Mongabay.co.id

Kala Presiden Ingatkan Pembangunan Jangan Picu Bencana

Elisabeth Ringit (ditandai) dalam aksi warga Kinipan menolak PT SML di wilayah Hutan Adat Laman Kinipan pada Sabtu, 19 Januari 2019 Doc. Save Our Borneo

 

 

 

Bencana seakan tiada henti menerpa Indonesia. Dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, puting beliung, sampai kekeringan dan lain-lain. Proses pembangunan disebut salah satu penyebab yang bisa memperparah bencana di negeri ini.  Dalam tahun 2022,  sampai Maret  ini saja, data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyebutkan, sudah terjadi bencana sebanyak 1.097 kali, dengan tiga tertinggi banjir 44, cuaca ekstrem 381 dan tanah longsor ada 208 kali.

Pada Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana 2022 bulan lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan, pemerintah, harus mengurangi pembangunan infrastruktur yang memicu bencana.

“Bencana hampir setiap hari itu terjadi di negara kita, begitu juga kerugian akibat bencana alam juga besar,” katanya dalam kegiatan daring ini.

Pembangunan yang picu bencana ini, katanya, sering dilupakan pemerintah pusat maupun daerah. “Perizinan-perizinan usaha harus mengurangi risiko bencana, pembangunan infrastruktur harus mengurangi bencana, bukan malah menambah bencana, ini sering kali dilupakan,” kata Jokowi.

 

 

Baca juga: Warga Terus Berjuang Demi Keberlangsungan Hidup di Wadas

 

Mitigasi, katanya, harus dilakukan sebaik mungkin terlebih Indonesia menuju negara yang harus tangguh bencana.

Sebagai pilar utama penanganan bencana, kata Jokowi, BNPB harus berbenah diri, salah satunya menerapkan budaya kerja siaga, antisipatif, responsif dan adaptif. Karena bencana itu, katanya, datang tiba-tiba, seperti pandemi COVID-19.

“Semua ketidakterdugaan itu harus kita tanggani dengan cara memperkecil risiko yang akan terjadi.”

Orientasi pencegahan harus diutamakan, terutama bencana alam yang bisa dicegah seperti banjir, longsor dan lain-lain. “Gempa bumi, gunung meletus memang tidak bisa dicegah, tetapi yang lain bisa.”

Dia mengimbau, daerah melakukan mitigasi untuk menghadapi bencana. “Pelestarian lingkungan harus dilakukan, pembangunan bendungan dan perbaikan saluran air, BNPB harus bekerjasama dengan pemda (pemerintah daerah) dan masyarakat,” katanya.

Pemerintah juga harus mempersiapkan diri menghadapi bencana, seperti membangun penghambat ombak, penghijauan terutama di sepanjang pesisir seperti penanaman ketapang, nyemplung, mangrove, kelapa dan lain-lain. “Semua itu harus banyak-banyak kita tanam.”

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

Warga Wadas yang menolak, ketika kebun berisi beragam tanaman pangan terancam hilang karena lokasi itu akan jadi tempat galian material buat bangun bendungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Apalagi, katanya, saat ini dampak perubahan iklim bergerak begitu cepat dan mengerikan. Banyak negara, kata Jokowi, yang sebelumnya tak mengalami bencana sekarang berhadapan dengan bencana karena perubahan iklim.

Dia menyoroti persiapan jalur evakuasi untuk korban bencana. Sampai saat ini upaya instrumen imbauan dini terhadap bencana harus terus pantau rutin. “Meskipun alat-alat instrumen itu tidak berada di BNPB, BNPB diharapkan mengingatkan lembaga terkait, karena ini terkait keselamatan rakyat,” katanya.

Suharyanto, Kepala BNPB mengatakan, tantangan ke depan, tidak ringan karena bencana terus bertambah dari waktu ke waktu. Selama 2021 saja, ada 5.402 bencana di Indonesia dengan 728 orang meninggal dunia, dengan kerugian kerusakan 150.000-an rumah. “Serta lebih 4.400 fasilitas umum rusak berat,” katanya.

Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia bicara anggaran bencana. Dia mengatakan, dana penanggulangan bencana sudah ditetapkan pemerintah. Begitu juga stimulus ekonomi untuk daerah rawan bencana.

 

Baca juga:   Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Kala hutan tergusur untuk industri nikel di Halmahera. Foto: Rabul Sawal

 

Sinergi antar pemangku kepentingan, katanya, kunci menghadapi bencana. “Kita harus bergotong royong menghadapi bencana ini,” katanya.

Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia menekankan, pemerintah selalu mengedepankan keselamatan rakyat dalam menghadapi bencana. “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.”

Dalam kesempatan berbeda, Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.Org mengatakan, ribuan bencana terjadi di Indonesia selain akibat pembangunan juga berkaitan langsung dengan krisis iklim.

“Krisis iklim mempengaruhi bencana indonesia. Ini bukan hanya soal angka, ada korban manusia dan banyak makhluk hidup sengsara akibat ini,” katanya baru-baru ini.

Ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB menegaskan, setiap negara harus segera bertindak untuk meredam dampak krisis iklim agar tak makin memburuk. “Kini, krisis iklim telah membahayakan kehidupan bumi dan seluruh penghuninya.”

Terkadang, katanya, bencana seakan dipandang sebelah mata hingga upaya pencegahan minim. “Terkadang, kita punya memori pendek, misal banjir Kalimantan yang terjadi tiga bulan sudah dilupakan saja.”

 

Baca juga: Alih-alih Menanam, Hutan Mangrove di Batam Malah Ditimbun buat Perumahan

 

Lapor pembangunan merusak

Presiden mengingatkan soal bahaya pembangunan merusak yang bisa memicu bencana, dari Batam, organisasi lingkungan, Akar Bhumi Indonesia menyampaikan surat dan lapor ke presiden soal kerusakan lingkungan di Kota Batam, Kepulauan Riau, antara lain dampak pembangunan.

Akar Bhumi khawatir pembangunan di kota itu bisa merusak dan memicu bencana. “Pak Presiden, Batam Darurat Lingkungan.” Begitu tema laporan mereka.

“Kami melaporkan ini kepada Pak Presiden, bukan tidak percaya pemerintah daerah, tetapi kejahatan lingkungan sudah cukup masif di Kota Batam,” kata Hendri Hermawan, Direktur Akar Bhumi Indonesia. Dia bilang, setidaknya 20-30 kasus kerusakan lingkungan sedang ditangani Akar Bhumi.

Organisasi ini sudah melaporkan 16 kasus kerusakan lingkungan hidup namun belum ada tindakan.

Menurut Hendrik, kenaikan jumlah penduduk di Kota Batam karena angka kelahiran dan urbanisasi. Konsekuensi buruk terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan daya tampung Batam. Alih fungsi lahan dan hutan pun terjadi untuk perluasan pemukiman.

“Imbasnya terjadi eksploitasi alam (lingkungan) yang tinggi di Kota Batam demi memenuhi kebutuhan investasi, ruang, perumahan dan pendukung lain,” katanya.

Banyak masalah lingkungan hidup di Batam, dari kerusakan hutan, waduk, sampai pesisir. “Kami menyatakan, “Batam darurat lingkungan,” kata Hendrik.

Darurat pertama, katanya, persoalan air. Batam sebagai kota kepulauan tak memiliki sumber air yang mencukupi. Untuk pemenuhan keperluan air dengan membangun sea-dam (waduk laut). “Sejak 2014, di Batam terjadi krisis air. Ketersediaan air baku di waduk tidak mampu memenuhi kebutuhan warga Batam.”

Meskipun sudah ada Waduk Tembesi–pengganti Waduk Baloi–, Kota Batam masih minus air 600 liter/detik. Untuk mengatasi itu, berlaku pengaliran air bergilir.

Parah lagi, daerah tangkapan air katanya, mengalami banyak gangguan.

Hutan lindung terdegradasi. Alih fungsi hutan baik oleh pelaku usaha maupun masyarakat di sekitar daerah tangkapan air terjadi, juga sedimentasi di waduk menjadi penyebab utama penurunan fungsi dan usia produktif waduk.

Daerah tangkapan air terganggu dan minim memicu banjir. Kalau lihat dari citra satelit, Pulau Batam banyak kehilangan lahan resapan air.

 

Pepohonan tumbang, tanah ditimbun untuk bikin perumahan di Kota Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Tanah Pulau Batam yang mengandung kadar bauksit tinggi dan hanya tertutup sedikit lapisan tanah menyebabkan air tak mampu menyerap ke bumi. “Disinilah perlu pohon yang berfungsi mengikat air.”

Kalau tak segera ada langkah-langkah penyelamatan, katanya, maka Batam bisa alami krisis air terus menerus.

Darurat kedua, katanya, adalah persoalan pesisir. Batam sebagai pulau kecil dengan daratan sekitar 715 km persegi, dengan lebih 300 pulau. “Ancaman terbesar dampak perubahan iklim dan abrasi adalah daratan hilang dari permukaan laut.”

Kondisi mengkhawatirkan lagi, kala keterbatasan tanah dalam memenuhi hunian banyak disiasati dengan reklamasi atau penimbunan di pesisir termasuk di kawasan hutan mangrove.

Kerusakan pesisir karena reklamasi pun terdampak pada nelayan. Hasil tangkapan nelayan turun atau sulit cari ikan bahkan kehilangan mata pencaharian.

Kawasan mangrove maupun terumbu karang yang jadi tempat bertelur ikan, udang dan biota laut lain, katanya, banyak rusak karena penimbunan. Masyarakat yang turun temurun hidup sebagai nelayan pun mesti beralih pekerjaan.

Batam, katanya, memerlukan pelindung daratan berupa hutan mangrove yang antara lain berfungsi menahan gempuran air laut ke darat, pemecah angin dan gelombang, dan penahan abrasi. Hutan mangrove juga sebagai penyerap karbon, katanya, sekitar 50-100 lipat lebih banyak dari pohon lain dan penghasil oksigen tinggi, sekitar 5-10 lipat lebih banyak dari pohon lain.

“Sehubungan dengan semua hal itu, kami Akar Bhumi Indonesia memohon Bapak Presiden memberikan perhatian khusus dan menyiapkan langkah konkret demi membebaskan Batam dari darurat lingkungan dan menyelamatkan alam buat generasi masa depan bangsa.”

 

********

Foto utama: Kala izin pemerintah keluar di kawasan yang masih bertutupan hutan lebat, bahkan itu merupakan hutan adat seperti di Laman Kinipan, di Kalteng, maka kerugian berlapis antara lain, deforestasi memicu krisis iklim dan ruang hidup masyarakat adat hilang. Foto” SOB

Exit mobile version