Mongabay.co.id

Muhammad Al Amin: dari Tambang Pasir Laut hingga Krisis Ekologi di Sulsel

 

Bicaranya kadang pelan dan lembut, namun kadang berapi-api, baik di forum maupun di lapangan ketika sedang diskusi atau aksi demonstrasi. Tak peduli siapa yang dihadapi, ia akan secara lugas menyampaikan unek-uneknya atas kondisi yang terjadi.

Begitulah gambaran sosok Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan periode 2018-2022. Ia memimpin Walhi Sulsel ketika masih berusia 31 tahun. Sebelumnya ia banyak terlibat dalam advokasi di Walhi Sulsel dan sejumlah organisasi advokasi lainnya.

Amin mendapat banyak sorotan ketika kasus tambang pasir laut di pesisir Makassar 2020-2021, terkait penambangan pasir di perairan Spermonde yang melibatkan masyarakat Pulau Kodingareng Makassar. Kasus yang kemudian menjadi sorotan nasional karena adanya indikasi praktik KKN dan praktik perdagangan tidak sehat yang dilakukan oleh Gubernur Sulsel ketika itu, Nurdin Abdullah, yang kemudian ditangkap KPK untuk kasus lain.

Pria kelahiran 17 Juli 1987 mulai terlibat di kegiatan lingkungan sejak masih berstatus mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar, tepatnya pada tahun 2007.

“Saya ketika itu ingin mencari tantangan, ingin berbuat bermanfaat bagi lingkungan, ingin punya banyak relasi. Saya kemudian memutuskan datang ke kantor Walhi Sulsel dan mulai belajar terkait soal lingkungan hidup hingga kemudian diminta mendampingi masyarakat yang sedang berkonflik,” katanya kepada Mongabay, Senin (18/4/2022).

baca : Sulsel Menuju Keruntuhan, WALHI Luncurkan Aplikasi ‘Pantau Sulsel’

 

Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulsel periode 2018-2022, dalam kiprahnya kerap mendapat ancaman secara fisik dan verbal. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di tahun 2010 ia mencoba tantangan lain dengan ikut terlibat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memperkuat departemen keorganisasian. Tahun 2011 ia bergabung di Anti Corruption Committee (ACC), lembaga anti korupsi yang kelahirannya dibidani Abraham Samad.

Pada tahun 2014, ia kembali bergabung di Walhi Sulsel yang saat itu sedang memperkuat internalnya terkait transformasi lingkungan di bawah kepemimpinan Asmar Exwar.

Selama berkiprah di Walhi Sulsel, Amin beberapa kali ditugaskan mewakili Walhi Sulsel di sejumlah forum internasional. Di antaranya menghadiri annual meeting World Bank di Washington DC tahun 2016, dimana ia berperan sebagai perwakilan masyarakat untuk menyampaikan dampak proyek World Bank di Sulsel.

Setahun berikutnya, 2017 ia menghadiri seminar lingkungan yang menyoroti tanggung jawab World Bank atas kerusakan lingkungan di daerah area utangnya, yang dilaksanakan di Bangkok, Thailand. Di tahun yang sama mengikuti annual meeting Asian Development Bank (ADB) di Filipina terkait dampak proyek ADB di Indonesia.

Pada tahun 2019, ia mewakili masyarakat Galesong Takalar berangkat ke Amsterdam Belanda dalam rangka memasukkan komplain resmi ke salah satu lembaga finansial yang terlibat dalam pendanaan proyek tambang pasir laut di Takalar.

Setelah beberapa tahun berkiprah di Walhi Sulsel, pada Mei 2018, melalui Pertemuan Lingkungan Hidup ke-8, Ia terpilih sebagai direktur eksekutif Walhi Sulsel yang baru, menggantikan Asmar Exwar.

baca juga : WALHI Sulsel Minta Tambang Nikel Dihentikan. Ada Apa?

 

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar pada Juli 2017. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tambang Pasir Laut Makassar

Di antara sejumlah kasus yang ditanganinya, kasus yang paling berkesan dan menyita energi adalah kasus tambang pasir laut di Makassar, 2020-2021.

“Semuanya mengerikan, tekanannya kuat, ancamannya tinggi, ancaman keselamatan sangat tinggi dan godaannya juga besar,” katanya.

Ancaman tidak hanya ditujukan kepada dirinya, tetapi juga ke keluarga, melalui teror telepon.

“Ada ancaman bahwa istri akan dieksekusi, ada ancaman melalui telepon, mohon bekerja sama dengan negara, kooperatif dengan pemerintah dan tidak mengganggu tambang pasir untuk MNP. Lalu ada 5 orang menelepon membujuk saya bertemu perusahaan dan menerima tawaran perusahaan yang nilainya fantastis mencapai 1 miliar.”

Intimidasi juga dirasakan ketika foto-fotonya dipajang di banyak spanduk yang ditempatkan di sekitar pulau dan dermaga yang isinya bersisi seruan agar tidak percaya kepada Walhi karena menjadi biang kerusuhan di Kodingareng.

“Tujuannya tentu saja untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada Walhi.”

Ancaman kemudian tidak hanya ditujukan kepada dirinya, tetapi kepada pendamping dan relawan Walhi di lapangan. Intimidasi secara tidak langsung juga ditunjukkan oleh pihak kepolisian.

“Memang tidak ada intimidasi langsung polisi, namun keberadaan mereka menyisir rumah-rumah dan lorong-lorong pulau sebuah bentuk intimidasi, mencari nelayan dan para aktivis yang mendampingi nelayan.”

baca juga : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Penambangan pasir sendiri sudah terhenti saat ini, apalagi dengan ditangkapnya Nurdin Abdullah oleh KPK pada 2021 lalu. Meski demikian Amin menilai tantangan ke depan masih sangat besar, apalagi aktivitas pembangunan MNP masih terus berlangsung.

“Selama zona tambang masih melekat di ruang tangkap nelayan maka sampai kapan pun konflik tidak akan berhenti karena akar masalah ada di RZWP3K, dimana pemerintah meletakkan area tangkap nelayan sebagai area tambang pasir laut.”

 

Krisis Ekologi di Sulsel

Terkait kondisi ekologi Sulsel saat ini, dalam pandangan Amin, secara fisik Sulsel telah mengalami krisis iklim, yang ditandai dengan cuaca yang tidak menentu dan cuaca ekstrem di musim hujan, yang kemudian menyebabkan bencana-bencana ekologis yang terjadi di hampir seluruh wilayah Sulsel.

“Di sini bisa kita lihat betapa tidak tangguhnya Sulsel mengatasi perubahan iklim karena kawasan-kawasan esensial Sulsel sekarang mengalami kerusakan parah, hutannya sudah menipis, bahkan berada di ambang batas bahaya, kawasan-kawasan penunjang esensial yang menopang juga rusak hingga ke pesisir, jadi kerusakan hutan di Sulsel merusak sungai dan alam lainnya dan mangrove,” jelasnya.

Dengan dampak perubahan iklim yang sedemikian parah, pemerintah dinilai tidak memiliki keinginan untuk memulihkan lingkungan. Pemerintah lebih memilih memberikan obat atau pelayanan setelah terjadinya bencana, ketimbang memulihkan lingkungan.

“Pemerintah lebih memilih mengatasi bencana dengan menyelamatkan atau memberi bantuan, dibanding melakukan mitigasi. Ini wajah cara pemerintah mengatasi persoalan lingkungan. Tidak memulihkan lingkungan tapi baru bereaksi setelah terjadi bencana lingkungan.”

baca juga : Catatan Akhir Tahun WALHI Region Sulawesi: Industri Nikel Ancam Sulawesi

 

Sejumlah aktivis WALHI Sulsel dan Yayasan Bumi Sawerigading menggelar aksi bentang spanduk menolak tambang nikel demi penyelematan hutan hujan di bekas tambang PT PUL Luwu Timur. Foto: WALHI Sulsel.

 

Berbagai kebijakan dan program pemerintah pun kemudian tidak bersifat jangka panjang sehingga dan akan tetap mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian secara material.

Dengan segala kondisi yang ada, Amin menilai ada sejumlah kebijakan penting yang harus didorong pemerintah, seperti penataan ruang yang harus benar-benar bisa melindungi kawasan esensial, yang memiliki nilai ekologis tinggi, serta melindungi wilayah kelola masyarakat.

“Pemerintah harus menjadikan wilayah kelola rakyat benteng terakhir dalam penyelamatan lingkungan. Harus memastikan kawasan lindung yang dijaga dari ekspansi bisnis dan wilayah kelola rakyat juga harus dipastikan tidak terganggu akibat bisnis ekstraktif dan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada kegiatan ekonomi masyarakat. Tahun 2019 kita sudah dibukakan mata bahwa bisnis ekstraktif tidak memberikan kesejahteraan masyarakat malah menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat yang ekonominya lemah.”

Selain itu, pembangunan juga seharusnya tak lagi semata berorientasi pada bisnis ekstraktif namun pada bisnis komunitas yang lebih berkelanjutan. Banyak kegiatan masyarakat yang berkelanjutan secara ekonomi dan bisa memberi income besar bagi pemerintah. Dicontohkan pada pengelolaan wisata berkelanjutan di Rammang-rammang, Kabupaten Maros.

“Rammang-rammang adalah contoh keberhasilan bagaimana masyarakat bisa mengembangkan ekowisata di Rammang-rammang Maros. Ini adalah konsep tanding dari bisnis ekstraktif, bagaimana ketika satu kampung dikelola masyarakat secara kolektif, didukung oleh badan usaha dan lembaga keuangan, pemda juga peduli, sekarang hasil ya sungguh luar biasa.”

menarik dibaca : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

 

Kawasan ekowisata Rammang-Rammang merupakan bagian dari kawasan geopark Maros-Pangkep. Foto : Suriani Mappong

 

Contoh lain pada pertanian organik di Salassa, Kabupaten Bulukumba, yang hasilnya bisa berkontribusi bagi pembangunan desa dan memberikan bagi kesejahteraan bagi masyarakat dengan produk berupa beras yang sehat yang kemudian didistribusi ke masyarakat perkotaan.

“Selain itu, banyak contoh-contoh lain bagaimana ekonomi non ekstraktif ternyata memberikan pendapatan yang besar juga bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah.”

 

Exit mobile version