Mongabay.co.id

Mereka Bertahan Demi Menjaga Keutuhan Teluk Kelabat

 

 

Haji Armin [65] mengisahkan perilaku penambang timah liar di Perairan Teluk Kelabat Dalam, yang menjadi wilayah hidup masyarakat Desa Pangkal Niur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Para penambang terus beraktivitas, meskipun mayoritas masyarakat menolaknya.

Pada Desember 2021, dilangsungkan pertemuan antara masyarakat, aparat pemerintah, dan kepolisian. Dari pertemuan tersebut, sebagian besar masyarakat yang hadir menolak penambangan timah.

Meskipun ada kesepakatan tersebut, para penambang liar terus bergerak. “Dampaknya, pencaharian masyarakat dari laut berkurang,” terang Haji Armin yang merupakan tokoh masyarakat Desa Pangkal Niur.

“Alam yang dibuat Tuhan hanya satu kali, kalau kita sendiri yang merusak maka akan habis. Bahkan, belum tentu alam itu bisa kembali seperti semula,” ujarnya.

Dijelaskan dia,  wilayah laut Teluk Kelabat Dalam merupakan sumber pangan dan ekonomi masyarakat Pangkal Niur dan sejumlah desa lain. Tepatnya, di kawasan Tanjung Sunur.

Masyarakat umumnya mencari kepiting dan kerang-kerangan seperti kaco, sumbun, kupang, beliung, serta sejumlah ikan. Masa puncak kerang-kerangan setiap Maret.

“Hampir semua masyarakat Pangkal Niur mencari kerang. Hasilnya untuk makan atau dijual,” kata Saini [51], pencari kerang.

 

Seorang nelayan bersiap melaut di sekitar Teluk Kelabat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem estuarin

Perairan di sekitar Teluk Kelabat [Teluk Kelabat Luar dan Teluk Kelabat Dalam] sebagian besar memiliki ekosistem muara sungai [estuaria]. Estuarin adalah luasan badan air pantai setengah tertutup, yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, sehingga sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan.

Indarto Happy Supriadi dalam tulisannya “Dinamika Estuaria Tropik” menjelaskan, ekosistem estuarin memberikan kelimpahan sumber daya perairan dan laut yang bernilai tinggi bagi Teluk Kelabat.

Hal ini disebabkan kombinasi dari bentuk dan fungsi ekosistem estuarin, yakni pertama melindungi wilayah dari gaya gelombang dan memberi kesempatan pada tumbuhan untuk berakar, berkembang, dan menampung biota dan nutrien. Kedua, memungkinkan cahaya matahari mendukung berkembangnya tumbuhan dan biota rawa pasang surut, serta menghalangi predator laut yang biasanya menghindari perairan dangkal.

Ketiga, menjadi transport system yang menguntungkan kehidupan strata rendah. Adanya aliran permukaan ke arah laut dan aliran dasar masuk ke wilayah esturian memungkinkan organisme berkumpul dalam satu habitat, beradaptasi.

Keempat, menjadi tenaga pengubah yang memindahkan nutrien dengan energi pasang surutnya, mengencerkan dan membuang limah, serta menyediakan makanan dan pengembangbiakan kehidupan. Kelima, sebagai penjerat yang dapat menyimpan nutrisi, seperti pada rawa dan padang lamun.

Kelimpahan sumber daya perairan dan laut Teluk Kelabat yang memiliki ciri khas ekosistem estuarin ini, menghasilkan habitat unik bagi banyak kehidupan, dengan karakteristik bukan air tawar atau air laut.

 

Anak-anak bermain di sekitar kawasan Sunur, salah satu wilayah tua di Teluk Kelabat Dalam yang dijaga masyarakat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Frensly D. Hukom dalam tulisannya “Keanekaragaman dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan di Teluk Klabat, Perairan Bangka Belitung” menyebutkan ikan karang ditemukan di Teluk Klabat Luar. Sementara, di Teluk Klabat Dalam dihuni ikan-ikan demersal dan ikan pelagis yang cukup potensial seperti jenis C. cunning dan L. splendens.

Di ekosistem estuarin Teluk Kelabat juga terdapat berbagai macam kerang, kepiting, dan udang. Jenis sumber daya ini bernilai ekonomis tinggi, karena mendukung ekonomi masyarakat.

Tumbuhan berakar seperti mangrove, berbagai macam lamun [sea grass], ganggang [sea weed] tumbuh subur di perairan ini, serta terumbu karang yang berkembang dengan baik.

Secara ekologis, hubungan mangrove dan lamun sangat erat dengan karang. Banyak ikan karang memijah di sekitar karang, tetapi larvanya berkembang di wilayah mangrove maupun lamun, sebelum akhirnya kembali hidup di lingkungan karang.

Teluk Kelabat memiliki ekosistem perairan estuarin dan ekosistem pantai laut, serta perairan tawar yang kaya keanekaragaman hayati, dibarengi panorama alam indah. Ekosistem estuarin Teluk Kelabat menyediakan sumber daya alam melimpah, bermanfaat bagi keberlangsungan makhluk hidup, juga lingkungan.

 

Belangkas, biota laut yang masih banyak terdapat di Teluk Kelabat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman bagi Teluk Kelabat

Sumber daya Teluk Kelabat diambang kehancuran akibat aktivitas manusia di sekitarnya.

Yonik Meilawati Yustiani dalam tulisannya “Pengaruh Aktivitas Penambangan Timah Oleh Kapal Keruk Terhadap Kualitas Parameter Fisik [Kekeruhan, TSS, Suhu] Air Laut Diteluk Kelabat Belinyu Kabupaten Bangka”, menjelaskan pertambangan timah lepas pantai merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang.

“Aktivitas pertambangan timah dari kapal keruk, kapal isap dan tambang inkonvensional Apung menyebabkan penutupan polip-polip karang oleh sedimen yang terbawa ke pesisir. Hal ini membuat kondisi karang mengalami kematian massal,” tulisnya.

Rofiko dalam penelitiannya mengenai “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung” menyatakan kondisi Teluk Kelabat saat ini telah berubah karena pengaruh eksploitasi sumber daya alam yaitu penambangan timah di daratan pesisir maupun lepas pantai [off shore] dan industri penambangan pasir, pertanian dan perkebunan, erosi [run off], serta pestisida penyemprotan perkebunan lada rakyat.”

Jelasnya, kegiatan tersebut secara ekologis mencemari lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan tawar, estuarin dan laut, baik musim kemarau maupun musim hujan. Pencemaran udara, tanah perairan tawar hingga perairan estuarin yang bersumber dari antropogenik, berpengaruh terhadap kualitas fisika, komposisi kimia dalam air, sedimen sampai jaringan organ ikan serta organisme lainnya.

 

Mangrove yang rusak akibat aktivitas pertambangan di Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hal ini seperti disampaikan sejumlah masyarakat di sekitar Teluk Kelabat. Misalnya, Desa Pangkal Niur, Desa Riding Panjang, Desa Pusuk, serta Desa Beruas.

Beberapa tahun terakhir, nelayan tidak lagi menikmati hasil laut berlimpah. “Kerang yang biasanya mudah dicari di tepi pantai dan beting-beting saat air surut, sekarang semakin susah didapat karena banyak yang mati. Jika ada, isinya pasti kecil,” kata Saini [51].

“Udang biasanya bisa ditangkap dalam dua jam dengan hasil kurang lebih 20 kilogram. Kini, setengah hari hanya dapat empat ekor. Rajungan yang dulu mudah dicari, semakin susah didapat, apalagi untuk mendapatkan ikan-ikan besar, sudah semakin sulit,” kata Arafik [45], nelayan dari Desa Pangkal Niur.

“Udang yang biasanya menjadi tangkapan utama kami, sekarang sulit didapat karena habitatnya terganggu aktivitas penambangan timah. Terpaksa, kami pergi lebih jauh ke seberang Pulau Dante,” kata Wisnu [44], nelayan dari Desa Bukit Tulang.

 

Aktivitas penambangan timah di sekitar Pulau Dante, Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dikucilkan

Dampak lain yang tidak dapat dihindari akibat rusaknya sumber daya perarian dan laut di Teluk Kelabat adalah konflik horizontal di masyarakat. Ada kelompok yang menolak dan ada yang menerima penambangan timah.

Ada cerita menarik dari Desa Pangkal Niur. Awalnya, masyarakat kompak menolak penambangan timah di wilayah Teluk Kelabat Dalam. Namun, setelah pemilihan kepala desa pada November 2021 lalu, muncul kelompok masyarakat yang pro penambangan.

Mereka yang mendukung, mulai dikucilkan oleh masyarakat yang menolak, sebagai sanksi melanggar kesekapatan.

Sumarlan [65], seorang warga Desa Pangkal Niur menuturkan kekecewaannya kepada sebagian masyarakat yang sekarang menambang. Padahal, mereka dulunya ikut berjuang bersama.

Sebagai sanksi, ketika terjadi kemalangan di keluarga mereka, tidak banyak masyarakat yang datang. Bahkan, jika bertemu pun tidak lagi tegur sapa.

“Sebenarnya, kami sangat prihatin tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Selain melawan pihak luar, kami juga berhadapan dengan saudara sendiri,” tuturnya.

 

Aktivitas pertambangan di sekitar Sungai Perimping, Teluk Kelabat Dalam. Foto drone: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menolak menyerah

Haji Armin merupakan keturunan ke delapan dari sebuah keluarga yang menetap di Desa Pangkal Niur.

“Di sana [arah Barat] beberapa leluhur kami dimakamkan, masih bisa dilihat kuburannya. Itulah mengapa kami begitu perduli dan sayang Teluk Kelabat. Tanah ini tanah leluhur kami, harus dijaga dan dipertahankan agar dapat diwariskan kepada anak cucu nanti,” katanya.

Dia dan nelayan, berupaya menjaga dan mempertahankan sebagian wilayah Teluk Kelabat Dalam dengan berbagai cara, mulai aksi damai sampai memilih jalur hukum.

“Kami sudah sering demo menolak pertambangan timah, mulai di Kantor Bupati Bangka, DPRD Kabupaten Bangka, sampai Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi. Meskipun sudah direspons,  dengan melakukan penertiban, tetap saja penambangan masih berjalan,” kata Arafik [45].

“Bahkan, kami pernah sampai perang pakai betet [ketapel] melawan penambang timah. Kami tidak takut karena kami mempertahakan laut kami. Jadi kalau kami, ibu-ibu, diajak demonstrasi sudah biasa, yang penting penambang timah keluar dari laut Teluk Kelabat,” ujar Saini.

“Kami juga pernah sampai membakar delapan ponton penambang timah di tengah laut. Itu kami lakukan karena kami merasa penertiban [aparat pemerintah] belum efektif. Bahkan, para penambang semakin berani masuk ke wilayah yang disepakati untuk tidak ditambang,” tambah Arafik.

Perjuangan sudah berjalan delapan tahun, sejak gerakan menolak penambangan timah di Teluk Kelabat digulirkan pada 2014. Masyarakat yang menolak tambang timah tetap teguh dengan pilihannya.

“Meskipun perlawanan yang dilakukan tidak sekeras dulu, bukan karena kami takut. Ini bentuk sikap pantang menyerah. Lebih baik kami mengolah apa yang ada di atas tanah atau di permukaan laut ketimbang mengambil hasil dari dalam tanah yang pasti merusak,” papar Haji Armin.

Saat ini masyarakat Desa Pangkal Niur tetap melaut, bertani, menanam bakau untuk memulihkan mangrove, dan membudidayakan kerang maupun kepiting. Mereka memilih strategi bertahan [survival strategy] yang lebih bijak.

 

* Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung. Mengikuti pelatihan jurnalisme lingkungan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Universitas Bangka Belitung, 24-26 Januari 2022.

 

Referensi:

 

Exit mobile version