Mongabay.co.id

Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

 

Ini dia bentangan kawasan karst yang sangat megah, menghampar seluas 44.000 ha, berdiri di Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, sebagian di Kabupaten Barru, hingga Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan. Hutan karst dengan keanekaragaman hayati yang membuat semua orang terhenyak.

Melihat Tarsius fuscus, primata kecil dengan mata besar. Menyaksikan Macaca maura dengan buntut yang sangat pendek, berlari dan menggelantung di dahan. Atau melihat gerakan Pappilio blumei yang anggun. Atau memasuki lorong gua, menjejakkan kaki dengan pelan, untuk menyaksikan ikan buta.

Saya berencana memulai tulisan ini dengan sudut pandang fauna karst itu. Tapi floranya juga menggoyangkan hati. Saat menyusuri hutan dan memegang pohon Ficus, atau di jarak beberapa meter, melihat pandan karst yang akarnya menyembul, mirip tanaman bakau di pesisir pantai.

Saya merasa terjebak. Lalu mengalihkan pandangan ke manusia-manusia yang hidup bermukim di sekitaran kawasan karst ini. Melihat mereka mengolah lahan untuk pertanian. Merawat ternak. Atau mengasuh di bawah kolong rumah panggung saat matahari terik.

Lalu saya mendapati diri, memandang lanskap di puncak bukit Tamangura di Kabupaten Maros. Bukit yang berdiri di sisi jalan utama menuju pabrik semen Bosowa. Bukit yang bisa membentangkan mata saya melihat beberapa gedung pencakar langit di Makassar. Bukit yang membuat saya, menjadi seperti sebuah titik kecil tengah hamparan.

Maka, disini lah saya memulainya.

baca : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

 

Lansekap kawasan karst Maros Pangkep, Sulawesi Selatan yang indah dan menakjubkan. Foto : Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

 

TAMANGURA adalah bukit yang cukup unik. Pada Mei 1902, Paul dan Fritz Sarasin pengelana dari Swiss menyambangi kawasan ini, dan mendaki puncaknya. Mereka terhenyak menyaksikan batu berwarna hitam. Sarasin menulisnya “hitam seperti batu bara”. “Batuannya sangat berbeda dengan batuan tebing bukit kapur yang mengelilinginya. Lapisan batuannya jelas mencuat naik, memanjang utara-selatan,”

Ternyata magma dari bawah yang telah mengangkat lapisan batuan kapur seperti melengkung yang kemudian terkikis oleh erosi.”

Sarasin juga menjelaskan puncak Tamangura juga dijadikan penduduk sekitar sebagai tempat persembahan ritual, memotong kerbau atau sapi, sebelum panen padi dimulai.

120 tahun sejak perjalanan Sarasin, saya berdiri menyaksikan apa yang dituliskan. Dan menemukan konfirmasi apa yang digambarkannya mengenai ritual. Beberapa warga punya, cerita sendiri mengenai Tamangura. Batu besar hitam yang berada di puncak bukit, pada masa awalnya adalah seekor kerbau yang telah dipotong, dan berubah menjadi batu.

Tamangura, juga memiliki tempat yang indah untuk masyarakat. Sebelum penduduk menjadi semakin padat, bukit itu dijadikan warga sekitar sebagai tempat wisata dan rekreasi setelah lebaran. Orang-orang akan berbondong mendakinya dan duduk menikmati suasana. Piknik masa lalu, seperti itu lah mereka mengenang. Kini, Tamangura diberikan di penanda menyerupai gerbang. Jalan beton kecil yang curam dibangun untuk memudahkan pengunjung menapakinya.

baca juga : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

 

Lansekap kawasan karst Maros dari puncak bukit Tamangura. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Di puncaknya ada gazebo kecil bersisihan dengan batu besar. Saya duduk dengan penuh pertanyaan di gazebo itu. Menyaksikan sepasang anjing coklat yang berlari dan terus menyalak. Melihat beberapa burung cucak kutilang bermain di ranting pohon mangga. Melihat burung elang alap kecil terbang rendah. Dan beberapa ekor burung pipit melesat diantara semak dan bertengger di ranting rerumputan.

Saya berdiri di pinggiran batu hitam itu. Asap sedang mengepul dari cerobong pabrik semen di PT Semen Bosowa. Dari kejauhan punggungan gunung, terlihat memutih karena telah dikelupas. Tiga jam yang lalu di sebuah rumah warga, saya menyaksikan Jamaluddin (50-an tahun), sedang beristirahat. Dia sedang menanam cabai di lahannya. Padi sudah panen beberapa pekan lalu. Di belakang rumahnya, ada kotak kecil dengan ribuan cacing bergerak sedang berproduksi. Sisa kotorannya, terangkat ke permukaan dan dijadikannya untuk pupuk tanaman cabai.

Subur sekali. Tanaman cepat tumbuh,” katanya.

Jadi sebenarnya, saya sudah tidak pakai pupuk. Kan ini cacing, hanya diberi makan. Sisa buah-buahan, pelepah pisang, atau sisa makanan. Setelah itu tinggal tunggu kotorannya.”

Jamaluddin menyandarkan punggungnya di kursi plastik di teras rumah. Dia kemudian mengangkat dagunya dan memandang selurus dengan arah rumahnya. Bentangan karst yang menjulang menghalangi pandangan. Tebing yang kokoh dan terjal. Di bawah tebing itu, ada setapak jalan warga menuju kampung Biku di Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan (Pengkep), tempat lukisan figur babi kutil ditemukan arkeolog, berusia 45.500 tahun.

Tapi tebing itu membawanya pada kisah tahun 1997. Saat dia masih muda dan penuh energi. Di ujung tebing, dia menancapkan tiang dengan bendera perusahaan Bosowa. Sebagai tanda batas, pengukuran luasan tanah yang sudah dibebaskan. “Kalau yakin kesehatan selalu baik dan sehat terus, kerja di perusahaan memang bagus. Tapi kalau tidak yakin, kerja sendiri jauh lebih menyenangkan,” katanya.

Kini dia mengolah lahannya untuk pertanian. Pada musim hujan dia bersama orang kampung akan menanam padi. Ketika musim kemarau, dia akan menanam jagung. Saat pancaroba seperti saat ini, dia akan menanam cabai. Dia senang punya banyak waktu dengan keluarganya. Melihat anaknya tumbuh dan bermain bersama.

baca juga : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata 

 

Mulut Leang Tedongnge, di Kampung Biku. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

ULU PAO adalah nama sungai yang mengalir di kampung Bungeja, Bantimurung, Maros. Hilirnya menyatu dengan sungai Sangkarra menuju laut. Sementara hulunya, ada di sela dinding tebing karst di kaki bukit yang ditunjuk Jamaluddin, sebagai lahan konsesi Bosowa.

Jika melihat sumber Ulu Pao, hanyalah sebuah gua kecil. Tapi memasuki ceruknya, akan terdengar suara gemuruh sungai di dalamnya. Sungai bawah tanah itu mengalir deras, dengan lebar sekitar 12 meter. Dan jika musim hujan, luapan air sungai itu bisa penuh, yang tingginya bisa mencapai puluhan meter.

Kalau musim kemarau, debit air sungai dalam gua kecil. Jadi dari permukaan ke plafon gua, besarnya mungkin bisa membangun sekolah di dalam,” kata Jamaluddin membuat perbandingannya.

Ulu Pao adalah bagian dari sistem hidrologi Assuloang. Air permukaannya berada di wilayah Balocci, Kabupaten Pangkep. Dalam aliran sungai itu, puluhan atau bahkan ratusan celah gua tercipta dan menjadi sumber-sumber air bagi masyarakat sekitar. Tak jauh dari sumber Ulu Pao, ada pula mata air Jompi-jompie, Ci’boe, Panrokoe, dan Gentara, yang muaranya juga menuju Sangkarra.

Aliran sungai Gentara ini kemudian dibendung di Bungaeja, dan dijadikan kolam wisata warga setempat.

Saya meninggalkan kampung Bungaeja melalui jalan tambang yang lebar. Satu unit ekskavator sedang bekerja di ujung kampung, dan mengangkut tanah yang penuh dengan pecahan batu dengan garu besi ke bak truk. Saat melintas dan memperlambat laju motor, truk itu mendahului dan meninggalkan kepulan debu di depan.

Membayangkan orang-orang Bungaeja, yang tinggal disekitar area pabrik semen. Dan mereka punya satu “musim” yang mereka namakan “hujan debu”. Bagaimana hujan debu itu terjadi? Tak ada orang yang bisa memastikannya dengan tepat. Tapi jika itu terjadi, pakaian, atau tanpa menggunakan baju, debu itu akan menempel. “Seperti bintik-bintik air itu, kalau hujan gerimis. Tapi ini debu,” kata warga.

Jika menarik garis lurus, Kampung Bungaeja, berjarak sekitar 2 km dari kampung Amassangeng di desa Tukamasea. Tembok pabrik bersisihan dengan pemukiman. Pintu rumah warga, selalu tertutup rapat, untuk menghalangi debu menerobos masuk.

Pada masa lalu, Kampung Amassangeng lama berada dalam area pabrik. Ketika perusahaan dibangun, penduduk dipindahkan ke wilayah mereka saat ini. Ulfa Utami Mappe, peneliti sosiologi pedesaan dari Universitas Hasanuddin, menerangkan bagaimana kehidupan di sekitar pabrik itu berjalan.

Dia memotret para pekerja perempuan di tempat pembuangan pabrik. Orang-orang itu mengumpulkan sisa semen lalu membersihkannya kembali untuk dipisahkan dari pasir, tanah atau barang kecil lainnya. Setelah itu, mereka memasukkannya ke dalam karung, dan diangkut ke rumah dengan motor.

baca : Nasib Warga yang Hidup di Sekitar Tambang dan Pabrik Semen di Maros

 

Aktivitas pemulung di tempat pembuangan pabrik PT Semen Bosowa Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Para pemulung itu, adalah generasi dari kampung Amassangeng lama. Beberapa diantara mereka bekerja sebagai buruh kasar dalam pabrik semen, baik sebagai karyawan atau pula pekerja kontraktor. Generasi selanjutnya, tak bisa berbuat banyak. Paling banter menjadi petugas keamanan pabrik.

Ketika mengunjungi salah seorang buruh perempuan, kami makan dalam dapur yang tertutup rapat. Jendela tak leluasa untuk menjaga sirkulasi angin, tak boleh selalu terbuka, sebab partikel debu akan masuk dan menempel di makanan. Tanaman di halaman rumah, di pinggir jalan sepanjang Desa Tukamasea berubah menjadi keabu-abuan karena di selimuti debu. Ada banyak warga yang telah melakukan protes, tapi kondisi tak berubah sejak pabrik beroperasi sampai saat ini.

Sekitar pukul 12.00 WITA ketika matahari sedang terik, saya melintasi jalan tambang pabrik. Orang-orang bergegas, dan meminta berhenti, karena tebing di hadapan saya akan diledakkan. Ketika perusahaan meledakkannya, terlihat kepulan asap dan debu berwarna putih dari batuan karst itu remuk. Beberapa detik kemudian, gelegarnya baru terdengar. Rasanya seperti dentuman halilintar yang keras.

Ledakan itu, membuat rumah bergetar hingga kawasan Rammang-rammang. Sementara pemukiman yang lebih dekat dengan pabrik, bisa membuat piring serta panci yang digantung dengan paku, terlempar. Bahkan di Kampung Bungaeja, helm yang diletakkan di meja bisa terlempar.

baca juga : Merawat Mata Air, Menjaga Pasokan Air Bersih Salenrang

 

Saat PT. Semen Bosowa Maros melakukan peledakan di tebing-tebing karst. Getarannya hingga ke rumah warga dan dapat memecahkan kaca jendela hingga piring. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Di Tukamasea saya mendongak menyaksikan punggungan karst telah dikuliti. Warnanya putih ada pula yang kemerah-merahan. Bahkan hitam. Hamparan itu adalah konsesi pabrik semen Bosowa yang beroperasi sejak tahun 1998. Dibangun oleh Aksa Mahmud, ipar dari Jusuf Kalla, mantan wakil presiden Indonesia.

Dari pabrik, sekitar 2 km, proyek pembangunan rel kereta api, telah dikerjakan. Ada stasiun yang disebut koridor Bantimurung, untuk lalulintas produk semen. Koridor ini sama dengan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan yang disebut untuk angkutan barang Pabrik Semen Tonasa.

Jalur rel itu membentang antara Makassar – Parepare, sejauh 187 km. Jalur itu, membelah hamparan persawahan, menerobos hutan mangrove, dan tebing karst. Beberapa penggiat lingkungan telah memperingatkan bagaimana proyek itu harus dipikirkan dengan matang dan harus meminamilisir dampak lingkungannya.

Tapi kenyataan lapangan acap kali berubah. Di desa Mangilu, Pangkajene Kepulauan, sebuah bukit karst sendiri dengan banyak rongga, serta menjadi tempat Macaca maura, akan diterobos dan diledakkan. Dalam UPL/UKL, perusahaan pengembang PT Celebes Raillway Indonesia (CRI), menjelaskan jika wilayah itu bukan lah habitat fauna dan flora endemik.

Namun, ketika CRI sedang mengukur dan akan melakukan peledakan di bukit karst Desa Mangilu, beberapa individu Macaca maura, jenis monyet endemik Sulawesi, yang dilindungi, terlihat bermain. Tak hanya itu, beberapa burung juga menjadikan bukit tunggal itu sebagai tempat bermain. Tak heran, bukit itu memiliki banyak ceruk, serta ponor, dan bahkan celah yang dapat menyimpan air saat musim kemarau.

Jalur rel menuju desa Mangilu itu, selanjutnya di sebut segmen F, untuk jalan kereta menuju pabrik Semen Tonasa sepanjang 8,7 km dari jalur rel utama. Sementara segmen lainnya adalah jalur menuju Pabrik Semen Bosowa, yang melintasi Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa. Desa Salenrang inilah bagian dari kampung Rammang-rammang yang menjadi desa wisata di Kabupaten Maros, dan secara umum Sulawesi Selatan.

perlu dibaca : Petani Rammang-rammang Terdampak Rel Kereta Api Tetap Pertahankan Lahan

 

Pembangunan stasiun kereta api Rammang-rammang di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Jika berkunjung ke Rammang-rammang, pembangunan rel kereta api ini sedang membelah jalan utama desa menuju pabrik Semen Bosowa. Badan sungai yang dijadikan rute utama menikmati Rammang-rammang menuju kampung Berua, merupakan perlintasan jalur itu. Kelak, satu stasiun kereta akan berdiri tepat di halaman depan Rammang-rammang. Megah berdiri di tengah hamparan sawah, menghadap bentangan karst dan bukit Barakka.

Bulu’ Barakka, di sisi sungai Rammang-rammang adalah kisah dan identitas yang merekatkan warga pada masa lalu. Tahun 2008, beberapa perusahaan penambang marmer mendapatkan konsesi di kawasan itu. Mereka mulai melakukan pendekatan dan memetakan wilayah izin. Hingga Bulu’ Barakka, hendak ditambang dan diruntuhkan.

Walau demikian, sejak awal dekade tahun 2000-an telah dilakukan penelitian arkeologi di sekitaran kawasan itu dan didapati beberapa situs prasejarah. Ada gua dan artefak batu di lantai guanya, terkubur dalam tanah.

Tahun 2011, gelombang perlawanan warga mulai terlihat. Bulu’ Barakka yang menyimpan lukisan prasejarah, dari mulai cap tangan, figur manusia, hingga perahu, mulai digaungkan dan dipertahankan. Puluhan mahasiswa dan kelompok pencinta alam bergerak bersama dan melakukan aksi penolakan. Beberapa orang mendirikan tenda di kaki bukit atau beberapa lainnya memilih menginap di rumah warga. Dari pagi hingga malam, aksi jaga Barakka itu dilakukan. Orang-orang berdiskusi, saling memberi kekuatan dan kemudian bersatu.

Kelompok itu lalu melayangkan surat kepada Bupati Maros, pada 21 Juli 2011, menentang rencana izin pertambangan marmer oleh PT Grasada Multinasional. Dimana akhirnya perjuangan warga membuahkan hasil, tahun 2013, dan perusahaan dinyatakan hengkang.

baca juga : Cerita Kemandirian Masyarakat Rammang-rammang

 

Panorama Kampung Berua, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Berkali-kali berada di Bulu’ Barakka dan memasuki Leang Batu Tianang, menapaki teras dan memanjat tebingnya, sungguh menjadi pengalaman yang mengesankan. Gua atau Leang dalam bahasa setempat itu, menjadi begitu kuat saat beristirahat dan memandang lukisan-lukisannya. Mendengar suara kendaraan yang lalu lalang di jalan kampung Rammang-rammang, atau suara mesin perahu yang menggema memasuki labirin gua, rasanya bagai terlempar jauh ke masa lalu.

Fardi Ali, arkeolog Universitas Hasanuddin, dalam Gambar cadas Perahu Pada Bidang Gua-gua Prasejarah Maros-Pangkep tahun 2010, menemukan sisa makanan dari moluska dan arthropoda sebanyak 735 individu. Dari temuan sisa makanan itu, Moluska yang berasal dari wilayah air payau, sebanyak 103 individu. Dan dari laut sebanyak 533 individu. Dan jenis yang diperoleh dari lingkungan air tawar sebanyak 99 individu.

Temuan-temuan ini bagi Fardi, memberikan gambaran lingkungan yang kompleks pada masa lalu. Leang Batu Tianang yang berdekatan dengan laut hanya sekitar 7 km, merupakan jarak tempuh yang dekat. Sementara untuk air payau, berada di sisi gua. Dan air tawar pun sangat dekat. “Saya kira kita sedang bicara, bagaimana masyarakat prasejarah, berdampingan dan menggunakan sumber-sumber alam yang tersedia,” katanya.

Selain Leang Batu Tianang, Fardi juga membandingkannya dengan tiga gua lain, yang masih dalam satu kawasan. Masing-masing Leang Bulu Sipong, Leang Bulu Ribba, dan Leang Sumpang Bita. Dia menemukan sebanyak 2.990 jenis invertebrata moluska dan arthropoda. Dan dari jumlah total itu, sebanyak 1.932 individu berasal dari lingkungan laut, perairan payau sebanyak 597 individu, dan perairan tawar sebanyak 461 individu.

menarik dibaca  : Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

Moluska jenis Brotia sp., yang hidup di perairan air tawar di sekitar karst Maros-Pangkep. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Selain sisa makanan, penggambaran lainnya adalah gambar perahu. Di Leang Batu Tianang, terdapat delapan gambar perahu. Meski demikian, satu diantara gambar itu, dinyatakan masih sangat sederhana.

Fardi, menganalisis kemiripan gambar perahu itu dari gambar gua di Leang Bulu Sipong yang gambarnya sangat kuat. Perbandingan itu, kemudian di lakukan di tiga gua lainnya, masing-masing Leang Batu Tianang, Leang Bulu Ribba dan Leang Sumpang Bita. “Alih-alih melihatnya sebagai seni, saya ingin mengujinya dengan melihat gambar sebagai artefak, dan perahu menjadi contoh menarik,” kata Fardi.

Kalau mencari perahu yang bahannya dari kayu ataupun bambu yang digunakan pada masa lalu, saya kira akan sulit. Dan semuanya sudah hancur.”

Selanjutnya, bagi Fardi, gambar perahu itu memberikan gambaran kondisi lingkungan pada masa lalu dan saat ini. Empat gua yang dipilihnya berada di dekat pesisir dan anak sungai, yang semuanya bermuara ke Binanga Sangkarra. Dan sungai salah satu akses utama selain perjalanan darat pada masa lalu.

Di kawasan Rammang-rammang, terdapat beberapa situs prasejarah. Iwan Sumantri, Arkeolog cum Universitas Hasanuddin, mengatakan jika situs di kawasan itu adalah bukti peradaban yang mengukuhkan identitas warga.

Maka ketika, perjuangan warga menggunakan situs sebagai salah satu tameng penyelamatan itu menjadi sangat kuat. Baginya, manusia sudah menghuni kawasan itu antara 5000 hingga 7000 tahun yang lalu. “Itu setidaknya bersamaan dengan kedatangan bangsa para penutur Austronesia,” katanya.

baca juga : Perubahan Iklim Ancam Lukisan Purba di Sulawesi?

 

Artefak lukisan babi kutil di Leang Tedongnge, di Kampung Biku, di kawasan karst Maros Pangkep, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sumantri juga menekankan, jika sungai adalah titik utama peradaban yang seharusnya menjadi magnet utama perlindungan. Tidak hanya pada lansekap, tapi pada ketersediaan pangan. Ada banyak jenis siput air tawar, atau air payau yang menjadi bukti sisa konsumsi manusia masa itu.

Sekarang, orang-orang melintasi sungai, hanya dilintasi. Akibatnya, sungai menjadi tempat sampah. Tempat yang tak lagi harus dijaga dengan seutuhnya,” katanya.

Bentangan karst Maros-Pangkep menjadi salah satu yang terbaik. Ratusan jika tak ingin menyebut ada ribuan mata air yang keluar dari ceruk karst dan bermuara di ke laut. Di hulu sungai Rammang-rammang di Kampung Berua, saya bersama warga, berjalan kaki menerobos jalan kecil yang sekarang hanya dilalui ternak, menuju hulu sungai itu. Mata airnya, keluar dari celah batu yang kecil. Mengalir tanpa henti sepanjang tahun.

Air itu menggenang diantara rerumputan dan tanaman air. Ada banyak lumpur mengendap di depan mulut mata air itu. Saat melaluinya, endapan lumpur itu bisa mencapai paha orang dewasa, sekitar 50 sentimeter bahkan lebih. Lumpur-lumpur itu, berasal dari aliran permukaan di balik tebing karst di wilayah Balocci, Kabupaten Pangkep. Sekitar 300 meter, dari mulut utama sungai, kami berjalan ke hulu.

Di sana, ada labiran air besar yang terbuka seperti patahan yang terpahat dengan sempurna. Empat mulut koridor seperti pintu gerbang aliran, dari sini lah lumpur yang mengendap di depan mata air, kemudian terbawa menuju sungai. Lumpur itu adalah sisa sedimen tambang batu permukaan, untuk keperluan timbunan bangunan, rumah hingga perkantoran yang sedang dibangun hingga wilayah Makassar.

baca juga : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang

 

Koridor air di hulu aliran sungai kawasan Rammang-rammang. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Darwis, seorang warga kampung Berua, yang menemani saya, menceritakan bagaimana luapan air itu ketika hujan mengguyur. Tingginya bisa mencapai satu meter. “Jadi kalau mengandalkan aliran sungai di Rammang-rammang bersih, itu hanya sesaat. Di hulu ini kejadiannya,” katanya.

Pernyataan Darwis itu, terkonfirmasi dengan banyaknya sampah plastik yang tergantung di tebing koridor karst dan tumbuhan. “Dari mana sisa sampo, pembungkus makanan, kalau itu bukan dari aliran permukaan. Kalau aliran yang dalam gua, pasti bersih. Karena melalui proses filter batuan,” lanjutnya.

Lalu pertanyaannya, bagaimana menyelamatkan lansekap yang menawan ini?

Kita tak boleh melihat Rammang-rammang hanya sebagai spot. Tapi melihatnya sebagai sebuah kesatuan dalam lansekap karst Maros-Pangkep,” kata Darwis.

Darwis, paham betul. Apa yang terjadi di Rammang-rammang saling terhubung melalui bentangan karst. Bukan hanya manusia yang saling terhubung, tapi fauna dan flora saling terkait. Ada burung yang melintas, ada monyet, ada tumbuhan. “Dulu orang di Rammang-rammang memiliki tumbuhan nipah yang banyak. Persediaan yang besar, untuk membuat atap rumah. Pengikatnya menggunakan akar kayu yang diperoleh dari wilayah Camba,” katanya.

Kini akar untuk menjahit atap sudah semakin susah. Akhirnya warga juga tak dapat membuat atap. Nipah menjadi cepat tumbuh karena tak dirawat. Jadi kita benar-benar, saling membutuhkan dan saling mengisi.”

baca juga : Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-rammang

Usman, seorang nelayan Rammang-rammang sedang memasang jaring ikan di pinggiran pohon nipah di Sungai Pute. Foto : Nurul Fadli Gaffar/Mongabay Indonesia

BINANGA SANGKARA adalah sungai besar yang menghubungkan kawasan Rammang-rammang dengan laut. Hilirnya dipenuhi lumpur yang tumbuh beragam jenis mangrove. Sungai inilah yang menjadi urat nadi, yang menyatukan gunung dan lautan. Menjaga aliran air menuju hilir akan membantu menjaga keseimbangan hayati, termasuk mineral yang dibutuhkan biota.

Kini, sungai Sangkarra sedang berubah. Indra Adi Putra Salam, dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas, dalam penelitiannya Dinamika Morfometrik Daerah Aliran Sungai Sangkarra tahun 2021, menemukan perubahan garis sempadan sungai di sisi kanan hulu hingga ke muara terdapat 55,88% terjadi proses sedimentasi, dan erosinya mencapai 66,75%. Dan untuk sisi kiri hulu menuju muara, tingkat perubahan mencapai 66,75% dan tingkat erosi mencapai 33,25%. Luas Sangkarra sekitar 352,297 ha. Dengan panjang dari dari hulu ke muara mencapai 20 km. Saat melintasi sungai rasanya sungai menuju titik sekarat. “Coba liat, dulu itu adalah tanaman mangrove, sekarang menjadi tambak,” kata Indra.

Dia kemudian menoleh di sisi lainnya, “Dulu ini tambak, sekarang sudah menjadi sungai. Jadi ada erosi, ada luapan. Sungai ini berubah terus, dan tak ada yang memperhatikannya. Kita juga tak punya data temporal yang spesifik mengenai morfometrik (rona perubahan) sungai ini.”

Indra kemudian terdiam. Di lain waktu, dia memperlihatkan, peta morfometrik sungai dengan perbandingan tahun 2002 hingga 2018. Tahun 2002, titik-titik berwarna hijau masih dipenuhi tutupan mangrove yang padat. Tahun 2018, tutupan itu menjadi hilang dan semakin berkurang. “Berubahnya bukan bagus, tapi berubahnya menjadi rusak,” katanya.

Indra juga menemukan banyaknya tambak penduduk yang rusak karena banjir. Pematangnya menjadi rusak. Tapi, baginya, kerusakan itu karena penebangan mangrove dalam skala besar. Sempadan sungai, termasuk lahan pertambakan itu merupakan lahan yang seharusnya dilindungi dan tidak diperuntukan untuk kegiatan budidaya.

baca juga : Kampung Berua, ‘Surga’ Rammang-rammang Itu Makin Sering Banjir [1]

 

Lahan persawahan di Kampung Berua terendam banjir pada Februari 2022 lalu. Foto : Darwis

 

Sebenarnya ada peraturan yang tegas tentang perlindungan bantaran sungai. Tetapi di lapangan, praktiknya tak berlaku. Sempadan yang seharusnya terjaga antara 50 hingga 100 meter, tidak berlaku. Ada banyak tambak yang pematangnya tepat menjadi sisi tebing sungai.

Di Sulawesi Selatan, praktik tambak mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 1960-an, lalu dekade tahun 1980, dan kembali menjadi primadona tahun 1998 saat badai krisis moneter menghantam Indonesia. Jelang pertengahan tahun 2000-an, tambak menjadi surut, karena beragam faktor, seperti benih yang kurang sehat hingga penyakit.

Saat “demam tambak” dekade tahun 1980, di pesisir Sangkarra, warga mulai menguasai hutan mangrove. Sebuah jembatan di desa Ampekale, yang saat ini jaraknya ke pesisir mencapai satu km, adalah batas hutan mangrove masa lalu. Kini daerah itu dihiasi tambak dan pemukiman. Hamparan persawahan bahkan disulap menjadi tambak. Diantara warga ada kesepakatan tidak tertulis, seperti pemilik tambak dan batasnya adalah mangrove, maka itu juga menjadi kepunyaannya.

Di muara Sankarra, puncak gunung Bulu Saraung (1.535 mdpl), sebagai titik tertinggi dalam bentangan karst Maros-Pangkep nampak jelas saat kondisi cuaca cerah. Gunung itu menjadi titik tolak para nelayan untuk menentukan arah ketika sedang berlayar.

Secara morfologi batuan, Maros-Pangkep masuk dalam wilayah skala regional Pangkep-Maros-Bone dengan penanda dua garis pegunungan gamping memanjang dari utara ke selatan yang ditengahnya dialiri sungai Walannae. Dan secara umum perbukitan karst di wilayah ini terbentuk dari batuan karbonat Formasi Tonasa.

baca juga : Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi

Panorama kawasan karst di Maros Pangkep. Foto : Rais

Berdasarkan Sejarah geologi Sulawesi Selatan, pembentukan bukit-bukit gamping ini terjadi pada masa Eosen Awal hingga Miosen Tengah, dan terjadi di dasar laut purba. Munculnya pegunungan gamping tersebut ke atas permukaan disebabkan oleh adanya kegiatan tektonik berupa letusan gunung api purba yang diperkirakan berlangsung sejak Miosen Akhir hingga Pliosen (Sunarto, 1989: 16-17; dalam Said, 2000: 76).

Sementara itu berdasarkan litostratigrafi wilayah ini terbagi dalam empat jenis satuan batuan yaitu: satuan aluvial, terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, endapan pantai yang mengandung sisa kerang, batu gamping koral dan sisipan lempung laut mengandung moluska. Struktur lapisan alluvial (endapan pantai) berada disepanjang sebelah barat wilayah penelitian sejauh ± 20 km, (Lihat peta Sukamto 1978 dan Anon 1982), bagian ini berbatasan langsung dengan perairan selat Makassar.

Pada zaman pliosen hingga plestosen daerah tersebut merupakan dataran yang dipisahkan oleh daerah rendah yang rata bersifat rawa-rawa dan air dangkal yang dialiri pola aliran serta pengirisan sungai. Pada masa itu pula terjadi penurunan muka laut hingga terbentuk jembatan daratan (land Bridge).

Setelah zaman plestosen berakhir dan disusul dengan pasca-glasial di zaman Holosen terjadi perubahan yang penting yaitu perubahan iklim dari musim dingin ke musim panas. Hal ini mengakibatkan air laut naik menggenangi selat Makassar sehingga gua-gua di perbukitan kapur bagian luar sebagian besar berbatasan langsung dengan pantai (Aziz, 1988 : 28-29).

Kisah pembentukan batuan kapur ini membuat perjalanan dalam melintasi sungai Sangkarra menjadi semakin memukau. Di badan sungai yang berair payau itu saat menuju ke Rammang-rammang, dari hilir ke hulu, rasanya bentangan karst itu menelan perahu yang saya tumpangi. Memasuki terowongan tebing yang menjadi jalur air. Suara mesin perahu menggema di tebing. Pandan karst yang menakjubkan tumbuh dengan anggun di permukaan batu dengan akar yang mencengkeram kuat.

Kini kawasan karst Maros-Pangkep itu dijaga dengan keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, status Kawasan Ekosistem Esensial, serta warga yang bermukim di sekitar bentangan karst.

Bagi warga, semakin banyak yang menjaga, akan semakin baik. “Jadi karst itu adalah tentang flora dan fauna, dan manusia. Serta aliran hidrologinya. Kalau hanya batuannya, maka itu seperti batu pondasi, tanpa dinding rumah,” kata Fardi Ali.

 

***

 

Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang

 

Exit mobile version