penurunan Populasi

Secara status konservasi global, pari manta oseanik ini tergolong sebagai status terancam punah (endangered).

Hal ini, sebut Daniel, dikarenakan tingkat reproduksi biologisnya yang tergolong lambat, dimana betina akan matang secara reproduksi jika sudah mencapai umur 10-15 tahun.

“Masa setiap kehamilan 13 bulan dan hanya menghasilkan satu anakan setiap siklus kehamilan 2 hingga 4 tahun sekali,” terangnya.

Daniel sebutkan, karakteristik biologis ini ditambah dengan ancaman langsung terhadap populasinya seperti penangkapan target dan tangkapan samping (bycatch) telah mendorong punurunan populasi pari manta.

Dikatakannya, penurunan masif secara global tidak terkecuali di Indonesia yang dilaporkan menurun rata-rata pendaratannya hingga 95% selama periode tahun 2001 – 2014 di Tanjung Luar Lombok.

baca juga : Miris.. Video Pari Manta Makan Sampah Plastik Ini Viral

 

Pari manta yang tertangkap oleh jaring insang nelayan Lamakera, Solor Timur, Flores Timur, NTT, saat malam hari. Foto : Shawn Heinrich/iLCP

 

Melihat urgensi ini, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.04/2014, menetapkan perlindungan penuh untuk kedua spesies pari manta karang (Mobula alfredi)  dan pari manta oseanik (Mobula birostris) di seluruh perairan Indonesia.

“Akan tetapi, di Laut Sawu, secara khusus masyarakat dan nelayan di Desa Lamakera Kabupaten Flores Timur sejak turun temurun telah memanfaatkan pari manta oseanik ini sebagai hasil perikanan mereka,” ucapnya.

Daniel jelaskan, pari manta oseanik yang ditangkap dagingnya dikonsumsi sendiri maupun dijual kepada masyarakat di desa dan kabupaten tetangga lainnya.

Secara historis, penelitian yang dipublikasikan oleh Barnes tahun 2005, menyebutkan penduduk asli Lamakera telah menangkap pari manta sejak tahun 1959, dengan tangkapan rata-rata per tahun hingga 360 ekor.

Namun pada tahun 1990-an adanya permintaan insang di pasar Asia, mendorong peningkatan upaya penangkapan pari manta di wilayah ini.

Daniel sebutkan, seiring dengan modernisasi armada penangkapan menggunakan mesin dan meningkatnya jumlah armada penangkapan dari 18 menjadi 40, telah menghasilkan tangkapan yang meningkat secara signifikan sekitar 1.500-an ekor pari manta oseanik setiap tahunnya.

“Upaya penangkapan yang meningkat ini telah mendorong penurunan populasi pari manta oseanik di wilayah ini. Indikasinya, terjadi penurunan pendaratan sebesar 75% di Lamakera selama kurun waktu 13 tahun sejak 2001 hingga 2014,” bebernya.

Daniel mengatakan, pemanfaatan bagian insang dari spesies ini, diyakini dapat menjadi alternatif obat tradisional walaupun belum memiliki hasil riset yang menunjukkan manfaat insang pari manta oseanik untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

baca juga : Digagalkan Penyelundupan Insang Pari Manta di Flores Timur

 

Pari manta dan hiu hasil tangkapan nelayan Lamakera, Solor Timur, Kabupaten Flores Timur,NTT yang diletakkan di pesisir pantai. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kelola Kawasan Konservasi

Pertanyaan yang menggelitik di kalangan peneliti adalah darimana asalnya ribuan pari manta oseanik yang selama ini telah ditangkap di Perairan Solor Kabupaten Flores Timur oleh para nelayan Lamakera?.

Apakah pari manta ini hanya berasal dari Perairan Solor saja?. Atau merupakan populasi yang berasal dari perairan yang lebih luas di Laut Sawu dan bahkan perairan tetangga lainnya?.

Iqbal menegaskan, untuk membuktikan hal itu ada beragam metode ilmiah yang dapat digunakan untuk memberikan jawaban tersebut. Diantaranya melalui pendekatan molekuler untuk melihat seberapa dekat hubungan DNA yang diambil dari individu dari lokasi-lokasi yang diuji.

Ia menyebutkan hasil penelitian yang baru dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Biodiversitas pada tanggal 3 Maret 2022 dengan judul “Short Communication: Genetic variation of oceanic manta ray (Mobula birostris) based on mtDNA data in the Savu Sea, Indonesia”.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa filogenetik dan struktur populasi pari manta oseanik yang ditemukan di tiga lokasi Perairan Solor (sampel yang diuji), Rote (sisi selatan Laut Sawu), dan Manggarai Barat (sisi barat Laut Sawu) merupakan satu populasi yang sama.

“Hal ini mengindikasikan bahwa pari manta oseanik yang ditangkap oleh nelayan Lamakera di Perairan Solor kemungkinan besar merupakan populasi yang sama dengan yang hidup di Rote dan Manggarai Barat,” terangnya.

Artinya, kata Iqbal, upaya penangkapan pari manta oseanik di Perairan Solor juga berdampak pada penurunan populasi di kedua wilayah tersebut (Rote dan Manggarai Barat) dan bahkan Laut Sawu secara luas, meski perlu penelitian lebih lanjut.

baca juga : Ini Cerita Sukses Konservasi Pari Manta di Flores Timur

 

Seekor pari manta yang berenang diantara gerombolan ikan di dasar laut perairan Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Kusnanto/WWF Indonesia

 

Ia katakan, pari manta oseanik di Perairan Rote dan Manggarai Barat (Komodo) menjadi ikon pariwisata bahari yang menarik wisatawan dan menjadi penggerak dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah.

Lanjutnya, pariwisata merupakan sektor berkelanjutan dibandingkan perikanan dalam hal pemanfaatan satwa karismatik dan dilindungi seperti pari manta oseanik, dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan seperti daya dukung dan kode etik berwisata.

Valuasi ekonomi dari wisata pari manta menunjukan bahwa satu ekor pari manta hanya bernilai sekitar USD 500 untuk kegiatan perikanan. Sementara di sektor pariwisata bernilai USD 1.000.000 sepanjang hidupnya.

“Penangkapan pari manta oleh nelayan tidak hanya mengancam keanekaragaman genetik dan populasi mereka di alam, namun juga nilai ekonomi berkelanjutan dari sektor pariwisata akan hilang,” tegasnya.

Iqbal menyarankan, kita perlu bahu membahu untuk memastikan bahwa pari manta oseanik di Perairan Laut Sawu tetap terjaga populasinya. Juga membantu nelayan terkait yang memanfaatkan pari manta sebagai target perikanannya untuk dapat bertransisi menuju perikanan yang lebih berkelanjutan.

Ia katakan, hasil dari penelitian terbaru ini dapat menjadi baseline data dan bukti untuk pentingnya mendesain pengelolaan kawasan konservasi yang terpadu.

Khususnya di kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Flores Timur (Solor) dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu (Rote dan Manggarai Barat) dalam hal keterpaduan kebijakan, regulasi, target dan strategi pengelolaan untuk pendekatan hewan-hewan laut yang memiliki daya jelajah tinggi seperti pari manta.

Iqbal katakan, studi terdahulu menunjukkan bahwa 52% dari wilayah habitat pari manta oseanik di perairan Bentang Laut Sunda Kecil telah beririsan dengan aktivitas nelayan jaring insang yang menjadi salah satu sumber terbesar tangkapan samping (bycatch) pada pari manta oseanik di wilayah ini.

“Hal ini akan berdampak buruk jika peraturan wilayah dan aktivitas nelayan tidak segera ditindaklanjuti. Khususnya terkait dengan pengaturan alat tangkap yang tidak selektif seperti jaring insang pada habitat-habitat pari manta di Laut Sawu,” ungkapnya.

 

 

Exit mobile version