Mongabay.co.id

Ekofeminisme dan Perjuangan Perempuan Menuntut Keadilan Lingkungan

 

Di dalam sejarah panjang pemikiran etika, manusia cenderung melihat atau menjadikan dirinya sebagai pusat dari segalanya, sebagai subjek, sehingga memperlakukan makhluk di luar dirinya sebagai objek atau instrumen belaka. Di situlah kemudian muncul superioritas dalam mempergunakan lingkungan untuk memenuhi kepentingannya tanpa melihat keberlangsungan dan dampak ekologisnya secara lebih lanjut.

“Ekofeminisme di dalam semangat lingkungan yang sama juga mempertanyakan tentang tiga hal mendasar, bagaimana sikap manusia terhadap alam, apakah non manusia berhak posisi sebagai subjek moral dan apakah manusia punya tanggung jawab pada non manusia,” ungkap Abby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan pada diskusi terkait ekofeminisme yang dilaksanakan oleh Jurnal Celebes bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Jumat 22 April 2022 lalu, sebagai rangkaian peringatan Hari Bumi.

Menurut Abby, ekofeminisme melihat alam dan non-manusia sebagai subjek dan bukan objek dan menggarisbawahi adanya relasi langsung antara penindasan terhadap alam dan perempuan, sehingga pembebasan keduanya harus diakukan bersamaan dan tak bisa menyampingkan satu dengan yang lain.

Ekofeminisme juga disebut juga feminis ekologi yang merupakan salah satu cabang feminisme yang mengkaji relasi perempuan dan alam.

baca : Dewi Kartika: Konflik Agraria, Perempuan Paling Terdampak

 

Sejumlah aktivis perempuan di Makassar menuntut keadilan lingkungan terkait persoalan lingkungan di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Praktik ekofeminisme sendiri sudah cukup lama dan telah menjadi praktik kearifan lokal di semua negara atau wilayah. Namun sebagai sebuah gagasan ekofeminisme baru muncul di tahun 1970-an, di mana term ini diciptakan oleh Francoise d’Eaubonne tahun 1974 dan diteorisasikan oleh Ynesta King tahun 1977, dan konferensi ekofeminisme sendiri baru dilakukan tahun 1980 di Amerika Serikat.

“Awal mula ekofeminisme ini sebenarnya bisa dilihat di gerakan-gerakan masyarakat di berbagai belahan dunia, antara lain yang paling berpengaruh Chipko di India yang menolak ditebangnya pohon di hutan mereka. Gerakan ini berdampak sangat besar bagaimana pada waktu itu di India akhirnya dibuatlah UU kehutanan, UU tata kelola yang mempertimbangkan kelompok-kelompok yang marginal,” lanjutnya.

Hanya saja, menurut Abby, seringnya dalam praktik-praktik perjuangan lingkungan perempuan terlibat atau berpartisipasi tetapi fokusnya biasanya berhenti pada kelompok yang terpinggirkan ini telah mendapat perhatian atau pengakuan dari negara.

“Tetapi perempuan sebagai kelompok yang lebih subordinat di dalam masyarakat tersebut kerap kali tidak sepenuhnya diberdayakan atau dilibatkan dalam proses-proses pengelolaan dan tata kelola lingkungan lebih jauh,” tambahnya.

Padahal gerakan ekofeminisme adalah kritik terhadap budaya maskulin yang menjadi landasan eksploitasi terhadap lingkungan dan perempuan.

“Ekofeminisme menggunakan prinsip dasar feminisme tentang kesetaraan antara gender yang menawarkan cara pandang non-linear, menghormati proses organik, adanya keterkaitan manusia dan alam, antara komunitas dan komunitas lain, manfaat institusi dan menekankan kolaborasi dan kerja-kerja bersama.”

baca juga : Para Perempuan Melawan dan Bertahan Kala Ruang Hidup Terancam Hilang

 

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, perjuangan yang mengatasnamakan ide-ide feminisme menuai banyak kisah sukses, misalnya Mama Aleta Baun di Molo Nusa Tenggara Timur (NTT), gerakan tolak reklamasi di Teluk Benoa Bali dan gerakan Ibu Bumi di Kendeng, Jawa Tengah.

Kisah Mama Aleta Baun sendiri adalah gerakan perempuan di NTT yang menolak eksploitasi gunung untuk kepentingan tambang marmer. Dalam aksinya, para perempuan mengangkat bajunya dan menunjukkan payudaranya, bertujuan untuk mencegah perusahaan masuk ke dalam kawasan mereka, dan gerakan ini berhasil.

“Apa yang menjadi kekuatan dalam perjuangan itu sebenarnya bahwa mereka menunjukkan payudara sebagai simbol bahwa dari sinilah masyarakat terbentuk, dari sinilah mereka hidup, dan ketika perusahaan masuk meruntuhkan atau mencederai para perempuan yang menjaganya maka penghancuran sama dengan hilangnya susu dari perempuan, sehingga tak bisa lagi memberikan susu atau makanan kepada masyarakatnya.”

Gerakan lain yang sukses adalah tolak reklamasi Teluk Benoa Bali, yang menggunakan gagasan Dewi Sang Hyang Dedari di Bali, sebagai landasan melindungi wilayah-wilayah mereka yang akan dimasuki oleh perusahaan.

“Ini artinya secara strategi menggunakan kedekatan perempuan dengan alam ini terbukti sukses untuk menghentikan masuknya konsesi atau perusahaan.”

baca : Mama Aleta Fund: Untuk Perempuan Pejuang dan Penyelamat Alam

 

Mama Aleta Baun ketika menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize 2013. Foto: The Goldman Environmental Prize

 

Hal yang menjadi persoalan kemudian ketika gerakan tersebut terhenti ketika tuntutan-tuntutannya terpenuhi, namun di sisi lain ketimpangan gender di dalam masyarakatnya masih terus terjadi, seperti ketiadaan akses yang sama terhadap hutan dan sebagainya.

Kritik lain adalah terkait implementasi kesetaraan gender yang bersifat semu di dalam berbagai program, baik yang dilakukan pemerintah maupun pihak-pihak lain.

“Kita sudah banyak program pengarusutamaan gender, bagaimana agar perempuan punya akses dan tata kelola, ini adalah komitmen yang baik dari negara, dari berbagai instansi, namun sering kali akhirnya berhenti pada pelibatan perempuan secara nominal, dari tingkat partisipasi kehadiran semata.”

Terlepas dari beragam perspektif feminisme namun seluruhnya percaya bahwa tujuan dari gerakan ekofeminisme menuntut keadilan lingkungan dan menentang dominasi dan eksploitasi terhadap alam.

perlu dibaca : Di Hutan, Perempuan Suku Mapur Bahagia

 

Mengubah Cara Pandang

Menurut Siti Maimunah, peneliti dan aktivis lingkungan, hal yang harus diubah saat ini adalah cara pandang bahwa kita (manusia) yang menentukan segalanya, karena kita hidup dengan makhluk lain. Ia mencontohkan betapa tidak berdayanya umat manusia menghadapi pandemi covid.

“Ini seperti sebuah manifest bahwa kita tidak hidup sendiri, ada yang namanya virus yang rumahnya dirusak di alam yang kemudian dia yang semula jauh dari kita makin mendekat, kemudian setelah bertemu dengan manusia menyebabkan penyakit,” katanya.

Menurutnya, saat bicara tentang krisis iklim global bisa jadi akan terus terjadi di masa mendatang jika pendekatan pengrusakan lingkungan tidak berubah, sehingga penyakit berskala global akan menjadi terus bermunculan.

Terkait ekofeminisme, menurutnya, jangan sekedar dilihat bahwa perempuan itu menjaga alam tetapi lebih jauh merupakan lensa untuk melihat apa sebenarnya krisis sosial ekologis yang terjadi sekarang dan kaitannya dengan apa yang dialami oleh perempuan.

baca juga : Cerita Para Perempuan Penjaga Hutan

 

Para petani dan sedulur sikep di Omah Kendeng sehabis upacara bendara ala petani. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pengawasan Lingkungan oleh DPR RI

Azikin Sholtan, anggota komisi IV DPR RI, menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh dua faktor yaitu peristiwa alam dan aktivitas manusia. Aktivitas manusia ini antara lain disebabkan dengan adanya tambang yang berdampak positif ke pengelolanya, namun tidak menjalankan kewajiban melakukan reklamasi.

“Ini fakta yang kami lihat dalam beberapa kunjungan kami di beberapa tempat, bahwa banyak bekas tambang ditinggalkan begitu saja padahal ada aturan-aturan yang ditandatangani berdasarkan perjanjian bahwa setelah kelola tambang mereka berkewajiban melakukan reklamasi. Yang paling memprihatinkan adalah rusaknya kawasan hutan, yang memang sangat bermanfaat bagi manusia, baik disebabkan oleh tambang legal dan ilegal maupun sebab lainnya.”

Hal lain, menurut Azikin adalah terjadinya pencemaran yang dilakukan oleh sampah-sampah medis dan non medis, dan itu telah menjadi perhatian DPR dengan memberikan teguran dalam rangka melakukan fungsi pengawasan.

“Namun harus diperhatikan luas Indonesia ini sangat besar, baru-baru ini kami melihat langsung bagaimana kondisi alam di Kalimantan. Kalaupun itu kita bangun harus memperhatikan habitat-habitat di dalamnya. Apakah kita pindahkan ke tempat lain, ini perlu didiskusikan bersama.”

Azikin selanjutnya mengajak sejumlah pihak untuk melakukan diskusi lebih intens sebagai masukan baginya untuk dibawa ke DPR.

 

Nek Ya, berusia sekitar 110, sebagian besar hidupnya berada di tengah Benak. Hutan adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version