Mongabay.co.id

Kala Ruang Hidup Warga Maluku Utara Makin Terdesak Industri Ekstraktif

 

 

 

 

“Halmahera bukan untuk tambang dan sawit.” “Wujudkan wilayah kelola rakyat pulau-pulau kecil.” “Selamatkan hutan pesisir Maluku Utara. ” “Halmahera juga di bumi, stop ditambang.”

Begitu antara lain bunyi poster di kertas kartun yang dibentangkan para aktivis Walhi Maluku Utara di Taman Kota Landmark, Kota Ternate, Maluku Utara, Jumat lalu. Aksi di Hari Bumi itu menyuarakan kepedulian dan keresahan terhadap eksploitasi bumi dan isinya yang begitu massif.

Mereka bikin karnaval mengelilingi miniatur bola bumi, diikuti aksi sejumlah aktivis lingkungan dengan pakaian alat pelindung diri (APD) pemadam kebakaran, dan alat pelindung diri dari COVID-19. Beberapa perempuan pakai kebaya khas petani sembari menenteng bakul atau saloi dan sosiru—dua simbol identitas lokal warga Malut.

Miniatur bola bumi yang penuh bercak dan belang bergelinding kesana kemari, merupakan gambaran kondisi bumi yang alami kerusakan parah. Dalam konteks di Malut, bumi dirusak bisnis ekstraksi pertambangan, perkebunan sawit, perkebunan kayu, dan perusahaan perusak bumi lain.

Sisi lain, juga menggambarkan perampasan ruang hidup dan wilayah kelola rakyat secara tradisional. Juga pulau-pulau kecil nyaris tenggelam diterpa industri ekstraktif.

Aksi diam dalam kampanye urban ini bertajuk “Oligarki Merusak Bumi” dengan mengangkat konsep besar: krisis iklim dan perampasan ruang hidup atau wilayah kelola rakyat.

Mereka juga membacakan Maklumat “Pulihkan Maluku Utara Pulihkan Indonesia” sebagai seruan kepada seluruh rakyat untuk gunakan hak konstitusi memperkuat simpul perjuangan rakyat mempertahankan wilayah kelola rakyat dari perampasan.

Wahida A. Abd Rahim, Manajer Kampanye Walhi Malut, mengatakan, warga yang tinggal dan menetap di pesisir dan pulau-pulau di Malut mayoritas petani dan nelayan.

Mereka sangat tergantung pada alam sebagai sumber kehidupan. Ironisnya, kata Wahida, pemerintah justru jadikan kepulauan rempah-rempah ini sebagai dapur oligarki yang bertumpu pada ekstraksi perusak bumi.

Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan alam yang begitu eksploitatif, katanya, jadi penyebab utama hak kesejahteraan warga dan keberlanjutan ruang hidup bagi generasi bumi kedepan, terabaikan.

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

Tambang di Malut yang mengupas hutan jadi seperti ini Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Skala konflik sumber daya alam akan meningkat dan lebih jauh berdampak pada alam, dan rawan bencana ekologis.

“Ironisnya, Maluku Utara, kini jadi dapur bagi oligarki perusak bumi, apalagi saat ini arah Kompas negara ditujukan ke negeri para raja dengan proyek strategis nasional 2020-2024 lebih ke aktivitas investasi,” kata Wahida, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Mongabay.

Dalam sejarah pertambangan, katanya, tak ada investasi ekstraktif tak merusak.

Dia sebutkan beberapa bisnis ekstraktif di Malut, seperti tambang nikel dan pabrik pemprosesan, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda, Halmahera Tengah dan Pulau Obi. Keduanya jadi kawasan industri masuk dalam proyek strategis pemerintah.

Dari data Walhi Malut, setidaknya ada 127 izin usaha pertambangan (IUP) yang mengepung Malut. Besaran izin tambang ini tentu akan berdampak secara ekologis maupun ekonomi warga.

Ada juga perkebunan monokultur sawit PT Gelora Mandiri Membangun (GMM) yang berada di daratan Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, di bawah anak perusahaan Korindo Group,.

“Tentu dampak yang dirasakan warga amat besar. Mulai dari berkurangnya asupan aliran sungai, serangan hama terhadap tanaman warga, banjir, laut tercemar limbah perusahaan dan lain-lain. Warga makin kehilangan ruang hidup mereka karena kepentingan korporat,” kata Wahida.

 

 

Deforestasi

Perkumpulan Pakativa Malut menyatakan, setidaknya ada tiga tren yang mendorong degradasi ekologi di Malut, pertama, deforestasi dan permasalahan tata batas, kedua, penurunan sektor produktivitas masyarakat kampung dan ketahanan pangan. Ketiga, pemberian izin kepada industri ekstraktif.

“Bila melihat tren lima tahun terakhir, saat ini kecenderungan deforestasi bergeser ke timur Indonesia,” kata Nursyahid Musa, Direktur Perkumpulan Pakativa Malut.

Dia mengatakan, perubahan tutupan hutan sangat dipengaruhi keputusan politik maupun pertumbuhan ekonomi negara. Kondisi ini juga mendorong penerbitan berbagai kebijakan pemerintah dalam alokasi pemberiaan izin usaha industri ekstraktif terutama di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bias pembangunan daratan besar ini, katanya, dapat terlacak dari marak pemberian ‘izin polusi’ di atas punggung tanjung-tanjung Pulau Halmahera, Kepulauan Obi, Kepulauan Sula, dan Taliabu, yang berakibat pada deforestasi.

 

 

 

Dari olah data Perkumpulan Pakativa mengindikasikan, praktik buruk HPH di Malut yang merupakan satu aktor yang berkontribusi pada laju bukaan hutan alam. Aktivitas pembersihan lahan (land clearing) selalu jadi pemicu konflik dalam konteks penyelesaian tata batas dan hak tenurial masyarakat di sekitar dan dalam hutan.

Deforestasi di dalam konsesi pertambangan dan perkebunan monokultur (sawit) juga jadi penyumbang terbesar penggundulan hutan di jazirah rempah-rempah ini melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang lalai penilaian daya dukung lingkungan dan karakter topografi kewilayahan.

Ketiga isu itu, kata Nursyahid, berangkat dari isu besar antara lain, krisis energi, krisis pangan yang terintegrasi dengan problem penguasaan tanah, dan krisis iklim yang ‘terakselerasi’ oleh berbagai aktor dan faktor yang disebutkan sebelumnya.

“Pengambilan keputusan di level pengambil kebijakan nasional lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada industrialisasi energi kotor dengan mengorbankan banyak hal, terlebih lingkungan hidup.” kata Nursyahid.

Indikatornya, dapat terlihat dari laporan Bappeda Malut per 2022 bagaimana signifikansi tren perubahan struktur ekonomi daerah. Di mana peran sektor primer pertanian dan kelautan perikanan bergeser ke industri pengolahan, pertambangan serta penggalian yang diklaim sebagai kontributor terbesar ekonomi daerah.

“Itulah yang mengindikasikan ada masalah dalam konteks pengelolaan.”

Di Malut, dari laporan Perkumpulan Pakativa, alokasi ruang pemukiman untuk nelayan hanya 168,50 hektar, sebagaimana tercatat dalam RZWP3K Malut. Luasan ini tak sebanding dengan jumlah nelayan di Malut sekitar 26.000 jiwa.

Menurut Nursyahid, upaya-upaya perlindungan kawasan pun telah dicanangkan melalui beberapa regulasi seperti surat keputusan penetapan kawasan konservasi perairan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Juga Peraturan Daerah Maluku Utara Nomor 2/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2018–2038.

Peraturan ini mengalokasikan sekitar 1,1 juta hektar untuk kawasan konservasi baik kawasan konservasi perairan maupun kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K) Malut.

“Mirisnyam sampai memasuki 2022 pengelolaan belum berjalan. Salah satu penyebabnya, koordinasi di level pengambil kebijakan sendiri.”

Sedang tren deforestasi di Malut bisa terlihat dari data statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2013-2020. Angka deforestasi 2015-2016 total 25.792,2 hektar. Sejak itu, mulai menurun, pada 2020 deforestasi Malut 1.609,8 hektar.

 

Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup

Aksi Walhi Malut di Hari Bumi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman pulau-pulau kecil dan ketahanan pangan

Malut masuk daerah rentan alami dampak krisis iklim seperti ancaman pulau-pulau kecil hilang. Contoh, Pulau Pagama di Mangoli, Kabupaten Sula, tenggelam atau Pulau Tulang di Halmahera Utara, mulai terkikis.

Bisa juga, katanya, melihat bagaimana pulau-pulau kecil secara ekologis bangkrut dari kerukan industri ekstraktif seperti Pulau Pakal, Mabuli, Gee di Halmahera Timur. Juga, Pulau Gebe di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan.

Selain bencana ekologis, tanah dan sumber-sumber kehidupan warga pun makin tergerus. Kondisi ini, katanya, berdampak signifikan terhadap kerentanan pangan warga sebagai dampak penurunan pola produksi secara subsistensi.

“Mirisnya, sebagian dari hal itu berbeda dalam apa yang ditetapkan sebagai kawasan-kawasan industri prioritas nasional,” kata Nursyahid.

Sisi lain, pemerintah daerah tengah alami masalah kendali kewenangan dengan kehadiran UU Cipta Kerja. Regulasi ini, seluruh perizinan dan persetujuan investasi beralih ke pemerintah pusat.

“Secara otomatis akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi publik, dan keadilan terhadap persetujuan pengendalian dan pengelolaan limbah pabrikasi berpotensi makin sulit juga.”

Baik Walhi Malut maupun Perkumpulan Pakativa sependapat, soal perlu upaya bersama merancang strategi mitigasi dan adaptasi baik daratan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Pengelolaannya, mesti mempertimbangkan asas pemanfaatan ruang kelola rakyat termasuk nelayan tradisional.

Warga di pedesaan, katanya, sudah memiliki dasar pengelolaan berkelanjutan. Konsepnya, dengan pendekatan strategi mitigasi adaptasi perubahan iklim. Terpenting, katanya, mereka terakomodir dalam program-program pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan pemerintah daerah.

Upaya-upaya semacam itu, katanya, mesti didorong paling tindak untuk meminimalisir dampak dari praktik industrialisasi pertambangan dan pabrik pemprosesan yang banyak di sekitar konsesi seperti di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Obi.

Perkumpulan Pakativa berpandangan, strategi mitigasi dan adaptasi tidak hanya untuk menjawab masalah pengendalian emisi dan polusi juga resiliensi pangan.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Aksi Walhi Malut di Hari Bumi. Mereka menyuarakan soal ruang hidup warga makin terdesak dengan kehadiran industri ekstraktif. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

*********

 

 

Exit mobile version