Mongabay.co.id

Karang Porites Ditemukan di Perairan Bangka Belitung. Apa Fungsinya?

 

 

Karang porites ibarat memory card dengan ukuran jumbo terendam di lautan selama ratusan tahun. Seperti genus karang lainnya, karang yang terlihat seperti bongkahan batu besar ini, merekam beragam perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Seperti badai, pasang surut air laut, hingga perubahan iklim.

Namun, karang porites “tahan banting” atau mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan, sehingga dapat tumbuh besar dan berumur panjang.

“Secara global, karang porites tersebar hampir di semua perairan tropis. Laju pertumbuhannya yang masif menjadi pembeda di antara terumbu karang lainnya,” kata Muhammad Rizza Mufitiadi, dosen sekaligus peneliti dari Prodi Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, akhir April 2022.

Baca: Melacak Nautilus di Perairan Gelasa

 

Tim Ekspedisi Pulau Gelasa melakukan pengukuran terhadap temuan karang porites di Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dulu, karang porites ditemukan hampir di seluruh Perairan Bangka dan Belitung. Menurut Siringoringo dan Hadi [2013] genus karang yang umum dijumpai di Pulau Bangka adalah genus karang masif. Hal ini dikarenakan kondisi perairan yang kurang baik, sehingga hanya jenis tertentu yang dapat tumbuh dan berkembang serta beradaptasi.

Namun, tekanan lingkungan seperti aktivitas pertambangan timah, banyak mengubah lanskap sebaran karang dari Suku Portidae yang memiliki tiga genus [Alveopora, Goniopora, dan Porites] tersebut.

“Kini, karang porites yang sehat dengan diameter di atas dua meter hanya tersisa di sekitar Perairan Tuing, Perairan Pulau Ketawai, Perairan Gusung Perlang, serta Selat Gaspar, khususnya Pulau Gelasa,” kata Rizza.

Masih adanya karang porites di suatu perairan, mengindikasikan perairan tersebut dalam kondisi baik atau pencemarannya masih rendah. Dengan kata lain, masih ada genus-genus karang yang mampu mentoleransi kondisi perairan yang terkadang berubah.

“Semakin besar ukuran karang tersebut, semakin banyak informasi yang dipelajari dari skeleton-skeletonnya [kerangka kapur] sehingga informasi perubahan iklim dapat diketahui.  Ukurannya yang besar bermanfaat sebagai barrier [pelindung] bagi pantai dari ancaman abrasi,” lanjut Rizza.

Adanya terumbu karang porites di Kepulauan Bangka Belitung merupakan hal penting dalam membaca perubahan kualitas lingkungan. Khususnya yang diakibatkan aktivitas pertambangan timah.

“Data yang tersimpan dalam karang porites, dapat menjadi informasi berharga, misalnya membaca seberapa besar dampak aktivitas pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung, serta menjadi model konservasi.”

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Pengukuran karang porites di Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Karang porites di Pulau Gelasa

Pulau Gelasa yang berjarak 31 kilometer dari Pulau Bangka [Tanjung Berikat], masih tergolong perawan dan jauh dari ancaman aktivitas antropogenik, di daratan atau pesisir Bangka Belitung.

Berdasarkan penelitian berjudul “Kondisi Terumbu Karang di Pulau Gelasa Kabupaten Bangka Tengah” oleh Wahyu Adi dkk, disebutkan luasan terumbu karang di Pulau Gelasa mencapai 127 hektar. Persentase tutupan genus karangnya didominasi Genus Acropora [50 persen di stasiun 4] dan Genus Porites [40 persen di stasiun 3].

“Genus karang yang paling sering ditemukan yaitu Genus Acropora, Porites dan beberapa kelompok Famili Faviidae. Genus Acropora hanya ditemukan di tiga stasiun pengamatan sedangkan karang Porites ditemukan di semua stasiun pengamatan,” tulis penelitian yang dilakukan tahun 2021.

Baca: Perairan Pulau Gelasa Sudah Semestinya Dilindungi

 

Karang dari Genus Porites di sekitar perairan Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penelitian itu juga menyebutkan karang Porites mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, sehingga genus ini dijumpai di semua stasiun pengamatan.

“Berdasarkan hasil pengamatan di empat titik di Perairan Pulau Gelasa, persentase tutupan terumbu karang adalah 54,51-77,40 persen. Dari hasil tersebut dan berdasarkan Kepmen LH No. 4 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Pulau Gelasa dalam kondisi baik hingga baik sekali [Baik 50-74,9 persen, baik sekali 75-100 persen],” kata Rizza.

Namun, sejumlah titik kawasan terumbu karang di Perairan Pulau Gelasa juga ada yang rusak, akibat aktivitas pengeboman ikan, seperti di Utara dan Timur Pulau Gelasa.

“Para pengebom itu berasal dari luar Pulau Bangka dan Belitung. Pengeboman baru dimulai sekitar 2-3 tahun terakhir. Padahal, melalui aturan adat, warga atau nelayan sekitar Pulau Gelasa, seperti nelayan Tanjung Berikat dilarang untuk melakukan alat tangkap yang merusak, seperti bom ikan,” kata Mat Angin, nelayan dari Tanjung Berikat.

Baca juga: Jangan Usik Perairan Gelasa Kami

 

Karang massive menjadi wadah bagi jenis karang lainnya untuk tumbuh. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari “Mugha dambi”

Catatan terkait karang porites terbesar ada di Pulau Goolboodi [Orpheus] di sekitar Great Barrier Reef [GBR] Australia. Para peneliti menamainya “Mugha Dhambi” yang artinya karang besar.

“Nama ini di ambil dari hasil diskusi dengan masyarakat adat Manbarra, pemilik atau masyarakat yang sering berinteraksi dengan kawasan terumbu karang di GBR,” tulis Adam Smith dkk dalam penelitian berjudul “Field measurements of a massive Porites coral at Goolboodi (Orpheus Island), Great Barrier Reef” di nature.com, pada 2021.

Hasil penelitian tersebut mengungkapkan, karang tersebut langka dan tahan banting, berusia sekitar 500 tahun.

“Karang ini telah bertahan dari pemutihan, spesies invasif, siklon, pasang surut yang parah, dan aktivitas manusia,” katanya.

 

Hamparan karang massive di sekitar perairan Pulau Gelasa menyimpan potensi untuk penelitian. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penelitian yang sama juga mengungkapkan sejumlah data penting seperti, sejarah gangguan utama, yakni pemutihan karang yang telah terjadi setidaknya sejak tahun 1575, dan 99 potensi peristiwa pemutihan di GBR selama 400 tahun terakhir.

“Catatan lapangan ini memberikan informasi geospasial, lingkungan, dan budaya yang penting dari karang langka yang dapat dipantau, diapresiasi, serta berpotensi direstorasi,” satu kalimat penting kesimpulan penelitian tersebut.

Rizza berharap apa yang dilakukan para peneliti di Pulau Goolboodi [Orpheus] di sekitar Great Barrier Reef [GBR] Australia, juga dapat dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung.

“Yang lebih penting, pemerintah, akademisi, pelaku usaha, pegiat lingkungan, dan masyarakat, selalu kompak melestarikan karang Porites di Kepulauan Bangka Belitung,” paparnya.

 

Exit mobile version