Mongabay.co.id

Lempah Darat, Kuliner Khas Bangka Belitung yang Mulai Hilang

 

 

Sudah ratusan tahun “lempah darat” menjadi makanan khas masyarakat Melayu di Kepulauan Bangka Belitung. Tapi, masakan ini belum diketahui asal mulanya. Apakah penambangan timah memengaruhi keberadaannya?

Haji Sarnubi, budayawan Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan belum ada bukti sejarah terkait asal mula kuliner ini.

“Hanya, kalau kita melihat dari nama lempah darat, dapat diidentifikasi masakan ini lahir sejak hadirnya orang-orang darat dan orang-orang laut di masa lalu,” kata Sarnubi yang merupakan Ketua LAM [Lembaga Adat Melayu] Bangka, Minggu [06/03/2022].

Lempah darat diambil dari dua kata, yakni kata lempah dan kata darat.

“Setiap masakan yang berair atau berkuah itu dikatakan lempah. Sementara kata darat dikaitkan orang-orang yang menetap di daratan sebagai pelaku [masak] lempah. Meskipun pada masa itu yang memasak lempah darat juga orang-orang yang menetap di pesisir atau laut.”

Di masa lalu, jelas Sarnubi, masyarakat pribumi Bangka di Pulau Bangka terbagi dua kelompok, yakni orang-orang darat [land base culture] dan orang-orang laut [sea dwiler].

“Orang darat itu mereka yang berladang atau berume [berkebun], beraktivitas dan beranak-pinak di darat. Sementara, orang laut hidup di laut, pulau-pulau kecil, dan pesisir pantai.”

 

Masakan lempah darat jantung pisang yang sudah saji. Foto: Lili Liana/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Kamus Bahasa Melayu Bangka yang dikeluarkan Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung, lempah darat diartikan sebagai masakan berkuah khas Bangka. Bahan utamanya pepaya setengah matang ditambah daun katuk muda [sauropus androgynus] atau umbut nanas [ananas comosus], dibumbuhi cabai rawit [capsicum frutescens], terasi, dan garam.

Dijelaskan Sarnubi, lempah darat merupakan masakan tertua di Kepulauan Bangka Belitung. Masakan lainnya, seperti lempah kuning, lempah bekelapo atau lempah kelia [ditambahi santan kelapa], merupakan turunan dari lempah darat.

“Jadi, lempah-lempah yang ada berakar dari lempah darat, yakni lempah bumbu tiga [terasi, garam, dan cabai rawit]. Kemudian ada tambahan bumbu dan bahan masakan, seperti lempah kuning bahan utamanya daging, seperti daging sapi, kambing, ayam, atau ikan yang ditambahi kunyit [curcuma longa] sebagai bumbu. Lempah bekelapo, bisa dengan bahan daging atau tumbuh-tumbuhan ditambahkan santan dan sebagainya,” ujarnya.

 

Garam, cabai dan belacan yang disebut bumbu tiga lempah darat. Foto: Lili Liana/Mongabay Indonesia

 

Bumbu tiga

Akhmad Elvian, budayawan Kepulauan Bangka Belitung, dalam bukunya “Makanan Khas Pangkalpinang” [2011, Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Pangkalpinang], menjelaskan lempah bumbu tiga nama merupakan nama lain lempah darat.

Dituliskan, makanan khas ini paling praktis dari sisi bahan maupun bumbu. Hanya belacan [terasi], garam, dan cabai rawit.

“Penyebutan lempah darat untuk membedakan makanan yang menggunakan bahan-bahan dari hasil laut dan darat,” kata Akhmad Elvian, Selasa [08/03/2022].

Bahan yang biasa digunakan masyarakat Bangka untuk membuat lempah darat, antara lain sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Sebut saja nanas muda, kacang panjang, labu kuning, pisang raja, jantung pisang, terong, mentimun, pelepah dan buah keladi, umbut kelapa, nangka muda, dan pepaya.

Juga sering ditambahkan rampai atau timbal. Rampai dalam konteks sebagai campuran lempah darat.

“Berupa ikan asin, ikan panggang, ikan salai atau ikan yang sudah diasap, juga udang kering,” jelasnya.

Jantung pisang merupakan bahan yang sering digunakan masyarakat untuk pembuatan lempah darat, karena aroma dan rasanya yang khas. Jenis jantung yang digunakan adalah pisang raja, pisang kepok, pisang susu, pisang susu merah, dan pisang rejang.

Jantung pisang memiliki nutrisi penting, seperti kalium, Vitamin A, Vitamin C, Vitamin E, mineral, asam lemak, asam amino esensial dan non-esensial yang diperlukan tubuh. Selain itu, jantung pisang mengandung antioksidan, seperti polifenol, flavonoid, dan antosianin.

Dokter Ayub, dokter [umum] di Rumah Sakit Pratama, Kabupaten Bangka Tengah, menjelaskan jantung pisang yang digunakan masyarakat untuk masakan lempah darat mempunyai manfaat dari sisi kesehatan.

“Misalnya, seratnya baik untuk sistem pencernaan, seperti magh, sembelit, dan wasir.”

Selain itu, jantung pisang berkhasiat membantu mengontrol kadar gula darah.

“Makanan yang memiliki indeks glikemik rendah itu jantung pisang, sehingga tidak akan meningkatkan gula darah dalam tubuh saat dimakan,” jelasnya, Sabtu [02/04/2022].

 

Kondi lahan penambangan rakyat. Foto: Muhammad Rozani/Mongabay Indonesia

 

Tambang timah

Maraknya aktivitas penambangan timah, khususnya penambangan ilegal, setelah era Reformasi 1998 atau setelah terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebabkan lingkungan di provinsi dengan 950 pulau ini rusak.

Data BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2017 menunjukkan, luas wilayah daratan Bangka Belitung sebesar1.642.406 hektar, sekitar 30 persen merupakan area izin usaha penambangan [IUP] timah. Artinya, sekitar 492.721,8 hektar merupakan wilayah penambangan timah.

Artikel berjudul “Reklamasi Lahan Bekas Tambang Timah Sebagai Lahan Pertanian di Kepulauan Bangka Belitung” oleh Asmarhansyah dan Rahmat Hasan [2018], menuliskan luas seluruh IUP timah di daratan yang diterbitkan pemerintah dan dimiliki perseroan. Luasnya,  327.524 hektar, sedangkan luas IUP timah di laut 183.837 hektar [PT. Timah, 2015].

Dijelaskan dalam artikel tersebut, selain perusahaan tambang timah, operator lain kegiatan penambangan timah adalah tambang inkonvensional [TI]. Kegiatan ini semakin menggeliat sejak era reformasi karena timah dinyatakan sebagai barang bebas dan tidak diawasi.

Sejak saat itu, tidak hanya lonjakan jumlah petambang TI, ada juga tambang TI di wilayah-wilayah IUP perusahaan, yang beroperasi tanpa persetujuan perusahaan.

Diperkirakan, lebih dari 10.000 konvensional [artisanal] tambang di Kepulauan Bangka Belitung, yang melibatkan lebih dari 50.000 orang. Jumlah ini jauh lebih besar dari tambang skala kecil [TSK] yang dioperasikan penduduk setempat sebagai perusahaan mitra bisnis. Tahun 2010, berjumlah sekitar 3.600 kelompok, yang melibatkan sekitar 17.000 orang [PT. Timah, 2011].

 

Kondisi lahan yang ditambang, menjadi rusak dan menyebabkan tumbuhan yang ada di sekitar mati. Foto: Muhammad Rozani/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kebun di Desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka oleh Nur Habibah dari Universitas Bangka Belitung, jumlah lahan kritis di Bangka Belitung sebesar 642.699,59 hektar. Sebesar 204.808,68 hektar berada di Kabupaten Bangka.

Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan dalam artikelnya berjudul “Analisis Sebaran Kegiatan Pertambangan Timah Menggunakan Sistem Informasi Geografi di Daerah Bangka, Provinsi Bangka Belitung” yang diterbitkan Jurnal Teknologi Vol. I, Edisi 13, Periode Juli-Desember 2008, menyebutkan terdapat 1.021 kolong bekas galian timah di Kepulauan Bangka Belitung.

Sebarannya di Kabupaten Bangka [413 kolong], Bangka Selatan [124 kolong], Bangka Tengah [208 kolong], Bangka Barat [244 kolong], dan Pangkalpinang [32 kolong]. Jumlah tersebut sudah termasuk jumlah kolong tambang ilegal warga dan juga tambang milik PT. Timah Tbk.

Tahun 2015, berdasarkan informasi dari https://bappeda.babelprov.go.id/melalui artikel “Pemulihan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah”, jumlah kolong yang tersebar disebutkan sebanyak 192 kolong.

Mengutip Mongabay Indonesia, Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan akibat penambangan timah, Kepulauan Bangka Belitung kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam waktu 10 tahun terakhir.

 

Sejumlah lubang tambang masih bertebaran di Bangka Belitung. Foto: Muhammad Rozani/Mongabay Indonesia

 

Hilangnya bahan lempah darat

Akhmad Elvian berpendapat, rusaknya ekosistem lingkungan [hutan dan kebun] akibat penambangan timah, khususnya penambang ilegal, berpengaruh pada ketersediaan bahan masakan lempah darat. Misalnya pucuk idat, daun belinjo, daun salam, daun melak, asam kandis, asam kelabang, terong asam, dan sebagainya, selama ini banyak tumbuh di hutan dan kebun.

“Penting adanya pelestarian sumber atau bahan yang biasa digunakan untuk lempah darat,” katanya.

Sulitnya mendapatkan bahan masakan lempah darat, dibenarkan sejumlah warga yang menetap di wilayah yang marak penambangan timah ilegal.

“Banyak hutan dan kebun ditambang. Jika terus terjadi, bukan tidak mungkin anak cucu kita akan sulit mengonsumsi lempah darat,” kata Susilawati [47], Warga Desa Parit III, Kecamatan Jebus, Kabupaten Barat, Minggu [03/04/2022].

“Kami berharap ada upaya pemerintah daerah untuk mengurangi atau membatasi aktivitas penambangan timah yang merusak hutan dan kebun,” kata Susilawati.

“Kalau bahan utama lempah darat tidak begitu sulit, tapi bahan untuk rampainya yang susah didapat, seperti pucuk idat, daun belinjo, daun salam, atau asam kandis,” kata Rusmiati [66], juga warga Desa Parit III, Minggu [03/04/2022].

 

Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung kaya rempah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Amri Cahyadi, Wakil Ketua DPRD Kepulauan Bangka Belitung, juga mencemaskan hilangnya bahan masakan lempah darat akibat penambangan timah. Khususnya penambangan timah ilegal di lahan yang sebelumnya kebun atau hutan.

“Kita tidak ingin identitas kita hilang akibat ulah tangan manusia. Sinergi pemerintah daerah dengan warga serta lembaga adat sangat dibutuhkan. Pemerintahan mengatur jalannya aktivitas tambang, sehingga warga yang menambang harus mengetahui dan memperhatikan unsur kearifan lokal, sementara lembaga adat sebagai mitra ikut mengawasi,” kata Amri.

“Perlu ketegasan pemerintah daerah terkait maraknya aktivitas tambang di luar zona tambang. Mengapa? Sebab, aktivitas tambang [ilegal] dinilai lebih merusak daripada yang legal [yang memiliki izin wilayah tambang],” kata Sarnubi.

Dikatakan Sarnubi, dulu masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung hidup berdampingan atau menyatu dengan alam. Semua yang kita butuhkan sudah disediakan alam.

“Jangan sampai alam terganggu sehingga lahir bencana,” jelasnya.

 

* Muhammad Rozani, Lili Liana, dan Lasmi Hartati, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

Exit mobile version