- Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC) Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, memperoleh penghargaan Kalpataru 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian.
- Deden Syarif Hidayat (37) menjadi salah satu pemuda pelopor gerakan itu ada. Bersama kawan-kawanya, ia memimpin banyak aksi menentang penambangan kapur atau gamping di karst Citatah yang merusak lingkungan dan kesehatan warga setempat
- Dukungan berdatangan setelah mendapat Kalpataru. Beberapa desa bahkan mengeluarkan peraturan desa yang mengkawinkan konservasi dengan geowisata. FP2KC juga mendapat dukungan pendanaan untuk konservasi di bekas tambang kapur Citatah
- FP2KC berkolaborasi bersama banyak komunitas, salah satunya Pushing Panda, penggiat olahraga luar ruang highline, menjadikan karst sebagai ruang bermain sekaligus konservasi penyelamatan karst Citatah
Tak ada yang lebih menggembirakan dari perjuangan, selain pengakuan. Mungkin kalimat itu belum cukup menceritakan perjuangan para pemuda Citatah yang berhasil mendapat Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di penghujung tahun 2021 lalu.
“Kalau tidak nambang kapur, mau makan apa?”
Sepenggal pertanyaan gawat itu masih menancap di kepala Deden Syarif Hidayat (37). Lamanya, mungkin dua putaran pemilu. Pergulatan memperjuangkan harapan diantara ekologi dan ekonomi.
Ingatan Deden melompat ke tahun 2010. Ketika awal mulai langkahnya di Tebing 125, salah satu titik di kawasan karst Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Minatnya terhadap aktivitas panjat tebing, membawa pria yang murah senyum itu rutin melatih kekuatan jari jemari dan otot bisepnya di sana.
Kala itu, kondisi karst di Cipatat sudah berada di ujung tanduk. Selama puluhan tahun, kebutuhan ekonomi acapkali dijadikan alasan pembenar bagi perusakan lingkungan terutama penambangan kapur. Ratusan pabrik kapur itu mengepulkan asap hitam yang kerap menyesakkan dada dan juga memerihkan mata Deden.
Kisah tentang rusaknya kawasan Karst Cipatat, yang menyimpan begitu banyak jejak sejarah kebumian dan arkeologi, memang sudah lama terdengar. Begitu juga dengan kritikan para arkeolog maupun geolog yang miris melihat eksploitasi di tengah krisis ekologi. Padahal, menurut mereka luasan karst di Jawa hanya 5.500 kilometer persegi atau 4 persen dari total daratan. Semestinya Jawa sudah moratorium tambang gamping mengingat fungsi pentingnya ekosistem karst.
baca : Eksploitasi Karst Citatah, Kegiatan Merusak yang Mengundang Bencana

Di Cipatat, ada Pasir Pawon yang menjadi satu dari sekian banyak bukit yang menjadi bukti sejarah geologi tertua di Pulau Jawa. Selain itu, bentang alam lain di Cipatat yang mengandung data geologi penting adalah Gua Pawon, Pasir Masigit, Pasir Pabeasan, Pasir Hawu, Karang Penganten, Pasir Bancana, dan Pasir Manik.
Kawasan bentang alam tersebut merupakan bukti Cekungan Bandung pernah menjadi dasar sebuah laut dangkal pada 30 juta-25 juta tahun lalu. Dan pernah menjadi tempat tinggal manusia purba tertua di Nusantara.
Menurut data Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), sekitar 60 persen dari 10.000 hektar areal itu telah hancur karena penambangan. Diperkirakan ada sekitar 100 perusahaan tambang yang mengambil batu, kapur, marmer, serta mengolah tepung batu dan mengolah batu alam dengan 5.000 tenaga kerja di situ. Beberapa gunung kapur sudah digerus penambangan sejak 1970-an.
Tanpa perlu membaca statistik yang rumit, Deden yang melihat bagaimana penambangan membuat kerusakan dimana-mana. Dia cemas membayangkan jika tak ada lagi air yang berasal dari sungai bawah tanah menjadi sumber air bagi warga. Dia cemas sedianya bernasib sama dengan orang-orang yang kehilangan ruang hidup akibat kerusakan lingkungan.
Akhirnya, Deden memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat kampanye wisata sekaligus mempelopori alternatif pekerjaan bagi warga.
“Dulu konsep berpikirnya tentang bagaimana adanya partisipasi dari warga,” kata Deden saat ditemui beberapa waktu lalu.
baca juga : Pengembangan Geowisata dan Ikhtiar Penyelamatan Karst Citatah

Kemudian ia membentuk Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC) pada tahun 2010. Sebuah wadah pergerakan yang menjadi semangat kecil untuk mempertahankan ruang hidup. Embrio pergerakan itu berawal dari sekadar menikmati panjat tebing, hingga ia punya ketertarikan melestariakan karst.
Bersama kawan-kawannya, ia memimpin banyak aksi menentang penambangan. Dari gejolak konflik yang berujung ancaman hingga nihilnya partisipasi masyarakat yang kadung ketergantungan pada tambang menjadi jalan panjang yang acapkali melemahkan.
Deden pun memutar otak. Deden sempat mendirikan Rumah Alam 125. Pemuda setempat diajak beraktivitas bersama, mulai dari diskusi lingkungan hingga menjadikan karst sebagai area bermain.
“Yang penting ada kegiatan dulu. Makanya, tiap berkegiatan kami selalu menanam pohon sebagai bagian dari eksistensi,” katanya.
Deden pun melihat celah. Masuknya program kampung iklim ke desanya menjadi jalan untuk memasyarakatkan idenya. Kesempatan kian terbuka tatkala adanya program pemberdayaan masyarakat kelompok sadar wisata (pokdarwis) dari pemerintah. Aturannya, masyarakat diminta membuat kelompok khusus untuk menjaga, sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomi dari potensi wisata di sekitar Karst Citatah. Dengan harapan, Karst tetap terjaga dan warga bisa mendapatkan penghasilan.
Pokdarwis pertama muncul di kampung Girimulya, Desa Gunung Masigit. Di kampung tersebut, warga diajak mengelola stone garden atau taman batu yang dibentuk alam sejak ratusan juta tahun lalu. Selanjutnya disusul Desa Padalarang, yang memulai budidaya jambu batu yang diikuti para mantan penambang kapur.
perlu dibaca : Kekayaan Terpendam, Citatah Miliki 200 Jenis Varietas Ubi Jalar

Mesin waktu
Sekalipun kerap berada dipersimpangan jalan yang tak mudah. Masalah bertubi-tubi menghimpit sampai banyak hal tak terselesaikan: moratorium, dan penetapan kawasan bentang alam karst (KBAK).
Meski begitu, harapan harus tetap menyala, katanya. Maka, mendapatkan Kalpataru –penghargaan tertinggi dalam upaya melestarian lingkungan– dianggap sebagai “mesin waktu” bagi pemuda di FP2KC. Semacam pembuktian setelah usaha dan iman bertaut dengan nalar yang tak berkesudahan.
Tapi, kata Deden, agak muluk juga memang bila pemenang Kalpataru bekerja mengharapkan perubahan yang instan. Padahal, tugas yang dirintis hanyalah sebatas menanam, mengedukasi dan mengadvokasi. Selesai sampai di situ.
“Sehingga penghargaan itu tidak menjadi kebanggaan. Kami sadar masih minim karya dan masih belum berbuat apa-apa,” katanya. Oleh karena itu, Piala Kalpataru hanya tentang apresiasi terhadap proses yang dilakukan dengan benar. Hasil akhir dari proses adalah kolaborasi.
“Mesin waktu” itu telah mencerahkan beberapa kepala desa di sana. Mereka secara sadar menerbitkan peraturan desa khusus mengatur tentang konservasi yang dikawinkan dengan konsep geowisata.
Begitu pula dengan mata pengusaha yang terbuka. Awalnya mereka menganggap kawasan perbatuan kapur hanya dari sisi nilai ekonominya saja. Perlahan mereka mengamini karst sebagai benteng penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat
“Mantan bos tambang sudah ada ikut berpartisipasi. Kini kami saling support dalam kegiatan penghijauan,” tuturnya.
menarik dibaca : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang

Deden tak menampik, efek domino dari Kalpataru berdampak signifikan. Yang paling menggembirakan yaitu lahir paradigma baru dari masyarakat. Ekonomi dapat tumbuh tetapi tanpa merusak.
Pemerintah maupun pihak luar juga melirik usaha para pemuda di sana. Tahun ini, FP2KC mendapat bantuan dana sosial dari Astra Hijau untuk pengembangan 28 jenis buah langka dan lokal. Total pembibitan 1.665 pohon.
Kolaborasi
Cerita Deden seperti anomali ditengah terjadinya krisis kepedulian yang melanda anak muda. Ia menolak padam. Toh, setelah apa yang dikerjakan dengan kolaborasi akan lebih ringan.
Anggota KRCB, T Bachtiar, mengaku segan dengan tumbuhnya gerakan akar rumput yang diusung para pemuda kampung yang punya visi konservatif. Mereka begitu sewot dengan penambangan yang merusak. Barangkali, katanya, karena mereka menganggap kekayaan di desa adalah punya tempat tinggal dan geografi yang nyaman.
Bachtiar yang juga mempelopori lahirnya kegiatan geotrack (jalan-jalan ke situs geologi) merasa punya nafas panjang perihal upaya mempertahankan karst yang tersisa. Baginya, sejarah kebumian di Padalarang begitu berharga dan tak ada duanya di dunia. Sehingga patut untuk diperjuangkan.
Rasa nyaris sama juga bersemayam pada diri Dadeng Mulyana, pendiri komunitas Pushing Panda, penggiat olahraga luar ruang higline. Kecintaan terhadap karst, dia buktikan dengan menggelar kegiatan tahunan lewat Bandung Highline Festival yang diselenggarakan sejak 2019 lalu.
“Kami selalu membawa pesan kelestarian setiap kali bermain,” imbuh Dadeng.
menarik dibaca : Bernyali Ditengah Senjakala Tebing Kapur Rajamandala

Pada akhirnya, Deden mampu menjawab pertanyaan gawat itu dengan enteng. Dia dapat membuktikan bahwa ada banyak pilihan di Karst Citatah selain menambang. Pilihan yang mungkin jauh lebih ramah lingkungan dan lebih siap menyongsong kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan sana.
Namun, dibalik karst yang tersisa kecemasan Deden masih belum tersingkap di keningnya. Sebab, Deden selalu angkat bahu setiap ditanya apa harapan besok hari?