Mongabay.co.id

Negara Tak Punya Duit untuk LIN, Khalayak Maluku: Negara Tak Adil

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, beberapa waktu lalu mengeluarkan statemen yang sangat mengecewakan dan membuat riuh publik Maluku. Dalam Rapat Kerja (Raker) antara Komisi IV DPR RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan di Senayan Jakarta, Trenggono menyebut negara tidak punya duit untuk membangun dua megah proyek nasional di Maluku, yakni Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP).

Pernyataan itu langsung mendapat reaksi dari khalayak Maluku di seantero Indonesia, termasuk Anggota DPR RI asal daerah pemilihan Maluku, di Senayan Jakarta. Menurut Saadiah Uluputty, Anggota Fraksi PKS DPR RI, Menteri Trenggono tak sepantasnya berkata seperti itu.

“Tidak boleh ada alasan, tidak ada duit, tidak ada uang. Karena ini berkaitan dengan janji Presiden yang ke sana wara-wiri dengan beberapa menteri di Maluku,” tegas Saadiah dalam video yang dikirim ke Mongabay Indonesia.

Menurut Saadiah, sejak 2016, Presiden telah menyempaikan akan dibangun groundbreaking-nya pada November 2017. Olehnya, pernyataan tidak ada uang sangat tak masuk akal. Karena di sisi lain, bisa bangun infrastruktur kereta api di Bandung, bangun Ibu Kota Negara dan lain-lain.

Laut Maluku, kata Saadiah, memiliki tiga WPP dengan kontribusi perikanan tertinggi kepada negara, yakni sebanyak 37 persen. Jadi kalau negara tidak punya dana untuk mendukung LIN dan ANP, tentu sangat bertolak belakang dengan kontribusi Maluku selama ini.

“Kalau alasan tidak ada uang, bagi kami ini tidak adil, negara gagal. Maluku adalah orang paling baik se-Indonesia, tidak pernah mau macam-macam. Kalau hari ini bilang tidak ada uang, ini pembohongan publik,” tegas Uluputty.

Berbeda dengan Saadiah, Abdullah Tuasikal Anggota DPR RI asal Maluku juga menyebut, kebijakan penangkapan terukur yang saat ini dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menggantikan M-LIN, merupakan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat Maluku. Karena itu dia tetap mendorong agar LIN direalisasikan.

baca : Presiden Jokowi Targetkan Program LIN Maluku Beroperasi 2023

 

Sejumlah nelayan di Kota Ambon, Maluku, saat memancing di salah satu pelabuhan perikanan. Foto: istimewa

 

Penggembosan LIN

Menyikapi isu LIN dan ANP yang bakal gagal, Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Dr. Ruslan Tawari saat dihubungi Mongabay, Senin (11/4/2022) mengtakan, dari awal dirinya telah menjelaskan, kebijakan Pemerintah Pusat terkait perikanan terukur itu sesungguhnya hanya penggembosan terhadap LIN.

Menurutnya, perikanan terukur tidak bisa dijadikan barometer untuk menambah kuota pertumbuhan ekonomi masyarakat khusus nelayan, apalagi nelayan kecil. Perikanan terukur itu mewajibkan orang untuk membeli kuota sehingga bicara soal modal.

“Bagaimana mungkin nelayan yang notabene modalnya tidak ada, harus membeli kuota. Itu tidak mungkin,” ujarnya.

Artinya, keperpihakan perikanan terukur itu khusus untuk pemilik modal, dan bisa saja mereka menjual lagi modal. Jadi ini kontraproduktif.

“Bagi saya LIN yes, perikanan terukur no. Karena perikanan terukur itu kontraproduktif dengan gagasan dibangunnya LIN. LIN itu sentra produktif, bukan untuk Maluku tapi seluruhnya,” katanya.

Perbedaan LIN perikanan terukur banyak, selain pembelian kuota juga soal pendaratan, lalu siapa yang akan mengawasinya. Pemerintah Pusat dalam ini KKP, kata dia, hanya mengejar pertumbuhan dan tidak mementingkan kesejahteraan.

Karena itu, soal M-LIN, jangan hanya membebankan para wakil rakyat yang ada di Senayan Jakarta, namun harus ada langkah kolaboratif oleh seluruh elemen masyarakat.

“Artinya kita berpikir secara sistematis pada segmen mana DPR ambil bagian, demikian juga pemerintah dan akademisi. Supaya tersistematis dan membangun satu sistem yang kuat. Semua orang punya kesadaran yang sama, tapi kita lemah dalam hal kolaboratif,” ujarnya.

baca juga : Support LIN, Maluku Harus Cerdas dan Bijak Kelola Kekayaan Lautnya 

 

Sejumlah nelayan di Negeri Hualoy, Kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku Utara. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Tak Batal

Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Amrullah Usemahu mengatakan, M-LIN tidak mungkin dibatalkan, pasalnya telah masuk dalam program strategis nasional (PSN), dan ini telah dicanangkan sejak 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono.

Namun dia mengakui, progresnya sempat naik turun, dibawah kepemimpinan 4 Menteri KP, mulai dari Cicip syarif Sutardjo, Susi Pujiastuti, Edi Prabowo hingga Kini Wahyu Sakti Trenggono.

Awalnya spirit M-LIN ini adalah menjadikan Maluku sebagai kawasan Industri perikanan terpadu secara nasional bahkan global, dengan menghidupkan pelabuhan-pelabuhan perikanan eksisting yang ada di sekitar wilayah Maluku, sehingga jalur logistik dan suplai chain bahan baku produk perikanan dapat langsung ekspor dari Maluku.

Sebenarnya kalau untuk kawasan Industrilisasi saja, kata dia, Pemerintah Pusat dapat mengembangkan 2 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang ada di Maluku, yakni PPN Ambon atau Tual untuk dijadikan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), hingga kapasitasnya meningkat. Atau PPP Dobo dan pelabuhan perikanan lainnya ditingkatkan statusnya.

Sebagai catatan, untuk wilayah timur Indonesia, Kepulauan Maluku, Papua, Papua Barat, dan NTT tidak ada pelabuhan perikanan PPS Tipe A.

Sejak menjadi Korwil Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) periode 2007-2009, katanya, pihaknya terus mendorong agar status PPN Ambon dinaikan statusnya menjadi PPS, karena itu merupakan pintu masuk menuju implementasi Industrilisasi Perikanan di Maluku.

“Dan saat itu bersama pengurus sudah menyampaikan secara langsung via Kepala PPN Ambon Frits Lesnussa, serta pada tahun 2014, rekomendasinya kami serahkan langsung kepada Menteri KP Susi Pudjiastuti yang berkunjung ke Ambon,” ungkapnya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (12/4/2022).

baca juga : Jemput LIN, Maluku Harus Siapkan SDM, Etos Kerja dan Bicara Anggaran

 

Sekelompok nelayan Maluku membersihkan jaring penangkap ikan setelah digunakan melaut. Foto : shutterstock

 

Namun info saat itu, kata dia, terkendala luasan lahan. PPN Tantui Ambon hanya memiliki luas lahan ± 6 Ha (60.000m2) yang terdiri dari luas daratan/lahan 35.000m2 (3,5 Ha) dan luas areal dermaga (kolam Pelabuhan) ± 25.000m2 (2,5 Ha).

Sedangkan syarat PPS adalah lahan paling sedikit 20 Ha. Selain itu, kriteria operasional terdiri atas ikan yang didaratkan sebagian adalah tujuan ekspor, terdapat aktifitas bongkar muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata 50 ton perhari, dan terdapat juga industri pengolahan ikan serta industri penunjang lainnya.

Menurutnya, M-LIN sempat kehilangan arah setelah pemerintah menginisiasi ANP. Sebab itulah fokus pemerintah menjadi dua, yakni LIN dan ANP.

Memang ANP akan berada dalam satu kawasan dengan M-LIN. Antara pelabuhan peti kemas (kontainer) dan kawasan pelabuhan perikanan dijadikan terintegrasi dan terpadu. Namun seharusnya M-LIN yang menjadi fokus pengembangan, karena berkaitan pengelolaan sumberdaya ikan.

“Tak ada Ikan, kita tidak bisa bicara ekspor perikanan,” ujarnya.

Dia mengungkap, perdebatan publik Maluku semakin menjadi ketika diberitakan M-LIN dibatalkan. Padahal informasi yang diperoleh, bukan program, tetapi lokasinya. Karena berada pada jalur gunung api bawah laut dan terdapat ranjau bekas perang dunia kedua.

Tetapi menurutnya, perlu dilakukan kajian lebih dalam untuk memastikan hal tersebut, bukan serta merta menjustifikasi lokasi tidak layak, walau memang ada beberapa catatan, dimana lokasi tersebut aktif terjadi gempa beberapa waktu lalu.

baca juga : Pemerintah Tinjau Lokasi Pelabuhan Terpadu di Maluku, Apakah LIN Segera Terwujud?

 

Seorang nelayan Maluku memperlihatkan ikan cakalang hasil tangkapannya. Foto : shutterstock

 

Sisi lain, kata dia, Maluku memang berada dalam 3 WPP potensial yakni 714, 715 dan 718 dengan jumlah potensi mencapai 4.5 juta ton atau 37 % dari potensi nasional.

“Namun katong (kita) juga harus pahami rezim pengelolaan perikanan kelautan perikanan Indonesia yang berbasis WPP. Dimana provinsi lainnya dapat mengklaim yang sama sesuai jumlah SDI pada WPP tersebut, karena WPP itu luas yang mengakomodir beberapa laut didalamnya,” ujarnya.

Yang seharusnya menjadi bergaining posisi, adalah peningkatan jumlah produksi perikanan tangkap pada 3 WPP tersebut dengan memperkuat areal pendaratan ikan serta lokasinya secara administratif dan strategis lebih dekat dengan Provinsi Maluku.

“Misalnya saja jantungnya Arafura, di dalamnya ada kepulauan Aru yang secara administratif berbatasan dengan Provinsi Papua Barat,” katanya.

Berbicara M-LIN memang butuh komitmen dan keseriusan dari Pempus maupun kesiapan daerah dalam menyambutnya. Keterbukaan Informasi sangat diperlukan, jika memang ada hal-hal teknis yang berkaitan dengan kendala untuk implementasi program M-LIN harus disampaikan ke publik, sehingga tidak terkesan janji politik.

Menurutnya, M-LIN jangan dilihat sebatas kepentingan Maluku, tetapi secara luas untuk Negara, misalnya untuk memperkuat pengelolaan sumberdaya sekaligus menjaga wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dengan Australia.

Jika dikembangkan kawasan industri perikanan ini, kata dia, akan muncul kawasan ekonomi baru di wilayah Indonesia Timur, yang notabene masih bertengger di 4 besar provinsi termiskin di Indonesia (Papua , Papua Barat, NTT, Maluku)

Dengan M-LIN, Pempus juga dapat menjadikannya sebagai program unggulan dalam mendorong atau menekan kemiskinan ekstrim di wilayah timur Indonesia, karena akan membuka ruang sebesar-besarnya berkaitan peluang lapangan kerja, peningkatan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat serta devisa Negara.

baca juga : Apa Kabar Program Lumbung Ikan Nasional Maluku?

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Struktur Anggaran

Hatta Hehanussa, Wakil Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku menegaskan, pihaknya akan terus menyuarakan kepentingan LIN dan ANP karena itu program nasional yang mendapat perhatian besar oleh Presiden Joko Widodo.

“Kita melihat gejolak muncul dari berbagai elemen masyarakat Maluku, pasca LIN dan ANP dikabarkan gagal,” ujarnya.

Menurutnya, berdasarkan beberapa penyampaian Anggota DPRD dan DPR RI, M-LIN ini tidak masuk dalam struktur anggaran tahun 2022. Tentunya ini menjadi alasan kuat mengapa LIN masih dipertanyakan oleh masyarakat Maluku.

“Kalau melihat dari APBN, menunjukan bahwa LIN ini belum ada kepastiannya. Karena itu tak bisa dibiarkan,” tegasnya.

Dia mengatakan, jika potensi dari perikanan tangkap di Maluku mencapai 4.6 juta ton (37 persen) dari 12.5 juta total potensi sumber daya ikan nasional, lalu soal pembangunan LIN dan ANP tidak bisa terealisasi, maka ini sangat disesalkan.

Karena itu, pihaknya di DPRD Provinsi Maluku lewat rapat pimpinan, baik di level komisi dan fraksi, sudah mengambil sikap untuk melakukan komunikasi dengan Pempus dan bertemu langsung dengan Presiden.

“Prinsipnya, DPRD Maluku akan mengawal dan mendorong Pempus agar LIN direalisasi, dan saya pikir seluruh elemen masyarakat harus bergerak sama-sama memperjuangkannya. Minimal harus menyatukan persepsi agar proyek itu terealisasi. Kita tidak ingin dipermainkan terus,” katanya tegas.

Terkait gagalnya LIN ini juga, Kepala Dinas Kelautanan dan Perikanan Maluku, Abdul Haris yang dihubungi Mongabay Indonesia, tak memberi respon atau konfirmasi balik.

 

Exit mobile version