Mongabay.co.id

Ini Tantangan Menyatukan Pengelolaan Wilayah Pesisir Laut di Nusantara

Aksi nelayan Pulau Kodingareng Makassar mendatangi lokasi pembangunan Makassar Newport (MNP) yang menjadi ‘biang’ penambangan pasir laut di peraiaran Sangkarrang Makassar. Foto: Walhi Sulsel

Aksi nelayan Pulau Kodingareng Makassar mendatangi lokasi pembangunan Makassar Newport (MNP) yang menjadi ‘biang’ penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang Makassar. Foto: Walhi Sulsel

 

 

Sulawesi Selatan menjadi provinsi pertama di Indonesia yang bisa mengintegrasikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dengan Peraturan Daerah Provinsi tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Penyatuan materi teknis tentang perairan pesisir tersebut diyakini akan memainkan peran penting dalam penyusunan sebuah kebijakan di wilayah pesisir Sulsel pada masa mendatang. Integrasi tersebut menjadi amanat dari Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo belum lama ini mengatakan bahwa pengesahan sekaligus penerbitan produk hukum pertama di Indonesia tentang integrasi RTRW dengan RZWP3K, ditetapkan pada 22 April 2022.

Produk hukum yang resminya bernama Perda Provinsi Sulsel No.3/2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 itu, diharapkan bisa mendorong percepatan proses integrasi materi teknis muatan perairan pesisir di provinsi lain di seluruh Indonesia.

Selain menjadi amanat UU, penyatuan materi teknis perairan pesisir juga menjadi amanat dari Peraturan Pemerintah No.21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut.

baca : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda

 

Seorang nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, saat melaut di wilayah perairannya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Victor menerangkan, selain Sulsel yang sudah menerbitkan produk hukum integrasi, masih ada sepuluh provinsi lainnya yang sedang melaksanakan proses penyatuan dokumen final. Sepuluh provinsi tersebut akan menyusul Sulsel, karena tidak ada perubahan materi teknis muatan perairan pesisir setelah PP 21/2021 diterbitkan. “Sehingga dapat dilakukan proses integrasi dengan RTRW provinsi,” ucapnya.

Kesepuluh provinsi yang sedang melaksanakan proses penyatuan dokumen final itu, yaitu Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.

Di luar 10 provinsi tersebut, sebanyak 24 provinsi yang sudah dan sedang menyelesaikan Perda RZWP3K, menyatakan ada perubahan materi teknis muatan perairan pesisir. Dengan demikian, perlu dilakukan penyusunan materi teknis sesuai dengan Permen KP No.28/2021.

Victor kemudian menerangkan tentang materi teknis muatan perairan pesisir. Mengacu pada PP No.21/2021, materi pada rencana RTRW provinsi adalah berupa dokumen final RZWP3K yang didalamnya ada rencana, tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang laut provinsi, struktur ruang laut, rencana pola ruang laut, dan alur migrasi biota laut serta arahan pengelolaan ruang laut.

Selain itu, materi teknis muatan perairan pesisir pada RTRW provinsi harus mempertimbangkan aspek kedaulatan dan kesatuan wilayah, keberlanjutan, kesatuan ekosistem, pengarusutamaan ekonomi biru, dan kebencanaan,” paparnya.

baca juga : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?

 

Nelayan Pulau Kodingareng Makassar saat aksi menolak pertambangan pasir laut oleh  kapal Boskalis. Penolakan pertambangan pasir laut itu salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan zonasi pemanfaatan ruang laut terkait peraturan ZWP3K di Sulsel.  Foto: Walhi Sulsel

 

Menurut dia, penyatuan materi teknis perairan pesisir pada Perda RTRW menjadi instrumen yang sangat penting sebagai dasar penerbitan Persetujuan Konfirmasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan perizinan bagi kegiatan yang memanfaatkan ruang perairan.

Tanpa instrumen tersebut, dia menilai kalau potensi konflik dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan besar kemungkinan akan muncul. Demikian juga dengan degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, atau konflik antar pemangku kepentingan juga akan sulit diatasi tanpa kehadiran instrumen di atas.

Sehingga ini menjadi modal dasar bagi Pemerintah Provinsi untuk mendorong perkembangan ekonomi di wilayah pesisir secara berkelanjutan,” tegas dia.

Tentang Perda No.3/2022 yang terbit di Provinsi Sulsel, Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto mengatakan, agar peraturan tersebut bisa berlaku, Pemprov Sulsel kemudian pada saat yang sama mencabut Perda No.9/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2029.

Selain itu, Pemprov Sulsel juga mencabut Perda No.2/2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019-2039. Dengan demikian, Perda No.3/2022 bisa berlaku secara penuh.

Penyatuan RTRW dengan RZWP3K sendiri menjadi hal yang mendesak untuk dilaksanakan. Alasannya, karena konsep RTRW dengan dinamika perubahan kebijakan dan perubahan wilayah, berjalan sangat cepat.

Dan jika rencana tersebut tetap tidak berubah atau status quo, maka dapat menjadi sumber konflik pemanfaatan ruang sekaligus menghambat percepatan investasi,” tambahnya.

baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Aksi nelayan Pulau Kodingareng Makassar mendatangi lokasi pembangunan Makassar Newport (MNP) yang menjadi ‘biang’ penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang Makassar. Penolakan pertambangan pasir laut itu salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan zonasi pemanfaatan ruang laut terkait peraturan ZWP3K di Sulsel. Foto: Walhi Sulsel

 

Suharyanto menjelaskan, materi perairan pesisir atau rencana tata ruang laut di masa mendatang akan berperan sebagai panglima untuk pelaksanaan seluruh sektor pembangunan di ruang laut. Bagi dia, keberlanjutan merupakan kata kunci penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

Dengan kata lain, perencanaan ruang laut akan mendukung pemanfaatan ruang dan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal itu sejalan dengan rencana besar yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia sekarang, yaitu menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan ekologi di laut.

Oleh karena itu, penataan ruang laut berkelanjutan menjadi kebijakan mendasar di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Kegiatan tersebut menjadi instrumen untuk mendorong penerapan ekonomi biru di wilayah pesisir.

 

Ekonomi Biru

Dalam implementasinya, program ekonomi biru selalu menitikberatkan setiap kebijakan dalam pemanfaatan ruang laut pada pertimbangan aspek ekologi dan ekonomi. Kedua aspek tersebut harus bisa berjalan beriringan agar seluruh aktivitas yang menetap di ruang laut bisa berjalan bersama.

Dengan demikian, kegiatan ekonomi, mencakup sosial budaya di dalamnya, bisa bergandengan dengan kegiatan ekologi laut yang akan memberi manfaat dalam waktu jangka panjang. Manfaatnya, tidak hanya generasi saat ini yang dapat merasakan manfaat sumber daya kelautan dan perikanan, tetapi juga generasi yang akan datang.

Salah satu contoh wilayah pesisir yang dikelola dengan peran ekonomi biru, ada di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di sana, ada kawasan keanekaragaman hayati inti (Key Biodiversity Area/KBA) Wabula yang luasnya mencapai 47.140 hektare di kecamatan Wabula.

perlu dibaca : Cerita Surga Bawah Laut Buton dan Sustainable Diving Green Fins

 

Sebuah rumah yang berdiri di atas perairan di perkampungan suku Bajau, di Kecamatan Wabul, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : shutterstock

 

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan belum lama ini menjelaskan tentang segala potensi yang ada di KBA Wabula. Kata dia, di sana ada tiga ekosistem penting di wilayah pesisir, yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang.

Ketiga ekosistem tersebut saat ini kondisinya relatif terjaga dengan baik melalui pengelolaan berbasis masyarakat hukum adat. Detailnya, terumbu karang di sana kondisinya 50-58 persen dalam kondisi baik atau jauh mengungguli kondisi terumbu karang secara nasional yang hanya mencapai 23,5 persen kondisi baik.

Dia menambahkan, berdasarkan survei yang dilakukan DFW Indonesia pada 2021, padang lamun di KBA Wabula kondisinya yang tergolong baik berkisar antara 64-70 persen. Adapun, jenis lamun yang ditemukan adalah Enhas acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium.

Kemudian untuk mangrove, kondisi yang baik secara umum berkisar antara 66-73 persen dengan jenis mangrove terdiri dari Avicennia sp., Rhizopora sp., Sonneratia Alba, dan Bruguera gymnorrhiza. Selain itu, KBA Wabula juga memiliki 15 jenis famili ikan karang, antara lain yaitu Balistidae, Lutjanidae, Pomacentridae, Pseudochromidae, dan Labridae.

Suhufan mengungkapkan, masih tingginya persentase kondisi baik tiga ekosistem tersebut, karena dalam pengelolaannya melibatkan sistem pengelolaan sistem perikanan tradisional dengan sistem Nambo.

Dalam wilayah Nambo yang merupakan wilayah perikanan tradisional Masyarakat Hukum Adat (MHA) Wabula, terdapat zona inti, yaitu Kaombo yang merupakan zona larangan ambil,” terangnya.

Dalam pelaksanaannya, zona Kaombo menerapkan dua jenis, yaitu Kaombo Awaktu dan Kaombo Saumur. Pertama adalah wilayah laut yang ditutup secara temporer atau buka tutup, dan kedua adalah wilayah laut yang ditutup secara permanen.

menarik dibaca : Muro, Kearifan Lokal Lindungi Ikan dan Laut. Seperti Apa?

 

Ilustrasi. Deklarasi sasi atau pelarangan penangkapan ikan dan biota laut sementara oleh masyarakat setempat di perairan Maluku. Foto : Yoga Putra/Coral Triangle Center

 

Menurut dia, pengelolaan dengan sistim Kaombo bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada ekosistem dan biota laut seperti ikan karang, ikan hias, lola, dan teripang untuk dapat berkembang biak dan pulih kembali.

Sistem ini dinilai memberikan dampak positif bagi masyarakat Wabula, karena ekosistem penting di laut bisa terjaga, kebutuhan pangan ikan bagi masyarakat bisa terpenuhi, kegiatan pariwisata bahari tumbuh, dan kegiatan wisata seperti pemancingan dan penyelaman (diving) berdampak pada ekonomi masyarakat.

Dalam penilaian Suhufan, prinsip dan aturan tersebut sejalan dengan prinsip ekonomi biru yang sedang dikembangkan Pemerintah Indonesia saat ini. Di antaranya adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan lapangan pekerjaan dengan tetap menjaga kualitas ekonomi dan ekosistim laut.

Dari laporan yang dipublikasikan Bank Dunia, dia menyebutkan kalau kesejahteraan penduduk Indonesia tidak saja bergantung pada ekosistem yang ada di wilayah daratan. Lebih dari itu, kesejahteraan juga bergantung pada ekosistem yang ada di laut.

Peran laut disebut sangat luas, karena memiliki nilai dan kontribusi besar bagi sektor perikanan yang nilainya bisa mencapai USD27 miliar. Dengan jumlah tersebut, itu artinya sektor perikanan bisa menghidupi 7 juta tenaga kerja, dan mememenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani di Indonesia.

Namun demikian, Moh Abdi Suhufan berpendapat jika pengelolaan ekosistem laut dan pesisir laut Indonesia masih menghadapi tantangan sampai sekarang. Tantangan tersebut, salah satunya adalah penangkapan ikan berlebih hingga 38 persen melebihi kemampuan ekosistem untuk melakukan pemulihan populasi.

Tantangan berikut, adalah sepertiga dari terumbu karang yang berharga bagi Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, serta ekosistem pesisir yang penting seperti mangrove sudah mengalami pengurangan atau tekanan yang besar.

baca juga : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir

 

Ilustrasi. Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Sementara itu, Koordinator Program Wabula DFW Indonesia Nasruddin pada kesempatan berbeda menjelaskan, model pengelolaan sumber daya laut berbasis MHA masih memerlukan penguatan. Untuk itu, khusus untuk MHA Wabula dilakukan penyusunan rencana pengelolaan dengan sistem Kaombo atau pada zona inti pemanfaatan.

Rencana pengelolaan ini disusun bersama dengan masyarakat dan pemerintah desa se-kecamatan Wabula yang memuat strategi dan indikasi program pengelolaan Kaombo,” tutur dia.

Penguatan sistem pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan di KBA Wabula sendiri dilakukan secara bersama oleh DFW Indonesia, Burung Indonesia, dan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF). Ketiganya sepakat untuk mengimplementasikan program pengelolaan perikanan skala kecil berbasis masyarakat adat di sana.

 

Exit mobile version