- Warga Pulau Sangihe pun mengajukan gugatan hukum atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang keluar pada 29 Januari 2021 tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhir Juni lalu. Koalisi Sava Sangihe Island menilai, proses perizinan tambang di Pulau Sangihe diduga menyalahi beberapa peraturan UU di Indonesia. Warga kaget karena tak pernah tahu proses izin amdal. Warga menolak tambang dan memilih tetap bertani cengkih, pisang, kelapa dan tanaman lain. Bagi warga, hasil tani dan kebun mencukupi kebutuhan bahkan biaya sekolah anak-anak mereka. Pulau Sangihe termasuk kawasan rawan dan rentan bencana alam. Ada gunung berapi di tengah Pulau Sangihe yaitu Gunung Awu. Pulau Sangihe juga diapit dua gunung api bawah laut yakni Kawio di perairan utara Sangihe, dan Banua Wuku Mahangetang di selatan Sangihe.
Masyarakat di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, menolak rencana operasi tambang di pulau mereka. Warga Pulau Sangihe pun mengajukan gugatan hukum atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang keluar pada 29 Januari 2021 tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhir Juni lalu.
“Kami juga akan menggugat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) ke PTUN Manado,” kata Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island, sebuah gerakan gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menolak tambang di Sangihe, baru-baru ini.
Gugatan diajukan Elbi Pieter, ibu rumah tangga asal Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, bersama sejumlah petani, nelayan, dan pendeta asal Sangihe.
Menurut para penggugat izin seluas 42.000 hektar yang keluar dari KESDM berada di tengah tujuh kecamatan dan 80 desa yang merupakan ruang hidup masyarakat dengan budaya dan adat istiadat, kekerabatan, kebiasaan, nilai sejarah, asal usul, makam leluhur dan makam keluarga. Juga nilai agama, rumah ibadah, sekolah dan ruang mata pencaharian.
Dalam gugatan, izin TMS dinilai melanggar Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 39 yang mewajibkan perusahaan memiliki keputusan kelayakan lingkungan hidup (KKLH). Dengan terbit izin tanpa pertimbangan kelayakan lingkungan, praktis bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan UU No 39/1999 tengan hak asasi manusia.
Konsesi perusahaan yang disebutkan dalam gugatan juga dinilai terbit untuk wilayah yang dilarang UU No 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam gugatan yakni, apakah PT TMS sebagai penanaman modal asing telah mendapat izin Menteri Kelautan dan Perikanan? Apakah izin didukung dengan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Sangihe? Apakah Sangihe pulau tidak berpenduduk dan belum dimanfaatkan seperti yang disyaratkan UU No 1/2014?
Saat ini, kata Jull, masyarakat tegas menolak kehadiran tambang di Pualu Sangihe, baik skala kecil maupun besar.
“Saya baru buat pertemuan di Kecamatan Tamako yang dihadiri warga 20 kampung, ada kepala desa, tetua kampung, tokoh agama, semua sepakat menolak tambang dan mendukung upaya legal melalui koridor hukum,” katanya.
Di Sangihe, sudah ada tambang-tambang emas ilegal muncul. Bagi Save Sangihe Island, kata Jull, alih-alih memberikan izin penambang ilegal, pemerintah seharusnya menertibkan tambang ilegal yang sudah menggali sekitar 200 lubang tambang itu.
Bagi Save Sangihe Island, infiltrasi perusahaan dengan menggandeng asosiasi tambang rakyat telah menimbulkan gesekan sosial yang berisiko bagi Sangihe– yang merupakan pulau terluar Indonesia.
Selain itu, kata Jull, banyak kejanggalan syarat administrasi dalam izin TMS. Bukan hanya tak melibatkan masyarakat lokal, sejak 2018 Pemkab Sangihe tak pernah memberikan rekomendasi tata ruang untuk izin TMS.
Kalau melihat kronoligis izin keluar dari KESDM, TMS sudah dua kali mendapat penundaan karena gagal memenuhi izin persyaratan izin. “Sekarang, dikasih lagi perpanjangan, ada apa? Ini kan pertanyaan besar.”
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
***
Awal Juni lalu, masyarakat Sangihe dikejutkan dengan kabar meninggalnya Wakil Bupati Helmud Hontong di atas pesawat Lion Air dalam rute Denpasar-Makassar.
Menurut ajudannya, Harmen Rivaldi Kontu, sebelum meninggal Helmud sempat mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Kepolisian mengatakan, serangan jantung sebagai penyebab kematian.
Kematian ini kemudian dikaitkan dengan sikap tegas Helmud mendukung masyarakat yang menolak tambang emas hadir di Sangihe.
Akhir April lalu, atas nama pribadi, Wabup Helmud mengirimkan surat kepada KESDM agar membatalkan izin tambang emas di Sangihe.
Dalam suratnya Helmud mengatakan, usaha pertambangan yang direstui KESDM bertentangan dengan UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Dalam surat itu Helmud mengingatkan, Sangihe tergolong pulau kecil, seluas 73.698 hektar, sangat rentan dengan aktivitas pertambangan.
“Aktivitas tambang TMS berpotensi merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang dan biota yang ada didalamnya,” katanya.
Selain itu, tambang juga akan secara signifikan berpotensi meningkatkan toksisitas lingkungan secara masif yang akan membawa dampak negatif bagi manusia dan biota alam.
Hal lain yang menjadi kekhawatiran Helmud yakni dampak pada kehilangan sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat. Kondisi ini secara terstruktur akan mengusir masyarakat dari tanah mereka hingga dalam jangka panjang berpotensi menghilangkan struktur kampung, budaya dan melahirkan masalah sosial baru.
Belajar dari pengalaman wilayah lain, kata Helmud, secara khusus di Sulawesi Utara, pertambangan hanya memberi keuntungan pada pemegang izin atau kontrak karya, namun tak mensejahaterakan masyarakat.
“Bahkan, meninggalkan kerusakan lingkungan fatal,” katanya.
Wabup juga menyoroti wilayah Sangihe di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina. Dia khawatir, kalau terjadi konflik rawan secara sosial dan pertahanan negara.
“Bahwa, saat ini gelombang penolakan dari rakyat terjadi masif, berpotensi terjadinya kerusuhan,” tulisnya lagi.
Helmud meminta, agar wilayah pertambangan di Sangihe cukup jadi wilayah tambang rakyat.
Setelah menerima surat ini, Ridwan Djamaludin, Dirjen Minerba KESDM lantas menjadwalkan pertemuan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk membahas pertambangan TMS.
Berkaitan dengan permintaan membatalkan izin TMS, dia bilang, pertambangan TMS atas kontrak karya yang ditandatangani 1997.
Pemerintah Sulawesi Utara telah menerbitkan izin lingkungan untuk TMS pada 15 September 2020. Dalam izin lingkungan itu disebutkan lokasi TMS untuk pertambangan 65,48 hektar dari total luas 42.000 hektar.
Berdasarkan data Ditjen Minerba KESDM, luas konsesi TMS yang prospek ditambang 4.500 hektar.
“Kurang dari 11% total luas KK TMS,” kata Ridwan.
Pemerintah, katanya, akan evaluasi luas kontrak karya dan dari evaluasi ini dapat meminta TMS melakukan penciutan yang tak digunakan atau tidak prospek untuk pertambangan.
“Pemerintah akan terus melakukan pengawasan ketat di lapangan untuk memastikan pertambangan TMS sesuai aturan hingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan membahayakan masyarakat,” katanya.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan BBC, Terry Fielbert, CEO perusahaan pemegang saham TMS mengatakan, TMS tetap beroperasi karena sudah mengantongi izin yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia.
Fielbert menjamin, operasi TMS tak akan menimbulkan dampak lingkungan dan perusahaan tak perlu menggunakan semua konsesi yang telah diberikan pemerintah.
Dia juga menyinggung surat yang dikirimkan Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong. Menurut dia, surat itu tak membawa pengaruh signifikan karena izin sudah dikeluarkan pemerintah pusat. “Kami melewati banyak pintu (birokrasi) untuk mendapatkan izin itu,” katanya.
“Presiden Jokowi (Joko Widodo) yang pernah ke Sangihe mestinya menuntut CEO perusahaan ini karena melecehkan ketatanegaraan Indonesia dengan mengatakan jabatan wakil bupati hanya seremonial belaka,” kata Jull.
Soal penciutan izin, kata Jull, dari awal proses tak transparan. “Kalau KESDM mau menciutkan, tidak begitu mau kami. Tambang ini harus dibatalkan.”
Proses yang dimaksud Jull adalah sosialisasi akhir Maret lalu setelah izin operasi keluar Januari 2021. Dalam sosialisasi sejumlah masyarakat yang hadir mengatakan perusahaan hendak membeli lahan mereka Rp5.000 permeter.
Warga kaget karena tak pernah tahu proses izin amdal. Warga yang hadir langsung menolak dan memilih tetap bertani cengkih, pisang, kelapa dan tanaman lain.
Bagi warga, hasil tani dan kebun mencukupi kebutuhan bahkan biaya sekolah anak-anak mereka.
Warga lebih kaget lagi ketika melaporkan masalah ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak, KPK hingga Ombudsman. Warga menemukan, banyak kejanggalan dari izin yang keluar.
Menurut Alfred Pontolondo, Koordinator gerakan Save Sangihe Island baik KLHK maupun KKP tak mengetahui soal perizinan TMS.
“Kajian lingkungan hidup tanpa sepengetahuan KLHK,” katanya.
Izin tambang juga keluar tanpa surat rekomendasi dari KKP sesuai amanat UU pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurut Alfred, alasan utama tak menambang Sangihe adalah karena posisi pulau yang rentan bencana. Senada dengan Wabup Helmud, Alfred juga menyoroti posisi pulau terluar yang menjadi perbatasan negara ini.
Alfred juga menyayangkan sikap Pemerintah Sulut yang sejak 2017, tegas menolak tambang, namun sejak izin terbit awal 2021, mereka mengatakan tak bisa berbuat banyak atas keputusan pemerintah pusat itu.
“Jadi, pemda mengamankan apa yang sudah diputuskan pusat. Kami berharap diayomi, tapi tak didukung pemda,” katanya.
DPRD Sangihe pun, menurut Alfred, hanya lima orang yang menolak izin ini.
Untuk ide penciutan wilayah tambang, katanya, hanya bentuk pemaksaan izin yang melanggar sejumlah UU dan mengancam tak hanya Sangihe juga pulau kecil lain di sekitar Sangihe yakni Pulau Mamuhu, Batunderang, Lenggis, Batuwingkung, dan Laotongan.
Karena alasan-alasan ini, kata Alfred, Save Sangihe Island akan menggugat izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang diberikan pemerintah ke TMS, ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Banyak pelanggaran
Catatan Jatam, selain tidak ada konsultasi publik selayaknya diatur dalam Pasal 26 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup– diubah oleh Pasal 22 UU Cipta Kerja–, IUPK ini juga melanggar pemenuhan Pasal 39 huruf k UU No 3/2020 tentang Minerba, yang mewajiban menyusun dokumen lingkungan.
“Harga tanah hanya Rp5.000 per meter atau Rp50 juta per hektar, lebih murah atau setara dengan paket data 5 GB atau lebih mahal dari kangkung di pasar,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional.
Kalau ditarik ke UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, katanya, jelas Sangihe termasuk pulau kecil yang tidak untuk tambang karena luas beserta kesatuan ekosistem kurang dari 2.000 km2.
Luas Pulau Sangihe hanya 73.698 hektar atau 736,98 km2. Praktis, izin ini juga bertentangan dengan lokasi yang dilarang Pasal 134 UU Minerba, yang menyatakan, kegiatan tambang tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan (pulau kecil).
Sementara TMS termasuk dalam penanaman modal asing yang menurut Pasal 26 A UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebelum IUPK terbit wajib mendapat izin pemanfaatan pulau kecil dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tak hanya untuk Sangihe, izin ini mestinya juga untuk pulau kecil lain di sekitar wilayah konsesi. Selain izin ini, UU Cipta Kerja juga mengamanatkan untuk mendapatkan izin dari Menteri ATR/BPN dalam penerbitan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di darat.
KKP mengatakan belum mendapatkan surat permohonan untuk penerbutan rekomendasi dari TSM.
“Hingga saat ini produk hukum dari KKP terkait kegiatan di Sangihe belum diterbitkan,” kata Merah.
Selain izin Menteri Kelautan, untuk bisa menambang pulau kecil juga ada syarat lain yakni tidak berpenduduk, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, dan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi pada luasan lahan. Saat ini, setidaknya ada tujuh kecamatan dan 80 desa berpenduduk.
Pasal 23 UU yang sama menyebut pemanfaatan pulau kecil dan sekitar prioritas untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, industri perikanan lestari, pertanian organik atau peternakan.
Pasal 35 juga menegaskan tambang dilarang pada wilayah yang secara teknis atau ekologis, sosial, budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan masyarakat sekitar.
KESDM, kata Merah, mestinya belajar dari kasus Pulau Bangka.
Pada 2017, KESDM mencabut IUP PT Mikgro Metal Perdana (MMP) di Pulau Bangka Sulawesi Utara. Putusan Mahkamah Agung pada 2016 bisa menjadi landasan hukum untuk kebijakan moratorium, audit, pencabutan IUP di seluruh pulau kecil yang dibebani izin tambang.
Rawan bencana
Pulau Sangihe termasuk kawasan rawan dan rentan bencana alam. Ada gunung berapi di tengah Pulau Sangihe yaitu Gunung Awu. Pulau Sangihe juga diapit dua gunung api bawah laut yakni Kawio di perairan utara Sangihe, dan Banua Wuku Mahangetang di selatan Sangihe.
“Tegasnya sangat rawan dengan bencana gempa vulkanik,” kata Merah.
Gunung Awu 1.300 meter, aktif berkala dengan letusan besar terakhir pada 1966. Letusan kecil pernah terjadi pada 2004. Meskipun area proyek berada di ketinggian, fasilitas infrastuktur dapat terpengaruh. Wilayah Sangihe juga aktif secara seismik.
Di Pulau Sangihe, terdapat kawasan hutan Sahendaruman yang merupakan hulu dari 70 sungai, sumber air bersih bagi seluruh masyarakat Sangihe. Di dalamnya, ada hutan purba yang menurut kearifan lokal tak boleh dirambah atau tereksploitasi. Ia habitat hewan endemik Sangihe termasuk satu-satunya spesies burung sampiri yang dilindungi. Seluruh pesisir Sangihe juga kawasan hutan mangrove.
Sebagian dari deposit Binebase dalam area hutan lindung tak boleh dibuka untuk pertambangan.
***
TMS merupakan perusahaan pemegang kontrak karya generasi ketujuh dengan pemerintah Indonesia. Kontrak karya ditandatangani pada 27 April 1997. Dalam UU Minerba KK diubah menjadi IUPK.
Dalam data yang dipaparkan Jatam memperlihatkan, pemegang saham asli TMS adalah Laarenim Holding BV, sebuah perusahaan Belanda yang dimiliki BRE-X Minerals, sebuah perusahaan tambang asal Kanada.
Terrence Kirk Filbert, tercatat sebagai Direktur Utama perusahaan TMS, 70% dikuasai Sangihe Gold Corporation (SGC) dari Kanada. SGC adalah perusahaan di bawah payung Baru Gold Corp (BGC).
BGC, sebelumnya East Asia Minerals, merupakan perusahaan publik eksplorasi sumber daya mineral Kanada berfokus pada pengembangan proyek produksi logam mulia di Indonesia. Tak hanya di Sangihe, mereka memiliki proyek di Miwah, Banda Aceh bagian tenggara.
Proyek Sangihe pertama kali ditemukan dan eksplorasi secara primitif pada 1986. PT Mears Soputan Mining dan mitranya, JV Muswellbrook, mengerjakan proyek ini sampai 1993.
Sejak 1989-1993, bor 5.000 meter dilakukan di area Binebase dan Bawone. Hingga 2006, eksplorasi terus lanjut. Selama pengeboran dan eksplorasi, emas oksida terpapar di permukaan Binebase dan emas sufida dangkal di Bowone ditemukan, dan anomali emas kecil teridentifikasi di Taware.
Dalam struktur manajemen ada nama Todotua Pasaribu, tim sukses Presiden Joko Widodo, juga CEO Berkah Bomba Energi yang bergerak di bisnis batubara di Sumatera Selatan. Dia juga CEO Thopasindo Group.
Save Bangka Island dan Jatam meminta, Menteri ESDM mencabut IUPK TMS. Pemerintah Sulut juga diminta mencabut izin lingkungan.
Mereka juga serukan peninjauan izin tambang di pulau-pulau kecil di Indonesia. “Presiden dan Menteri ESDM, KLHK, KKP harus meninjau ulang dan membatalkan semua 165 izin tambang di 55 pulau kecil di Indonesia. Penciutan bukan solusi. Solusi hanya satu, batalkan operasi tambang,” tegas Merah.