Mongabay.co.id

Karst Indonesia, Kaya Manfaat Namun Minim Penelitian dan Perhatian

Highline, salah satu kegiatan luar ruangan sekaligus upaya konservasi di kawasan Karst Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

 

Karst memiliki banyak manfaat dan sangat penting bagi kelangsungan ekosistem. Namun, sejauh ini karst sangat jarang diangkat isunya dan diperbincangkan banyak orang. Apalagi, istilah karst masih kurang familiar di Indonesia.

Pada dasarnya, karst merupakan istilah asing yang diambil dari bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu.

Di Indonesia sendiri, banyak istilah untuk karst, misalnya gunung batu atau batu kapur. Sementara, beberapa ahli menggunakan istilah karst sebagai bentang alam yang kondisinya memiliki hidrologi khas.

Pernyataan tersebut diungkapkan Azis Fardhani Jaya dari Indonesia Speleological Society, saat Bincang Alam Mongabay Indonesia, Sabtu, 23 April 2022. Menurut dia, karst menyimpan banyak jasa ekosistem, setidaknya terdapat tiga poin besar.

Pertama, sebagai jasa penyedia, terutama terkait sumber daya air. Kedua, sebagai jasa regulasi atau pengatur yang memiliki jasa ekosistem penyerap karbon. Ketiga, sebagai jasa budaya, terutama di banyak tempat yang memiliki situs-situs sejarah lukisan rock art.

“Luas bentang alam karst mencakup sekitar 20 persen dari permukaan Bumi dan tersebar di seluruh dunia. Sekitar 20 – 25 persen dari penduduk dunia bergantung pada air ekosistem karst, karena sifatnya penyedia air dan dimanfaatkan oleh penduduk di sekitarnya,” ungkap Aziz.

Dari sisi keanekaragaman hayati, menurut dia, masih menjadi tantangan, karena publikasi terakhir tahun 2004 oleh Badan Konservasi Dunia IUCN. Sebaran spesies yang terancam di ekosistem karst lumayan banyak, karena merupakan ekosistem yang jarang diketahui orang. Terutama, di dalamnya ada ekosistem gua, dan belum banyak yang mempelajari, meneliti, serta menemukan datanya.

Baca: Menakar Pengelolaan Ekosistem Karst di Indonesia

 

Highline, kegiatan luar ruangan sekaligus upaya konservasi di kawasan Karst Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Untuk Indonesia, Aziz menyebut, luas potensi bentang alam karst sekitar 15,4 juta hektar atau sekitar 8 persen dari luas daratan. Hasil analisis menunjukkan, sekitar 62 persen masih berupa tutupan hutan alam atau 9,56 juta hektar.

Dalam ekosistem karst tersebut ada sekitar 146 spesies mamalia, 356 spesies burung, dan 51 spesies amfibi yang hidup berasosiasi dengan karst. Ditambah 100 spesies fauna gua yang ditemukan oleh BRIN, dengan endemisitas tinggi.

“Kami mengompilasi data-data terkait kawasan karst. Hingga tahun 2020, sedikitnya teridentifikasi sekitar 1.852 gua, 187 sungai bawah tanah, 1.034 ponor [lubang yang memiliki aliran di tanah], 32 telaga karst, dan 839 mata air. Ini pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara Sulawesi, Kalimantan, dan Papua belum banyak terungkap,” jelas Aziz.

Di Jawa, menurut dia, berdasarkan penelitian terdapat 11,2 juta masyarakat Jawa tinggal dan hidup di kawasan batu gamping yang berpotensi sebagai ekosistem karst. Dari jasa pengatur alami ekosistem karst, sebagai contoh untuk Gunung Sewu, penelitian menunjukkan potensi penyerapan karbon karst di Gunung Sewu sebesar 72.804,2 ton per tahun, dengan nilai ekonomi mencapai 14 miliar Rupiah lebih, pertahun.

Baca: Kalpataru, Harapan Baru Kolaborasi Penyelamatan Karst Citatah

 

Proses pengukuran debit air di Gua Sibibijilan, Sukabumi, Jawa Barat. Foto: Dok. Lawalata IPB, 2016

 

Ancaman pada karst

Di Indonesia, merujuk Permen ESDM No. 17 tahun 2012, karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit. Umumnya, karst dicirikan dengan adanya lubang [sinkhole], cekungan tertutup [doline], langkanya sungai permukaan, berkembang aliran air/sungai bawah tanah dan gua.

Saat ini terdapat ancaman pada ekosistem karst dari manusia, seperti deforestasi, pertanian, permukiman, industrialisasi, pertambangan, bahkan juga pariwisata. Di Indonesia, sekitar 9,5 persen dari total wilayah karst Indonesia rusak. Seluas 1,82 juta hektar atau 11 persen kawasan karst di Indonesia telah dibebani izin konsesi pertambangan.

“Karst itu berbeda dengan hutan. Kalau hutan pohonnya bisa ditanam kembali. Sedangkan karst itu adalah batuan, ketika ditambang tidak bisa diperbarui, fungsinya jadi rusak,” kata Aziz.

Perubahan iklim juga berpengaruh pada ekosistem karst, namun sebenarnya ekosistem karst membantu terhadap mitigasi perubahan iklim karena salah satu jasa lingkungannya adalah menyerap karbon.

Menurutnya, perlindungan dan pelestarian ekosistem karst belum banyak dibahas orang. Sehingga isunya perlu diangkat, dipublikasikan, kemudian dibuat database informasi, karena pengelolaan karst di Indonesia masih minim data.

“Sebenarnya, hal yang memungkinkan adalah kita boleh menekan pemerintah untuk berhenti mengeluarkan izin pertambangan. Atau, mendorong regulasi terkait perlindungan karst secara komprehensif dan partisipatif,” ujar Aziz.

Baca: Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-Rammang

 

Gua Sarang Burung di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Foto: Dok. Petrasa Wacana, 2016

 

Dalam tulisannya tentang karst, Aziz menyebut, ada tiga poin yang perlu dilakukan dalam hal perlindungan ekosistem karst. Pertama, pemerintah sebaiknya melakukan moratorium izin pertambangan di kawasan karst, termasuk mengevaluasi izin-izin yang sudah ada. Mengingat dalam 10 tahun terakhir, kapasitas produksi semen selalu berlebih, dibanding permintaan.

Kedua, pemerintah segera mengesahkan RPP Ekosistem Karst yang sejak lama tidak kunjung selesai dibahas. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat upaya pengelolaan dan perlindungan kawasan karst secara komperhensif dan partisipatif.

Ketiga, para pegiat karst dan speleologi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat agar terus melakukan riset dan pendataan potensi beserta ancaman kawasan karst. Pengelolaan ekosistem karst yang baik memerlukan data dan informasi memadai.

Baca juga: Menanti Adanya Kawasan Bentang Alam Karst di Aceh

 

Peta persebaran kawasan karst dan ancamannya. Sumber: Indonesian Speleological Society

 

Pakar karst dan juga dosen pada Departemen Geografi Lingkungan Universitas Gajah Mada, Dr. Eko Haryono, M.Si, mengatakan persoalan utama pengelolaan kawasan karst di Indonesia muncul akibat konsekuensi desentralisasi kewenangan. Khususnya, kewenangan perizinan pertambangan batu gamping.

Desentralisasi kewenangan itu menjadikan peraturan-peraturan pengelolaan karst yang dikeluarkan pemerintah pusat menjadi tidak efektif. Meskipun sudah terdapat peraturan terkait penetapan kawasan karst, namun dalam implementasinya sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.

“Upaya pelestarian karst menjadi penting karena selain berfungsi sebagai kantong penyimpan cadangan air bersih, kawasan karst juga menjadi daerah penyerapan karbon. Bentang alam karst mampu menyerap karbon yang mencemari udara dalam jumlah besar yaitu sebesar 13,482 Giga gram per tahun,” paparnya.

 

Exit mobile version