Mongabay.co.id

Bagaimana Mencegah Sampah Masuk ke Pesisir?

 

Hutan mangrove di kawasan pesisir selalu memberi manfaat untuk perlindungan ekosistem di sekitarnya. Selain itu, mangrove juga menjadi pelindung pesisir dari bencana alam yang terjadi di laut dan sekaligus penyerap karbondioksida (CO2).

Tidak itu saja, mangrove juga bisa memberi manfaat secara ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Misalnya, untuk difungsikan sebagai kawasan wisata pesisir ataupun untuk pusat kegiatan budi daya perikanan.

Namun, seluruh manfaat tersebut bisa menjadi kerugian jika tidak dilakukan penjagaan kawasan mangrove secara bersama. Bukan hanya menjadi tugas Pemerintah saja, pemeliharaan juga harus menjadi tanggung jawab semua pihak terkait.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengingatkan, situasi seperti itu akan menjadi bumerang jika tidak diantisipasi sejak dini. Salah satu contohnya, adalah diakibatkan sampah yang ada di kawasan mangrove.

Kehadiran sampah di area mangrove, tak hanya menyebabkan visual menjadi kotor dan berbau, namun juga bisa mengancam kelestarian ekosistam laut dan pesisir, serta potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa digerakkan dari sana.

baca : Lewat Pariwisata, Hutan Mangrove Bagek Kembar Kembali Rimbun

 

Kawasan mangrove di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jateng. Foto : KLHK

 

Di antara kawasan mangrove yang menjadi perhatian itu, ada di kawasan konservasi yang ada di Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Tanpa kepedulian bersama untuk menjaga area mangrove dari sampah, maka segala manfaat dan keindahan di sana bisa hilang seketika.

Kawasan yang bernama resmi Taman Ekowisata Mangrove Pandandasri itu, adalah kawasan yang mulanya area tambak yang sudah mengalami abrasi. Setelah dilakukan revitalisasi, kawasan tersebut kemudian berubah menjadi kawasan mangrove.

“Sekaligus itu area wisata bahari yang menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat,” jelas dia belum lama ini.

Perubahan dari area tambak menjadi kawasan mangrove tersebut, menjadi bagian upaya dari Pemerintah Indonesia untuk menangani kerusakan di kawasan pesisir. Perubahan tersebut mendorong adanya pemanfaatan yang maksimal dari kawasan mangrove tersebt.

“Banyak sekali potensi ekonomi yang berkembang. Tapi pesan saya satu, perhatikan sampah yang dibawa oleh pengunjung dan sediakan tempat sampah di setiap sisi,” tambah dia.

Perubahan fungsi tersebut, juga memberi manfaat lain karena saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah fokus untuk melakukan perluasan kawasan konservasi, termasuk menjadikan mangrove sebagai implementasi pengembangan ekonomi biru di Indonesia.

baca juga : Lestarinya Mangrove, Menghidupkan Masyarakat Pesisir Brebes 

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat mengunjungi kawasan mangrove di Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Foto : KKP

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menyebutkan kalau KKP saat ini akan terus memperkuat pengelolaan mangrove. Fokus tersebut dilakukan, karena selain punya pengaruh besar dalam mitigasi perubahan iklim, kawasan mangrove juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Agar pengelolaan dan penjagaan mangrove bisa semakin maksimal, upaya memberikan edukasi kepada masyarakat juga terus dilakukan. Keterlibatan mereka diharapkan bisa ikut membantu perawatan mangrove menjadi lebih baik dan sekaligus menjaga ekosistem laut dan pesisir.

Menurut dia, agar mangrove bisa berkontribusi dalam menjaga kesehatan laut dan ekologinya, maka yang harus diperhatikan adalah kebersihan kawasan mangrove. Untuk melakukan itu, diperlukan komitmen dari semua pihak dalam menangani persoalan sampah secara bersama.

Dengan kemampuan sangat besar untuk menyerap karbon hingga lima kali lebih banyak dari tanaman yang ada di daratan, mangrove menjadi ekosistem sangat penting di pesisir. Untuk itu, Pemerintah fokus untuk terus melaksanakan rehabilitasi kawasan mangrove melalui banyak program dan instansi.

KKP misalnya, dalam dua tahun terakhir ini sudah melakukan rehabilitasi kawasan mangrove melalui mekanisme Padat Karya Penanaman Mangrove dengan luas mencapai 138,92 hektare dengan jumlah bibit yang ditanam sebanyak 777.800 batang.

Selain upaya rehabilitasi melalui penanaman, KKP juga melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan produk olahan turunan mangrove. Melalui pemberdayaan, masyarakat diberikan pelatihan agar bisa mengolah produk turunan mangrove dalam bentuk lain seperti pewarna batik dan makanan ringan.

baca juga : Hutan Mangrove Nasional Berubah Semakin Luas

 

Anggota Womangrove di Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan secara aktif melakukan penanaman dan sosialisasi terkait pentingnya menjaga mangrove secara ekologi dan ekonomi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Persoalan sampah sendiri menjadi masalah serius bagi Pemerintah Indonesia. Berbagai upaya untuk menanganinya sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, sampai sekarang persoalan sampah masih terus menjadi persoalan yang sulit dipecahkan.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menyebut kalau persoalan sampah adalah persoalan bersama yang harus bisa dipecahkan secara bersama.

Menurut dia, persoalan sampah harus bisa dipecahkan melalui keterlibatan banyak pemangku kepentingan. Selain Pemerintah Indonesia, pengelolaan sampah juga harus melibatkan para pihak lain yang berkepentingan.

Salah satu contohnya, adalah kegiatan #GILAsSAMPAH yang sudah mulai berjalan saat ini. Aksi tersebut adalah Gerakan Inovasi Langsung Aksi Tuntaskan Sampah yang diluncurkan pada Indonesia International Waste Expo (IIWAS) di Bali, April 2022.

Nani Hendiarti mengatakan, pengelolaan sampah dengan melibatkan banyak pihak sudah terjadi di banyak tempat dan kota. Bahkan, pengelolaan bersama tersebut juga sudah memunculkan kisah sukses yang bisa ditiru di tempat lain.

“Dari penerapan kebijakan pelarangan plastik sekali pakai, aksi penanganan sampah dekat dengan sumber, beach clean up, sampai dengan penerapan teknologi pengolahan sampah seperti refuse derived fuel (RDF), dan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL),” terang dia belum lama ini.

Kesuksesan yang sudah berjalan tersebut, diharapkan bisa diterapkan oleh daerah lain. Dengan demikian, persoalan sampah yang sulit untuk dipecahkan, jika melibatkan kolaborasi para pihak, pasti akan menjadi hal yang lebih mudah untuk dilakukan.

“Kolaborasi para pihak menjadi penting, karena sampah merupakan masalah bersama,” tambah dia.

baca juga : Mencari Cara Terbaik untuk Menghentikan Sampah di Laut

 

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi

Agar pengelolaan sampah bersama bisa menjadi langkah nyata, Nani Hendiarti mengingatkan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus bisa mengeluarkan kebijakan penanganan sampah dari hulu ke hilir.

Dia menyebut, saat ini menjadi momen yang tepat bagi Pemerintah untuk bisa bergandengan tangan dengan masyarakat dan para pihak terkait lainnya dalam melaksanakan penanganan persoalan sampah. Namun, perlu didorong untuk bisa meningkatkan kesadaran masyarakat menjadi lebih baik lagi.

Diketahui, aksi #GILAsSAMPAH merupakan bentuk dari upaya meningkatnya pemahaman dan kepedulian para pemangku kepentingan tentang masalah persampahan, dan diharapkan dapat terus digalakkan di daerah lainnya di Indonesia.

Sebelumnya, Nani Hendiarti juga sudah pernah menyebut kalau pencemaran plastik di laut menjadi permasalahan lintas batas. Persoalan tersebut harus mendapat penanganan secara komprehensif oleh berbagai pihak, bahkan lintas sektoral.

Dalam melaksanakan penanganan, yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana melakukannya dengan pendekatan terpadu. Cara tersebut harus dilakukan, karena masalah sebenarnya dimulai bukan di laut, tetapi lebih jauh ke hulu.

Contohnya, adalah bagaimana industri memproduksi dan mendistribusikan produk plastik, bagaimana pengecer menggunakan plastik pada pembungkus kemasannya, dan bagaimana konsumen menangani sampah plastik yang dihasilkannya.

“Ini adalah cerita panjang dari plastik. Itulah mengapa kita perlu mengatasi masalah ini melalui pendekatan terpadu,” ungkap dia.

baca juga : Hari Bumi 2022: Kolaborasi Berbagai Pihak Mengurangi Sampah Plastik

 

Tumpukan sampah diantara kapal nelayan di sepanjang pantai Satelit, kecamatan Muncar, Banyuwangi, pada akhir Juni 2019. Selain di pantai, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Nani Hendiarti memaparkan, pengelolaan sampah plastik yang tidak tepat di wilayah darat akan menyebabkan dampak berupa pencemaran limbah plastik di laut. Kondisi itu akan sangat mengancam kehidupan spesies laut, pariwisata, industri perikanan, dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Tanpa ragu, dia menyebut kalau dari berbagai penelitian ilmiah yang sudah dilakukan hingga saat ini, lebih dari 80 persen sampah yang ada di laut itu adalah berasal dari daratan. Atau, setidaknya karena sampah tersebut bocor dari daratan.

Berdasarkan data yang ada saat ini, dia menyebutkan kalau Indonesia masih memiliki 65 persen sampah kota yang belum dikelola dengan baik. Produksi sampah tersebut, kemudian ada yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), dikubur, dan dibakar dengan liar.

“Serta sekitar sepuluh persen sampah plastik akhirnya berakhir di lingkungan,” tutur dia.

Untuk bisa melakukan penanganan sampah yang efektif di laut, Nani Hendiarti mengatakan bahwa perlu ada langkah dan terobosan yang tidak biasa dengan menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Kemudian, penanganan pencemaran plastik di laut harus dilakukan secara terpadu dan kolaboratif.

Dengan kata lain, diperlukan kebijakan terobosan dari perspektif ekonomi dan keuangan untuk dapat mengatasi masalah ini secara tuntas. Mekanisme kerja sama internasional dan keterlibatan produsen plastik, dinilai sangat diperlukan untuk mengatasi masalah dan dampak pencemaran plastik laut.

baca juga : Menteri Kelautan Bersihkan Sampah di Pantai Nongsa Batam. Ada Apa?

 

Sampah yang dibuang warga relatif beragam, diantaranya seperti sampah plastik, styrofoam, sampah rumah tangga hingga kasur tidur yang sudah rusak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan keuangan, dia memaparkan data terbaru hasil penelitian National Plastic Action Partnership (NPAP), kemitraan yang menjadi jembatan penghubung antara Pemerintah dengan masyarakat umum, khususnya sektor swasta.

Data dari NPAP tersebut, diketahui kalau total investasi yang dibutuhkan oleh Indonesia pada periode 2017 hingga 2040 besarnya mencapai USD18 miliar. Angka tersebut untuk menjadi modal mengatasi tantangan dalam beralih dari business-as-usual ke skenario perubahan sistem untuk pengelolaan dan daur ulang sampah yang efektif.

Menurut Nani, angka tersebut didasarkan pada kebutuhan investasi modal sebesar USD5,1 miliar dari 2017 hingga 2025 untuk pengelolaan sampah, termasuk untuk non-plastik, dan tambahan USD13,3 miliar dari 2025 hingga 2040.

Di luar itu, Indonesia juga memerlukan tambahan pembiayaan operasional sekitar USD1 miliar per tahun untuk sistem pengelolaan limbah padat pada 2040. Investasi tersebut berpotensi menghasilkan pendapatan hingga USD10 miliar per tahun pada 2040.

Estimasi potensi tersebut berasal dari peningkatan penjualan plastik daur ulang, substitusi material, dan model bisnis baru menuju ekonomi sirkular dalam rantai nilai plastik. Semua potensi tersebut harus dipikirkan dengan matang agar bisa memberikan manfaat di masa mendatang.

Dia menyadari kalau Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih tersita perhatian untuk masalah teknis penanganan sampah di laut. Namun, yang sebenarnya harus juga diperhatikan, adalah bagaimana masalah keuangan berkelanjutan bisa ada jalan keluar terbaik.

“Oleh karena itu, Pemerintah perlu memikirkan konsep blended finance untuk pengelolaan sampah, dengan mempertimbangkan peran multistakeholder dengan kapasitasnya masing-masing,” pungkas dia.

 

Seorang petugas sedang memilah sampah di TPA Temesi, Gianyar, Bali. TPA Temesi penuh karena salah satunya warga setempat belum memilah sampah dari sumbernya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Terpisah, Direktur Yayasan Filantropi Indonesia Gusman Yahya menjelaskan bahwa pengurangan sampah, utamanya sampah plastik, sudah dilakukan melalui berbagai upaya dan solusi secara berkala.

Namun, keefektifan pengurangan sampah plastik masih dinilai kurang jika tanpa sinergi antara intervensi hulu dan hilir. Ketergantungan penggunaan plastik dalam keseharian masyarakat menjadikan potensi polusi plastik sekali pakai meninggi dari tahun ke tahun.

“Dan memberikan dampak serius kepada lingkungan hingga memicu terjadinya perubahan iklim yang ekstrem,” ucap dia.

Dia kemudian melansir laporan dari The Pew Charitable Trusts dan SYSTEMIQ berjudul “Menghentikan Gelombang Plastik” yang menyebutkan bahwa sampah plastik yang salah kelola akan bertambah jumlahnya menjadi 239 juta ton pada 2040.

Ancaman itu akan terjadi, jika skenario bisnis seperti biasa (business-as-usual/BAU) masih dijalankan. Oleh karena itu, peran hulu dan hilir sangat diperlukan dengan melibatkan intervensi sistem dalam inovasi pengurangan sampah plastik.

Adapun, hulu yang dimaksud adalah pra-konsumen, seperti pengurangan/penggantian plastik dalam produksi dan desain ulang produk. Sementara, hilirnya adalah pasca konsumen, seperti proses daur ulang dan pengelolaan bekas pakai.

 

Exit mobile version