Mongabay.co.id

Berebut Ruang di Rammang-rammang

 

 

Tak afdal rasanya berkunjung ke Sulawesi Selatan jika tak mampir ke Rammang-rammang. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari bandara Sultan Hasanuddin. Hanya sekitar 30 menit perjalanan. Kondisi jalan berbeton dan lebih luas membuat akses ke kawasan wisata ini tak sesulit dulu.

Di sore hari, pemandangan ketika memasuki lokasi ini jauh lebih menakjubkan. Bukit karst membentang sepanjang jalan, dan bahkan ada yang berada di tengah sawah seperti tumbuh dari tanah, terlihat menawan terkena pantulan cahaya sore yang lembut.

Rammang-rammang yang berada di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros adalah ‘hadiah’ Tuhan, seperti sekeping surga kecil di bumi.

Rammang-rammang adalah nama sebuah dusun, namun sejatinya merujuk kepada sebuah kampung terpencil bernama Berua. Untuk mencapainya harus menyusuri sungai bernama Sungai Puteh menggunakan perahu motor bermesin tunggal.

Melintasi sungai ini juga memberi sensasi sendiri karena dikelilingi hutan nipah dan di bagian tertentu sungai terdapat batu-batu karst di bagian tengah atau pinggir sungai. Melintasi sungai air payau ini memberi kesan seperti berpiknik ke masa lalu, mungkin menjadi salah satu alasan orang berkunjung ke tempat ini.

baca : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

 

Lansekap kawasan karst Maros Pangkep, Sulawesi Selatan yang indah dan menakjubkan. Foto : Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

 

Rammang-rammang sendiri berarti ‘awan’. Dinamai demikian karena dulunya di tempat itu terdapat sebuah lokasi seluas dua kali lapangan sepakbola, diapit gunung karst, yang dari kejauhan selalu dipenuhi awan. Adalah kebiasaan warga menamai sebuah tempat sesuai dengan ciri fisiknya. Secara administratif, daerah sekitar gumpalan awan itu kemudian menjadi dusun, itulah Rammang-rammang.

Daerah yang kemudian kita sebut sebagai Rammang-rammang itu berada di kampung Berua yang berarti kampung baru, karena memang dinamai baru-baru ini saja. Dulunya daerah itu jarang dikunjungi karena berupa hutan, lalu warga bikin kebun dan sawah. Belakangan baru ada yang menetap, itu pun mereka itu satu rumpun keluarga,” ungkap Muhammad Ikhwan (42) atau Iwan Dento, salah seorang tokoh masyarakat dan pemuda di Rammang-rammang. Tokoh penting yang membangun Rammang-rammang menjadi destinasi wisata yang makin terkenal hingga seperti saat ini.

Begitu tenarnya Rammang-rammang, telah banyak tokoh dan influencer yang berkunjung ke daerah ini. Termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ketika masih menjabat sebagai Gubernur Sulsel. Rammang-rammang juga pernah dikunjungi Najwa Shihab, Pasha Ungu, dan Medina Kamil. Beberapa acara TV juga berlokasi di tempat ini, termasuk juga film Silariang.

Sebagai tempat wisata, Rammang-rammang telah bertransformasi begitu cepat dalam 7 tahun terakhir. Mulai dibuka secara resmi pada tahun 2015, Rammang-rammang yang dulunya hanya kampung sunyi dan tak dikenal menjadi begitu populer.

Berbagai fasilitas seperti jalan trekking, menggantikan pematang sawah, terbangun dalam beberapa tahun terakhir, membantu wisatawan mengunjungi lokasi-lokasi eksotik yang dulu sulit terjangkau, seperti gua-gua yang di dalamnya masih bisa ditemui artefak prasejarah peninggalan masa lalu.

baca juga : Cerita Kemandirian Masyarakat Rammang-rammang

 

Rammang-rammang yang berada di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, menjadi salah satu tujuan wisata. Sebelumnya kawasan ini dipenuhi izin pertambangan yang merusak lanskap alam yang dikeliling pegunungan karst. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Perkembangan pariwisata di Rammang-rammang telah memberi dampak ekonomi yang cukup besar. Sejumlah mata pencaharian baru tercipta. Kalau dulunya warga setempat hanya menggantungkan hidup dari hasil berkebun, batu gamping dan mengumpulkan kotoran kelelawar untuk kebutuhan pupuk, sekarang mereka bekerja untuk ekosistem pariwisata seperti jasa perahu, penginapan, warung dan parkir. Ada ratusan kepala keluarga yang kemudian terbantu secara ekonomi sejak kehadiran ekowisata ini.

Industri wisata ini menjadi sumber pendapatan utama bagi 60 persen KK atau sekitar 282 KK dari 500 KK yang ada di desa Salenrang, baik dari usaha penyewaan perahu, kuliner, petugas kebersihan, penginapan, parkir. Dari retribusi dan penyediaan jasa, diperoleh pemasukan hingga Rp15 juta/bulan. Sebanyak 30 persen masuk kas desa, sisanya digunakan untuk biaya operasional pengelola wisata.

Basri (55), salah seorang warga yang tinggal di kampung Berua, dulunya hanyalah seorang pengumpul kotoran kelelawar dan kadang mengambil rotan di dalam hutan. Kini ia membangun warung di dalam kawasan wisata yang dikelola anaknya, sementara menantunya bekerja sebagai petugas pengatur perahu di dermaga. Ia bahkan sengaja memboyong seluruh keluarga, termasuk cucu-cucunya untuk tinggal di dalam kawasan wisata tersebut.

Sumaenah (50), warga lain yang mendapat manfaat ekonomi dari kehadiran kawasan wisata ini, punya cerita yang unik. Beberapa tahun silam suaminya mendapat petunjuk melalui mimpi tentang sebuah gua di daerah tersebut. Lokasinya yang tertutup dan cukup jauh dari jalanan utama membuat tempat itu tak diketahui, bahkan oleh warga setempat.

Di dalam gua tersebut ditemukan sejumlah batu unik seperti orang sedang bersemedi, yang sekelilingnya dipenuhi bebatuan yang berkilau seperti berlian. Gua itu kemudian dinamakan Gua Berlian. Akses menuju lokasi dan akses ke dalam gua pun dibuat. Sumaenah dan suaminya kemudian diberi wewenang mengelola tempat tersebut dengan mengenakan biaya Rp5.000 sebagai jasa mengantar ke dalam lokasi. Gua Berlian kini menjadi salah satu spot wisata yang digemari. Dia juga membuat warung di sekitar lokasi gua. Oleh pengelola wisata dibuatkan jalan tracking memudahkan akses bagi pengunjung.

baca juga : Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

Situs Batu Tianang tidak begitu terekspos oleh wisatawan adalah salah satu simbol perjuangan warga Desa Salenrang menolak tambang beberapa tahun silam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sejarah Panjang Perjuangan Warga Menolak Tambang

Namun, di balik kepopuleran dan eksotismenya tak banyak yang tahu sejarah panjang bagaimana Rammang-rammang menjadi objek wisata. Ada sejarah perjuangan besar warga di dalamnya. Ada upaya keras dan ‘berdarah-darah’ warga merebut ruang kelola mereka yang terampas.

Tidak hanya menawarkan keindahan, gunung karst di sekeliling Rammang-rammang adalah ‘pesona’ tersendiri bagi investor luar dan pengusaha lokal, khususnya industri ekstraktif, dalam hal ini tambang marmer dan batu gamping.

Menurut Iwan Dento, tambang-tambang batu gamping yang dikelola oleh warga lokal sudah ada sejak dulu, namun menjadi marak di sekitar tahun 2000-an. Apalagi dengan masuknya tambang marmer dengan daya rusak yang lebih tinggi.

Tambang rakyat sebenarnya sudah mulai muncul di tahun 1980-an, mereka ambil batu gamping, diangkut menggunakan perahu ke sebuah dermaga di bagian luar. Batu gamping ini kebanyakan dijual ke Makassar untuk bahan pembangunan pondasi rumah atau gedung. Lalu tahun 2007 muncul industri untuk marmer dan diiringi munculnya tambang rakyat modern. Tahun 2017 itu fase eksplorasi dan tahun 2010 mereka sudah punya izin operasional,” jelasnya.

Iwan menjelaskan bahwa terdapat tiga lokasi yang menjadi sasaran tambang di wilayah itu, yaitu Gunung Baraka, Belaka dan Hutan Batu. Luas keseluruhan sekitar 100-an hektar. Sebagian telah dieksploitasi, masing-masing 33 hektar di Gunung Baraka, 24 hektar di Belaka dan 22 hektar di Hutan Batu. Untuk tambang rakyat modern luasnya sekitar 20 hektar.

Penambangan marmer di Belaka sudah sempat operasi. Kalau penambangan di Gunung Baraka oleh PT Grasada prosesnya sudah berjalan dengan pembuatan jalan, pembebasan lahan dan pengambilan sampling. Kalau pengambilan sampling sekitar tahun 2009-2010,” jelas Iwan.

baca juga : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata

 

Panorama kawasan karst di Maros Pangkep. Foto : Rais

 

Aktivitas penambangan ini kemudian menimbulkan gejolak penolakan oleh sebagian warga, apalagi salah satu lokasi tambang adalah tempat yang disakralkan warga, yaitu Gunung Baraka.

Gunung Baraka itu kami jadikan simbol perlawanan. Bagi kami gunung ini memiliki arti penting karena dianggap sebagai ‘ibu’ dari seluruh gunung yang ada di daerah ini. Ada banyak tradisi yang berdasar pada eksistensi gunung tersebut. Di masa lalu, gunung ini penanda bagi yang berlayar. Bagi warga yang merantau biasanya mengambil segumpal tanah di gunung ini untuk dibawa ke lokasi perantauan. Di Gunung Baraka ini juga ditemukan situs prasejarah yang usianya diperkirakan sekitar 20.000 tahun lalu. Inilah yang kemudian menjadi alasan kami menolak gunung ini ditambang,” lanjutnya.

Dua tahun setelah hadirnya tambang ini, tepatnya 2009, warga yang menolak mulai mengonsolidasikan diri. Iwan tak ingat bagaimana inisiasi itu lahir, namun warga kemudian berkumpul, berdiskusi, membangun jejaring dan berbagi peran, seperti menyediakan lokasi pertemuan ataupun membangun jejaring ke luar. Di awal, secara administratif, lembaga yang tampil sebagai wadah pergerakan adalah Opatrans yang diketuai oleh Iwan Dento.

Di tahun yang sama dibentuklah wadah perjuangan yang lebih besar, yaitu Persatuan Rakyat Salenrang (PRS) yang diketuai oleh Usman. Beberapa organisasi kemudian bergabung memperkuat gerakan, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel dan lembaga lain, serta beberapa media. PRS juga memperkuat kapasitas diri dengan mengutus anggotanya belajar tentang hal-hal yang diperjuangkan, seperti masalah ekosistem karst, konservasi air, dan isu lingkungan secara umum.

baca juga : Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang

 

Muhammad Ikhwan atau Iwan Dento bersama puluhan warga Desa Salenrang lain bertahun-tahun berjuang untuk menolak tambang di daerahnya. Setelah izin tambang dihapus Pemda Maros, mereka inisiasi pariwisata sebagai konsep tanding. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Iwan, tantangan terbesar dalam perjuangan mereka bukanlah dari perusahaan ataupun pemerintah, namun dari warga sendiri yang kebanyakan pro-tambang. Mereka adalah orang-orang yang mendapat manfaat dari kehadiran tambang dan bahkan ada yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan, baik itu sebagai petugas keamanan, helper dan posisi lain. Para warga pro-tambang ini bahkan jauh lebih progresif dibanding penolak tambang, yang justru tak berani bersuara.

Berbagai bentuk intimidasi dan bahkan ancaman secara fisik bahkan banyak dari warga pro-tambang ini, ada yang sampai mengancam menggunakan senjata tajam, belum lagi intimidasi sosial berupa pengucilan atau dijauhi. Mereka merasa kalau tambang diganggu maka pekerjaan mereka juga terganggu.”

Tantangan lainnya adalah bagaimana membiayai pergerakan, sementara kebutuhan untuk pergerakan dan membangun jejaring keluar butuh biaya yang tak sedikit. Mereka harus dihadapkan pada situasi bagaimana uang yang mereka miliki harus dibagi untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai ongkos pergerakan. Di satu sisi harus menghidupi anak dan istri, namun perjuangan untuk melanjutkan perjuangan tak boleh berhenti.

Ilustrasinya seperti ini, ketika saya punya uang, apakah uang ini akan dipakai untuk advokasi atau keluarga, nominalnya juga terbatas. Kegiatan advokasi tidak bisa menunggu. Harus berbagi di rumah, apa yang harus dimakan. Ini tidak satu dua hari tetapi hingga tahunan. Kalau ada kegiatan di luar kita tidak punya sumber dana membiayai itu. Memang harus diatur sedemikian rupa. Usaha juga tidak berjalan maksimal. Tantangan terbesarnya adalah mobilisasi advokasi yang tidak didukung oleh kemampuan finansial.”

Tidak hanya ancaman secara fisik, mereka juga pernah ditawari perusahaan sejumlah uang jika saja mau menghentikan aksi penolakan tambang itu. Meskipun tidak menyebut nominal, namun Iwan yakin jumlahnya mencapai miliaran rupiah.

Memang tidak ada nominal, namun kita bicara angka miliaran. Saya juga tidak melanjutkan. Saya sampaikan silakan jalan karena punya izin, namun saya juga akan berusaha melakukan penolakan berdasarkan jalur-jalur yang bisa ditempuh. Makanya biasa saya sampaikan ke teman-teman, jauh sebelum kita saling kenal, saya sudah pernah punya kesempatan menjual kampung ini dengan harga yang sangat mahal dan tidak ada yang mengetahui. Saya bisa hidup lebih mewah dibanding hari ini, namun itu tidak saya lakukan,” tegas Iwan.

baca juga : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang

 

Selain pariwisata, warga Desa Salenrang juga mengembangkan produk pupuk organik dari kotoran kelelawar yang banyak ditemukan di dalam gua-gua sekitar kawasan wisata. Selain digunakan sendiri juga dijual dengan harga Rp50 ribu per karung. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tahun 2013 menjadi titik balik bagi perjuangan warga selama enam tahun mengolah tambang. Di tahun itu, pemerintah Kabupaten Maros mencabut 11 izin usaha pertambangan (IUP) tambang di wilayah Kabupaten Maros, termasuk 3 IUP di Rammang-rammang. Pada tahun 2007 – 2013 perizinan tambang memang masih menjadi wewenang kabupaten, dalam hal ini dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan dengan rekomendasi 9 dinas yang lain. Di tahun yang sama, sebelum pengelolaan perizinan diserahkan ke pemerintah provinsi, bupati juga sempat mengeluarkan moratorium izin tambang.

Meski tidak bisa memastikan apa alasan pasti pemerintah mencabut izin tambang tersebut, namun Iwan menduga salah satu sebabnya adalah dampak dari perjuangan panjang mereka selama ini.

Pertimbangan lain saya tidak tahu. Gerakan agak masif memang selama 6 tahun melawan. Kalau saya bilang pencabutan itu terkait gerakan perlawanan itu saya pikir iya. Tidak juga saya tak berani mengatakan pencabutan izin itu sepenuhnya karena gerakan itu, takutnya ada juga gerakan lain yang dibangun teman-teman. Tetapi saya menganggap efek gerakan teman-teman pasti ada. Soal tiga izin di Rammang-rammang yang dicabut saya bisa pastikan itu adalah efek dari gerakan teman-teman.”

Ketika kemudian izin tambang ini dicabut, tanggung jawab besar menanti terkait penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat, termasuk untuk warga yang dulunya pro-tambang.

Iwan sendiri tidak sepenuhnya menyalahkan adanya gerakan masif warga yang pro-tambang, karena terkait masalah ‘perut’ atau ekonomi. Keberadaan tambang untuk kepentingan jangka pendek memang menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat lokal. Untuk menenangkan masyarakat yang pekerjaannya hilang seiring hengkangnya tambang dan mengajak masyarakat untuk tidak lagi permisif dengan kehadiran tambang dan memilih jalan melindungi lingkungan maka solusinya adalah dengan mengurusi masalah ‘perut’ tersebut.

Saya paham betul kalau masyarakat tahu keberadaan tambang itu merusak dan saya percaya mereka punya kearifan lokal yang mengatur kebiasaan mereka tentang konservasi. Tetapi bicara masalah ‘perut’ tak ada yang bisa menghalangi itu, termasuk ketika harus merusak lingkungan tetap akan mereka lakukan. Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk menghentikan itu adalah mengurusi akar masalahnya. Ketika akhirnya izin tambang dicabut maka tugas besar yang menanti adalah menciptakan sumber ekonomi baru bagi masyarakat, dan pariwisata menjadi alternatif utama.”

baca juga : Iwan Dento, Sang ‘Hero’ Penyelamat Karst Rammang-rammang

 

Salah satu yang dinikmati wisatawan adalah melewati Sungai Puteh yang akan membawa mereka ke Desa Berua sebagai lokasi utama. Wisatawan harus membayar tarif perahu berkisar Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pariwisata sebagai Konsep Tanding

Dipilihnya sektor pariwisata bukanlah tanpa pertimbangan matang dan dianggap sebagai konsep tanding antitesis dari tambang, meskipun bukan satu-satunya cara.

Pariwisata mungkin bukan pilihan terbaik, namun jauh lebih baik dibanding tambang. Ini jika dilihat dari perspektif perlindungan kawasan. Melihat situasi sekarang kita cukup senang dimana bisa membuktikan bahwa kita bisa kelola tempat ini dengan baik melalui wisata.”

Hanya saja, menurut Iwan, pariwisata juga memiliki kompleksitas tersendiri yang jika keliru dijalankan juga akan memberi dampak buruk, yaitu eksploitatif. Sehingga kemudian mereka memperkuat di konsep pengelolaan.

Dalam prosesnya memang pariwisata sebagai cara yang cepat untuk menyelamatkan kawasan tetapi juga mampu menjawab persoalan ekonomi masyarakat, kemudian mampu mengubah cara pandang akan karst yang cenderung eksploitatif ke pemanfaatan secara berkelanjutan. Namun ini akan sangat tergantung pada konsep yang dibangun dari awal.”

Pilihan atas pariwisata juga berdasarkan pertimbangan adanya potensi lahirnya kembali izin tambang di Rammang-rammang dan akan diterima dengan tangan terbuka oleh warga.

Kapan potensi (pertambangan) itu ada ya ketika masyarakat tidak mampu menjaga keberlanjutan ekowisata. Bahkan ketika kegiatan wisata ini jalan, potensi itu tetap ada, karena karst itu adalah komoditi bagi sebagian orang. Tetap obyek yang perlakuannya eksploitatif. Makanya yang perlu didorong itu adalah bagaimana pengembangan ekowisata direplika banyak desa sehingga kita punya banyak kawan.”

baca juga : Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi

 

 

Wisatawan mancanegara mengabadikan kunjungannya di Rammang-rammang berlatar belakang bendera Negara Indonesia. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2013 pasca dicabutnya izin mereka sudah menyiapkan Rammang-rammang terbuka untuk kunjungan wisata. Iwan menilai tahun 2013 sebagai tahapan ‘revolusi sosial’. Beberapa warga mulai menyewakan perahu ke wisatawan yang masih terbatas. Rammang-rammang mulai dikenalkan di media sosial dan promosi dari mulut ke mulut. Infrastruktur jalan mulai dibenahi, meski secara umum akses jalan di dalam kawasan masih terbatas, dimana wisatawan masih harus melewati jalan berupa petak persawahan dan empang dan berlumpur. Rumah masih terbatas. Listrik dan internet juga belum tersedia, sehingga ketika ada wisatawan yang hendak menginap di dalam kawasan harus membawa mesin genset dari luar.

Kami menyebut tahun 2013-2014 ini sebagai tahapan eksplorasi dimana kami melakukan identifikasi apa yang bisa dijual sebagai daya tarik wisata yang bisa dikunjungi orang.”

Rammang-rammang dibuka secara resmi pada tahun 2015 yang dikelola oleh sebuah lembaga bernama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Hutan Batu. Dalam hal ini Rammang-rammang muncul sebagai konsep wisata berbasis komunitas. Hal yang masih baru ketika itu.

Pokdarwis Rammang-rammang ini adalah pertama di Maros, seperti halnya konsep ekowisatanya. Pengelolaan wisata di Maros selama ini dikelola pemerintah dan swasta atau investor. Karena baru, di Maros dan bahkan di Sulsel kami tidak punya tempat belajar. Dua tahun awal setelah dibentuk, yang kita bangun adalah sistem pengelolaan, aturannya, antrian perahu, distribusi perahu, siapa mengerjakan apa, kemudian bagaimana keterlibatan warga.”

Pada tahun 2015 mereka mendorong lahirnya Peraturan Desa dan SK Kepala Dinas Pariwisata Pemkab Maros terkait pengelolaan wisata di Rammang-rammang.

Di tahun 2015 ini juga dilaksanakan even Festival Full Moon yang digagas oleh Dinas Pariwisata Sulsel, sebagai program bagi pengembangan destinasi wisata baru. Festival ini sepenuhnya dilakukan oleh dinas dan Pokdarwis masih sebagai pendukung kegiatan saja. Kegiatan ini bersamaan dengan lahirnya Pokdarwis Hutan Batu. Publikasi kegiatan ini cukup besar dan berdampak besar bagi kehadiran Rammang-rammang sebagai tempat wisata yang instagramable.

Bagi kami Festival Full Moon ini adalah ledakan pertama bahwa Rammang-rammang akan menjadi tempat wisata. Itu pemicu awal. Toh ada kekurangan. Ini baru bagi kami. Masyarakat masih hitung-hitung, tetapi secara umum kegiatan ini membantu.”

baca juga : Merawat Mata Air, Menjaga Pasokan Air Bersih Salenrang

 

Kawasan ekowisata Rammang-Rammang merupakan bagian dari kawasan geopark Maros-Pangkep. Foto : Suriani Mappong

 

Dua tahun berturut-turut berikutnya, pemerintah provinsi kembali menyelenggarakan festival, yaitu Festival Hutan Batu di tahun 2016 dan Festival Rammang-rammang di tahun 2017. Pada kedua festival ini, tanggung jawab penyelenggaraan kegiatan sudah diserahkan ke Pokdarwis.

Meski tanpa dukungan Pemda, pengelolaan wisata Rammang-rammang ini terbilang sukses. Tercatat, ada 70 ribu wisatawan domestik dan mancanegara selama 2017 dan sedikit meningkat di tahun selanjutnya, meskipun terjadi penurunan di tahun 2019. Penurunan tajam terjadi di awal Pandemi Covid-19 2020 hingga pertengahan 2021 akibat adanya PPKM. Kunjungan mulai membaik di pertengahan 2021 setelah dilonggarkannya PPKM, meskipun belum sepenuhnya normal. Terlepas dari berkurangnya kunjungan, upaya perbaikan infrastruktur terus dilakukan, termasuk penambahan jalur trekking untuk mencapai lokasi-lokasi yang jauh dan sulit.

Untuk pengelolaan, hingga saat ini masih dikelola oleh Pokdarwis Hutan Batu yang berada dalam nomenklatur Dinas Pariwisata. Ada upaya untuk mengalihkan pengelolaan ke Badan Usaha Unit Desa (Bumdes) karena konsep pengelolaannya memang yang berbasis komunitas, di luar dari nomenklatur Dinas Pariwisata.

Puncak pencapaian Rammang-rammang sebagai destinasi wisata penting di Sulsel ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno datang berkunjung ke Rammang-rammang, selain untuk peresmian Desa Salenrang sebagai Desa Wisata juga untuk mengecek kesiapan proses pengajuan Geopark Maros-Pangkep sebagai UNESCO Global Geopark (UGG), yang akan ditinjau dan dinilai tim asesor UNESCO.

baca juga : Wisata Alam Rammang-rammang: Dibangun Aktivis, Diresmikan Menteri

 

Manteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (kiri) ketika mengunjungi Rammang-rammang untuk peresmian Desa Salenrang sebagai desa wisata pada tahun 2021 silam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Iwan, tidak hanya terkait publikasi, kunjungan pejabat selevel menteri, gubernur, dan bupati ke Rammang-rammang akan sangat membantu klaim ruang warga atas Rammang-rammang. Iwan menilai kehadiran pejabat bisa menjadi bentuk pengakuan bahwa Rammang-rammang patut dijaga, alih-alih dirusak dengan aktivitas penambangan.

Meski sering mendapat pujian dan dianggap paling berjasa dalam mengenalkan Rammang-rammang, Iwan melihat kesuksesan Rammang-rammang saat ini, sebagai sebuah wisata berbasis komunitas, adalah hasil dari sebuah kerja kolektif, bukan karena faktor satu dua orang semata. Ada banyak pihak berperan, baik itu pemda melalui dinas terkait, pemerintah pusat, swasta, pemerintah desa, media, mahasiswa dan bahkan dari masyarakat dan pengunjung itu sendiri.

Bagi kami setiap masyarakat di sini adalah agen publikasi. Kami berpikir setiap orang yang datang ke sini adalah agen dimana tugas kami adalah menjamin agar mereka mampu menceritakan cerita yang baik ke publik. Tak ada yang terlalu mendominasi terkait pengembangan promosi karena masing-masing punya peran.”

Mengelola pariwisata berbasis komunitas ini ternyata bukan hal yang mudah. Tantangan terbesarnya adalah munculnya konflik-konflik antarwarga sendiri karena kondisi euforia. Orang-orang dalam jumlah banyak berdatangan dari segala penjuru negeri. Dalam setahun puluhan ribu wisatawan yang datang berkunjung.

Tahun-tahun itu kami banyak mengurusi konflik karena tiba-tiba tempat ini didatangi banyak orang yang membawa banyak uang, kemudian muncul konflik-konflik, persaingan antarwarga. Tahun-tahun itu sangat banyak menyita waktu. Selain itu kita dipaksakan untuk membangun kapasitas masyarakat yang mumpuni terkait mengelola pariwisata. Itu yang dikerja selama dua tahun.”

 

Industri wisata ini menjadi sumber pendapatan utama bagi 60 persen KK atau sekitar 282 KK dari 500 KK yang ada di desa Salenrang, baik dari usaha penyewaan perahu, kuliner, petugas kebersihan, penginapan, parkir. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kondisi mulai normal dan menemukan bentuk pada tahun 2017. Bahkan di tahun 2018 mereka memiliki ‘tabungan darurat’ untuk membiayai kebutuhan warga yang terkena musibah atau kebutuhan-kebutuhan lain. Ada juga kegiatan pengelolaan lingkungan dan komunitas. Proses belajar banyak dilakukan di tahun-tahun ini. Jika di tahun-tahun awal, fokus ke sistem dan manajemen, maka tahun 2018 fokus pada penyadaran serta pembenahan infrastruktur dengan pendanaannya yang berasal dari berbagai sumber.

Saat ini, hal yang sangat penting, menurut Iwan adalah terus membangun kapasitas masyarakat dan terus menanamkan kesadaran dalam menjaga ruang yang kini mereka kelola sebagai lokasi wisata.

Dengan adanya ketergantungan warga terhadap wisata maka akan menjaga asa ketika ada ancaman masuknya tambang kembali. Itu penting karena hanya kesadaran ini yang akan membuat mereka melawan, ketika kepentingan ekonomi mereka terganggu maka mereka akan melawan.”

 

Dukungan Regulasi

Disadari bahwa untuk memperkuat klaim ruang Rammang-rammang dan kawasan karst pada umumnya di Kabupaten Maros dan Pangkep dibutuhkan regulasi, tidak hanya di tingkat nasional, juga di tingkat daerah. Diskusi panjang dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk dari pihak legislatif. Sosok Irfan AB dan Wawan Mattaliu, anggota DPRD Sulsel yang berasal dari Kabupaten Maros banyak berdiskusi dengan warga dan aktivis yang kemudian menginisiasi lahirnya perda perlindungan karst. Pada tahun 2019 lahirlah Perda No.3/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Karst Maros Pangkep.

Keberadaan Perda ini dinilai sangat penting bagi warga Salenrang yang tinggal di sekitar kawasan karst, termasuk keberlangsungan industri pariwisata mereka dan akan berdampak pada keberlangsungan wilayah kelola.

Kami berharap aktivitas kami sekarang ini akan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Kita butuh pengakuan negara, karena ini ternyata penting. Makanya kami berambisi untuk mewujudkan pengakuan ini,” ungkap Iwan.

 

Panorama dan aktivitas warga di Kampung Berua sebagai pusat wisata Karst Rammang-rammang, Maros, Sulsel. Foto : Nur Suhra Wardyah/Mongabay Indonesia

 

Perda perlindungan karst akan melindungi kawasan dari dampak eksploitasi yang berlebihan, baik dari perusahaan ataupun masyarakat sendiri. Termasuk potensi konflik masyarakat dengan pemerintah.

Konflik akan bisa dihindari dengan adanya kejelasan batas-batas ruang kelola ini, dan itu harus melibatkan dan mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar kawasan,” jelas Iwan.

Perda ini juga adalah pertama di Indonesia yang bicara terkait karst. Kehadiran perda ini dianggap penting karena selama ini ketika bicara karst rujukan selalu mengarah pada peran pemerintah pusat.

Selama ini kan orang berpikir bahwa pengelolaan karst itu hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Perda ini juga menunjukkan bahwa bagi Pemda, ini adalah sesuatu yang sangat penting. Kalau perda ini dilaksanakan sangat bagus, karena dia bicara tentang karst Maros Pangkep, artinya cakupannya tidak terlalu luas. Perda itu kan perda perlindungan dan pengelolaan jadi dia mengikat dua kata itu, dilindungi dan dikelola, kawasan esensial karst. Isinya juga bila dilaksanakan dengan baik, misalnya bagaimana mengawal zonasi. Cakupan perda itu penting dan akan berefek ke wilayah-wilayah lain.”

 

Makna Pengusulan Geopark UNESCO

Dukungan lain datang dengan diusulkannya kawasan karst Maros Pangkep ke UNESCO sebagai geopark. Pada pertengahan tahun 2020, 15 taman bumi nasional, termasuk di dalamnya Geopark Maros-Pangkep diajukan oleh berbagai kalangan menjadi UNESCO Global Geopark (UGG). Pada akhir tahun 2020, pihak UGG telah memilih dua Geopark yang memenuhi persyaratan yakni Geopark Maros-Pangkep dan Geopark Ijen Banyuwangi.

Menurut Dedi Irfan, General Manager Badan Pengelola Geopark Nasional Maros-Pangkep, Geopark Maros Pangkep sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan strategis pengembangan pariwisata di Sulawesi Selatan, khususnya wisata alam dan petualangan yang memiliki alam geodivesity (geologi), biodiversity (flora dan fauna) dan cultural diversity (budaya) yang bertaraf nasional.

menarik dibaca : Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

Mulut gua Leang Jarie, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya kawasan karst Maros-Pangkep ditetapkan sebagai geopark nasional pada tahun 2015 dan menyandang status geopark nasional sejak 2017. Geopark Maros-Pangkep adalah salah satu dari 15 geopark nasional yang dimiliki oleh Indonesia dan satu-satunya Geopark berstatus nasional di Pulau Sulawesi.

Delineasi kawasan Geopark Maros-Pangkep meliputi 2 kabupaten (Maros dan Pangkep), dengan wilayah darat seluas 2.243 Km persegi dan kawasan laut dengan luas 2.815 Km persegi, dengan persentase luas daratan sebesar 44,6 persen dan lautan 55,4 persen, serta panjang garis pantai 88,5 Km. Semuanya tercakup dalam 7 jalur Geotrail dan 30 Geosite. Jumlah populasi manusia yang mendiami kawasan sebesar 665.000 jiwa, bersuku Bugis dan Makassar.

Dedi menjelaskan bahwa sebagai Geopark, terdapat berbagai destinasi pariwisata berbasis alam dan berkelanjutan yang ada di Maros-Pangkep. Mulai dari situs geografis, situs biologi, dan situs budaya. Situs geografis seperti Kompleks Rijang Bantimala, Kompleks Metamorfik Pateteyang-Cempaga, Batuan Kerak Samura Parenreng, dan lainnya.

Sementara situs biologi seperti Hutan Keilmuan Bengo-Makaroewa, Karaenta Primary Forest, Taman Kehati, Taman Botanik Tonasa, juga Taman Argo Botanik Puncak. Sedangkan situs budaya seperti Komplek Prehistorik Bellae, Taman Prehistorik Sumpang Bita, Situs Berburu, dan lainnya.

Kawasan ini diatapi oleh puncak Gunung Bulusaraung, 1.300 mdpl sebagai jalur pendakian petualangan dengan pemandangan sunrise terbaik. Memiliki perbukitan dengan tipe tower karst terluas kedua di dunia yang di dalamnya terdapat sejumlah spot wisata air terjun dan lanskap yang indah, seperti air terjun Bantimurung, Lengang dan Lacolla dan kawasan Pattunuang,” jelas Dedi.

 

Panorama Kampung Berua, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Pengusulan Geopark Maros Pangkep menjadi harapan akan semakin memperkokoh kedaulatan ruang masyarakat Rammang-rammang, apalagi dengan adanya dukungan Bupati Maros HAS Chaidir Syam yang mengatakan siap duduk bersama untuk menjaga dan melestarikan kawasan karst Rammang-Rammang.

“Kawasan karst Rammang-Rammang yang sudah diusulkan ke UNESCO sebagai ‘World Heritage’, karena merupakan kawasan karst terbesar ketiga di dunia, harus dijaga bersama,” kata Chaidir.

Chaidir mengatakan, selaku pengambil kebijakan senantiasa menerima masukan baik dari akademisi, lembaga masyarakat dan warga lokal untuk mencari solusi terbaik. Ia juga mengaku akan sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan, termasuk membuat fasilitas pendukung di kawasan wisata itu.

Menurut Iwan Dento, secara konsep geopark dinilai sangat bagus, karena ada hal-hal substantif yang harus dijaga seperti kekayaan geologi, biodiversitas dan kultur. Geopark ini dianggap dapat menjaga siklus dan ekosistem yang ada. Hanya saja Iwan belum memahami betul sektor apa yang akan mendominasi dalam pengelolaan karst ini ketika ditetapkan nantinya, apakah dominan bicara tentang infrastruktur, persoalan pariwisata atau pada soal konservasi.

Kritikannya terkait geopark bahwa ada kecenderungan arahnya ke pariwisata padahal seharusnya jauh lebih luas, termasuk ke konservasi. Sehingga ia berharap perlu ada ruang-ruang intervensi ke dalamnya, agar semua kepentingan terakomodir. Meski demikian, ia tetap berharap kehadiran pengakuan geopark dari UNESCO ini dapat memperkuat klaim ruang Rammang-rammang.

Hal yang menarik tentang geopark itu adalah soal level perlindungan yang sampai ke internasional yaitu UNESCO, yang artinya kita berharap bahwa UNESCO ikut mengintervensi dalam kaitannya dengan konservasi. Ketika nantinya jebol di regulasi nasional maka ada aturan atau institusi internasional yang ikut mengintervensi itu. Perlindungan atas budaya oleh UNESCO menurut saya juga hal menarik dan penting, meski juga tetap hati-hati dalam pengelolaannya.”

Kehadiran geopark UNESCO sendiri, menurut Iwan, sebagaimana regulasi nasional tidak menjamin akan memberi perlindungan kawasan dari ancaman masuknya kembali tambang.

Boleh dikata hampir semua regulasi tidak menjamin. Hutan lindung saja tidak menjamin, karena ada proses pelepasan. Kalau ada zonasi seperti di geopark juga tidak menjamin. Meski demikian dengan adanya pengakuan UNESCO ini memberi beban moril ke pemerintah bahwa status ini dilindungi dunia loh, masa masuk tambang. Apalagi di Geopark ini setiap tahun ada evaluasi maka bila statusnya dicabut, pemerintah pasti akan malu jika dicabut,” pungkas Iwan.

 

***

 

Tulisan ini merupakan bagian dari seri tulisan tentang Rammang-rammang

 

Exit mobile version