Mongabay.co.id

Kala Dana Tetap Ngalir ke Sektor Berisiko Rusak Hutan

 

 

 

Pendanaan pada sektor yang berisiko merusak hutan terus berjalan sekalipun sudah banyak rambu dibuat agar menahan laju deforestasi secara global. Sektor sawit, masih jadi ‘primadona’ penyebab deforestasi yang terus menerima gelontoran dana dalam bentuk kredit dan investasi. Ada juga beberapa komoditas lain seperti kayu, kedelai, daging sapi, bubur kertas dan kertas serta karet. Sektor ini dinilai berisiko bagi hutan karena mengubah peruntukan hingga memicu perubahan iklim.

Kajian Koalisi Forests and Finance, menyebutkan, setidaknya sejak 2016-2021, ada investasi dalam bentuk obligasi dan saham US$41,5 miliar secara global yang berisiko bagi hutan, sebesar US$26,6 juta masuk ke Asia tenggara.

Untuk kredit, terdapat US$238 miliar mengalir ke 186 perusahaan yang berisiko bagi hutan di seluruh dunia di periode waktu sama. Padahal, pada 2015, dunia memiliki pemahaman sama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) lewat Perjanjian Iklim Paris.

Koalisi yang terdiri dari Rainforest Action Network (RAN), TuK Indonesia, Profundo, Amazon Watch, Reporter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia dan Friends of the Earth Amerika Serikat ini juga menemukan pandemi tak jadi halangan investor dan kreditor untuk menggelontorkan dana mereka ke komoditas yang berisiko bagi hutan.

Bahkan, dalam waktu enam bulan pada 2021 lembaga keuangan menyediakan kredit hampir US$31 miliar. Jumlah ini berpotensi meningkat dibanding 2015 yang mencatat kredit terhadap komoditas ini US$35 miliar.

“Pembiayaan terhadap komoditas ini tidak turun-turun, bahkan di kala pandemi. Padahal mereka ini memicu deforestasi,” kata Edy Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia saat ditemui dalam pemaparan hasil kajian koalisi di diskusi publik bertajuk Mendulang Cuan Merisikokan Hutan di Jakarta, awal April lalu.

 

Sawit, komoditas yang mendapatkan pendanaan terbesar meskipun rawan terjadi kerusakan hutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pendanaan di Asia Tenggara

Ratnawati Rentowinarni dari Koalisi Forests and Finance dalam paparan menyatakan, penyedia dana terbesar di Asia Tenggara untuk sektor-sektor yang berisiko bagi hutan adalah perbankan dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Jepang. “Bank Rakyat Indonesia yang paling besar,” katanya.

Kalau ditotal, 2015-Juni 2021, perusahaan pelat merah itu memberikan kredit pada sektor yang merisikokan hutan hingga US$5,6 miliar. Bank Mandiri juga BUMN menempati peringkat kedua bersama Malayan Bank dari Malaysia dengan nilai kredit US$5,2 miliar pada periode sama.

Bank lain dari Indonesia adalah Bank Central Asia (BCA) tercatat memberikan kredit US$4 miliar dan BNI dengan kredit US$3,7 miliar.

Pada periode sama, koalisi mencatat, ada tiga debitur besar menerima pendanaan yakni Sinar Mas, Sinochem dan Royal Golden Eagle.

“Banyak selai yang digelontorkan untuk sawit dan pulp and paper di Asia Tenggara ini,” katanya.

Data koalisi dan dapat diakses dalam laman forestsandfinance.org ini mencatat kredit terhadap sektor-sektor yang merisikokan hutan di Asia Tenggara 50% antara lain masuk sektor sawit nilai mencapai US$38 miliar. Sektor lain seperti bubur kertas dan kertas menerima 30% kredit yang masuk dan karet 16%.

Selama tiga tahun terakhir atau saat pandemi, BCA menjadi top creditor sektor sawit dengan pendanaan US$1,146 juta. Permodalan Nasional Berhad dari Malaysia menjadi top investor dengan pendanaan sampai US$5,44 juta.

Di sektor kertas dan bubur kertas, BRI menempati posisi teratas kreditor di masa pandemi dengan kredit mencapai US$1,930 juta. Vanguar, perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai top investor di sektor ini dengan pendanaan sampai US$131 juta.

Uniknya, tidak ada perbankan dari Indonesia yang menempati 10 besar kreditor untuk sektor karet pada masa pandemi di Asia Tenggara. Urutan teratas ditempati Citigroup yang bermarkas di AS dengan kredit mencapai US$803 juta.

Kondisi ini, kata Edy, sangat mungkin terjadi karena ada permintaan pasar tinggi terhadap sawit. Di Indonesia, bahkan sawit dianakemaskan dengan berbagai insentif.

“Insentif itu bukan hanya dana, juga regulasi.”

Hal ini bisa terlihat dari berbagai program untuk mendorong sawit. Tidak heran sektor ini disebut tahan banting di tengah pandemi.

Insentif-insentif pun Edy nilai, memudahkan sawit berkembang dan pembangunan pabrik sangat dekat dengan kebun atau sumber bahan baku. Dia bilang, banyak pabrik sawit di Sulawesi Tengah, sementara luas kebun sekitar 100.000 hektar.

Tak demikian dengan komoditas seperti karet, kelapa hingga kakao. “Saya kira kalau semua sektor insentif seperti sawit, bisa bersaing juga. Ini sama saja membandingkan F1 dengan Gokart,” katanya.

 

Kebakaran hutan  di Riau. Karhutla tak hanya sebabkan kerusakan lingkungan juga membahayakan kesehatan warga. Foto: BNPB/ Mongabay Indonesia

 

Uji tuntas lemah

Salah satu penyebab masih marak pendanaan bagi komoditas perisiko hutan diduga karena uji tuntas (due dilligence) masih lemah dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Seringkali LJK tidak memerhatikan rekam jejak debiturnya.

Edy menyebut, masih ada perusahaan-perusahaan yang terlibat pembakaran hutan mendapat pembiayaan sampai 2021. Banyak juga perusahaan yang tak punya hak guna usaha menjadi debitur.

“Padahal, salah satu prinsip lembaga keuangan itu kan know your customer,” katanya.

LJK, cenderung melihat calon kreditur dari aspek establishment dan kemampuan nasabah bisa membayar bunga dan pokok pagu kredit saja. Sementara isu keberlanjutan yang mengedepankan lingkungan, sosial dan tata kelola berdasarkan perjanjian internasional dan berbagai konvensi belum berjalan dengan baik.

Berdasarkan pengamatan, aspek keberlanjutan di LJK ini cenderung jadi isu satu divisi atau deprtemen, bukan institusi keseluruhan. “Saya diskusi dengan teman-teman BRI di Maluku Utara soal isu sustainable financing ini. Mereka meminta OJK (Otoritas Jasa Keuangan) melakukan sosialisasi agar seluruh institusi paham,” ucap Edy.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University mengatakan, seharusnya LJK dan perusahaan tak tertutup dalam setiap proses kerjasama dengan kreditur bidang kehutanan. Terlebih, keterbukaan data merupakan kewajiban kalau berdampak pada sosial dan lingkungan.

Dia meminta, LJK melakukan pengawasan terhadap kreditur dengan baik di lapangan. “Jangan sampai hanya ceklis-ceklis syarat administrasi, pengawasan di lapangan tidak dilakukan.”

Untuk itu, katanya, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik harus bisa masuk ke ranah ini dan memastikan data kerjasama antara LJK dan kreditor yang bergerak pada komoditas kehutanan bisa terakses publik. Informasi terbuka akan membuat pengawasan dari masyarakat berjalan baik hingga tak ada lagi perusahaan bermasalah secara hukum bisa mendapat pendanaan.

Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyuarakan hal sama. Di Riau, katanya, banyak perusahaan terbakar atau tersangkut kasus korupsi masih mendapat pendanaan dan beraktivitas dengan normal.

“Di media sudah ada tuh perusahaan A, B, C, D, disebut korupsi atau membakar hutan. Tapi tidak ada OJK atau perbankan bergerak soal ini.”

Seharusnya, kalau OJK memang serius pendanaan berkelanjutan, mereka bisa panggil seluruh kreditur dan memberikan ultimatum penarikan kredit kalau perusahaan tetap terbakar di masa mendatang. “Tidak mungkin perusahaan tidak patuh.”

 

Jalan yang dibuat perusahaan sawit dengan membuka hutan di Kampung Beneik, Distrik, Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana pemerintah daerah?

Pendanaan terhadap komoditas yang merisikokan hutan memang interaksi business to business tetapi, pemerintah daerah harus paham konsep sustainable financing.

“Karena jika pemda paham dan perusahaan di wilayahnya menerapkan LST yang baik, maka investasi yang masuk pun akan baik,” kata Edy.

Sayangnya, tak banyak pemerintah daerah mengerti isu ini. Malah di beberapa daerah, pemerintah termasuk Bappeda bingung karena masih ‘berjuang’ dengan isu pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, perlu upaya OJK berkoordinasi antar lembaga agar isu ini bisa tersampaikan ke daerah. Pembekalan terhadap pemda ini perlu agar mereka segera menerapkan rambu yang diperlukan supaya investasi ke wilayah mereka adalah investasi hijau.

“Seperti saya minta teman-teman di Kabupaten Banggai segera susun RDTR (rencana detail tata ruang) untuk pastikan ada ruang untuk dilindungi, ruang advokasi dan ruang industri,” kata Edy.

Dengan demikian, lembaga pembiayaan akan mengetahui daerah mana saja yang tidak bisa mereka masuki untuk industri-industri ekstraktif.

Exit mobile version