Mongabay.co.id

Jelang Putusan, Warga Minta Hakim Pertimbangkan Masa Depan Sangihe

Sangihe, pulau cantik di Sulawesi Utara yang memiliki keindahan alam dan potensi keragaman hayatinya terancam rusak akibat hadirnya perusahaan tambang emas. Foto: Foto: Wikimedia Commons/Government of Sangihe Islands Regency/Public Domain

 

 

 

 

Gugatan warga Sangihe kepada pemerintah untuk pencabutan izin tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) memasuki masa penghujung. Pada 20 April ini, Majelis Hakim PTUN Jakarta agendakan pembacaan putusan. Warga Sangihe meminta, pengadilan mempertimbangkan nasib dan masa depan Pulau Sangihe kalau sampai ada tambang emas skala besar.

“Ketika ada izin dari Menteri ESDM untuk TMS kami khawatir,” kata Venetsia Andemora, warga Sangihe dalam konferensi pers daring baru-baru ini.

Orang Sangihe menentang rencana perusahaan tambang, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang akan mengeruk emas dari perut Pulau Sangihe, tanah kelahiran mereka. Izin terbit dalam bentuk kontrak karya.

Andemora hidup di Bentung, satu kampung dari 80 kampung yang akan tergilas konsesi tambang emas TMS. Dalam izin, perusahaan ini menguasai konsesi seluas 42.000 hektar, 57% dari luas pulau yang hanya 73.689 hektar (736,89 km2) ini.

Sangihe, adalah pulau kecil Indonesia berbatasan dengan Filipina. Secara administrasi, ia berbentuk kabupaten, bagian dari Sulawesi Utara.

Keanekaragaman hayati pulau ini begitu kaya, tanah pun subur. Gunung menjulang menyediakan pasokan air buat orang Sangihe.

Bagi Andemora dan warga Sangihe, pulau ini adalah ruang hidup yang begitu nyaman dan menyediakan segala bagi mereka.

“Ketika ada tambang, apa yang akan terjadi dengan kami?” katanya.

Perut bumi Sangihe telah diidentifikasi mengandung emas sejak tahun 1980-an. Perkampungan Binebas, Bawone, dan Taware berada di atas wilayah itu.

 

Baca: Warga Gugat Hukum Izin PT Tambang Mas Sangihe

 

Bagi Andemora, pemberian izin pada TMS, mengundang kehancuran besar dan meninggalkan dampak berkelanjutan bagi Sangihe. “Bukan hanya bagi generasi sekarang, juga akan datang. Berdampak juga pada lingkungan hidup, laut, air bersih, tanah pertanian dan lain-lain.”

Rencana tambang di Sangihe mengejutkan Andemora dan orang Sangihe yang lain. Mereka tak pernah menyangka pulau kecil itu akan digempur pertambangan raksasa.

Dia kecewa ketika mengetahui pemerintah tidak memberikan perlindungan kepada Sangihe. “Tapi justru menjualnya. Merampok tanah yang kami miliki sejak kami lahir,” katanya.

Kabar ini mencuat pertengahan Maret 2021, ketika media lokal memberitakan sosialisasi TMS, pada 22-24 Maret 2021 di Bowone, salah satu titik utama lokasi tambang.

TMS, adalah bagian dari Baru Gold, 70% saham dikuasai Sangihe Gold Corporation, perusahaan asal Kanada, 10% oleh PT Sungai Belayan Sejati asal Indonesia. Kemudian, 11% kepemilikan PT Sangihe Prima Mineral dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%.

“Kami melakukan sejumlah riset atas perizinan TMS,” kata Alfred Pontolondo, dari Save Sangihe Island, koalisi 32 organisasi masyarakat sipil penolak tambang emas.

“Kami dapati, 25 September 2020, TMS sudah mendapatkan izin lingkungan dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara. Itu menjadi dasar TMS mendapatkan izin operasi yang dikeluarkan KESDM, 29 Januari 2021.”

Izin ini terbit dengan Nomor Surat Keputusan SK 163.K/MB.04/DJB/2021 dengan masa 33 tahun sampai 2054. Lewat izin itu pula, perusahaan mulai bergerak. Koalisi bilang, TMS tak mengantongi izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

 

Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Warga Sangihe yang protes melihat kapal membawa alat berap perusahaan tambang emas akan masuk Sangihe. Foto: Save Sangihe Island

 

Pada 30 Maret 2021, warga bersama organisasi non-pemerintah dan mahasiswa menyambangi gedung DPRD Kepulauan Sangihe. Mereka menemui 13 anggota legislatif, lima menolak rencana tambang.

Setelah audiensi, koalisi bersama Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud dan badan adat juga melayangkan aduan ke Presiden Joko Widodo. Gerakan penolakan meluas.

Petisi penolakan yang diluncurkan Save Sangihe Island telah ditandatangani 140-an ribu. Petisi itu ditujukan ke Presiden Joko Widodo, Menteri ESDM, dan Dirjen Minerba ESDM.

Koalisi terus menggulirkan serangkaian aksi protes. Warga terus berjaga.

“Itulah yang kami lakukan sampai hari ini,” kata Pontolondo.

Upaya perlawanan termasuklah lewat gugatan hukum ke PTUN Jakarta.

 

Gugat kontrak karya

Akhir Juni 2021, warga bersama tim hukum menggugat keputusan Menteri ESDM, Arifin Tasrif, tentang persetujuan peningkatan tahap operasi produksi kontrak karya TMS.

Gugatan diajukan ke PTUN Jakarta oleh Elbi Pieter, ibu rumah tangga asal Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, bersama kelompok petani, nelayan, dan pendeta asal Sangihe.

KESDM tidak setuju dengan gugatan itu. Kementerian ini menganggap gugatan salah alamat. Menurut tim hukum, sudah tepat. “Perlu saya tekankan di sini PTUN itu berwenang mengadili kontrak karya TMS,” kata Muhammad Jamil, tim hukum warga Sangihe.

Kontrak karya TMS, adalah perjanjian berupa konsesi, diterbitkan Pemerintah Indonesia sebagai badan publik penyelenggara administrasi pemerintahan. Konsesi itu, katanya, adalah penggabungan kontrak dengan izin untuk menggelar aktivitas pertambangan.

 

Baca juga: Masyarakat Tolak Kapal Angkut Alat Perusahaan Tambang Emas Masuk Sangihe

Spanduk penolakan tambang warga Sangihe. Foto: Sabe Sangihe Island

 

Selama pengadilan bergulir, katanya, tim membuktikan, kontrak karya TMS bertentangan dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulauan Sangihe dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bila melihat UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, di Pasal 35 huruf k, mengatakan, tambang mineral dilarang di pulau kecil apabila terjadi konflik sosial. “Konflik sosial sudah terjadi.”

Selain itu, perpanjangan kontrak karya untuk pertambangan mineral, sudah tidak dikenal lagi sejak 2009 berdasarkan UU Minerba 4/2009, dan perubahan UU Minerba 3/2020.

“Jika diperpanjang harus berubah jadi IUPK (izin usaha pertambangan khusus), dengan luasan harus dibatasi 25.000 hektar, masa waktu 2×10 tahun, paling lama 20 tahun. TMS izin selama 33 tahun, sampai 2054.”

Dari fakta persidangan mencuat, kontrak karya TMS terbit sebelum izin lingkungan. Padahal, katanya. yang menjadi pertimbangan penerbitan kontrak karya adalah izin lingkungan sebagaimana dalam nomenklatur UU Cipta Kerja. Pun sama di UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Teman teman selalu bilang ini seperti anak melahirkan ibu,” kata Jamil.

Kecacatan prosedur lain, katanya, adalah perbedaan luas konsesi di izin usaha dan izin lingkungan begitu jomplang. Pada izin lingkungan tertera hanya 65 hektar.

“Mestinya ini jadi perhatian oleh Majelis PTUN Jakarta untuk memutus perkara ini sebagaimana keinginan warga. Bahwa TMS tidak ada legitimasinya–lebih-lebih secara sosial.”

Helmy Hidayat Mahendra, dari KontraS mengatakan, rencana penambangan emas TMS ini juga rawan terjadi pelanggaran HAM.

“Hak atas tempat tinggal, hak atas informasi dan hak untuk mendapatkan pekerjaan layak warga terancam,” katanya.

Beberapa waktu lalu, KontraS melakukan riset, melihat risiko dampak kalau TMS beroperasi di Sangihe. “Kita menemukan banyak permasalahan. Seperti tak ada pelibatan masyarakat. TMS banyak mendapat penolakan masyarakat Pulau Sangihe.”

Menurut kajian KontraS, TMS bakal mengganggu pekerjaan yang sejak dahulu menghidupi warga Sangihe. Warga Sangihe, banyak mengadu nasib sebagai nelayan dan petani.

“Kalau melihat lebih jauh, ketika nanti pertambangan di Pulau Sangihe ada, itu akan mengganggu tradisi dan budaya masyarakat,” kata Helmy.

Hal lain, harga pembebasan lahan terlalu murah. TMS membeli lahan warga permeter Rp5.000, harga sebuah air mineral tak sampai satu liter. TMS mengklaim seperti dalam liputan Tirto.id, bahwa harga ini menyesuaikan NJOB (nilai jual obyek pajak).

TMS, katanya, kurang melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Rere Christanto, dari Walhi Nasional mengatakan, Pulau Sangihe harusnya tak menjadi wilayah pertambangan raksasa, lantaran termasuk pulau kecil. Lahan dan segala sumber yang menopang kehidupan orang Sangihe terbatas.

“Perubahan bentang alam apapun di pulau kecil ini otomatis akan mengancam seluruh warga di pulau itu.”

Kawasan lindung, Gunung Sahendaruman, di Pulau Sangihe pun terancam kalau ada tambang emas. “Kawasan lindung ini wilayah paling penting dan paling rentan.”

Seharusnya ni, kata Rere, ESDM tak memberikan izin kepada TMS. “ESDM melangkahi ini, melangkahi regulasi dan tetap memberikan izin.”

 

Pulau Sangihe yang terancam tambang emas. Foto: Wikimedia Commons/ https://www.ppid.sangihekab.go.id/images/kantorgub.jpg/Public Domain
Exit mobile version