Mongabay.co.id

Ini Rekomendasi Perguruan Tinggi untuk Perbaikan Pengelolaan Perikanan Indonesia

 

 

Kalangan perguruan tinggi se-Indonesia mengungkapkan perhatiannya terhadap kebijakan pengelolaan perikanan agar dilakukan secara berkelanjutan sehingga berdampak secara ekonomi dan tetap menjaga kelestarian sumber daya kelautan.

Hal tersebut terungkap dalam pertemuan tahunan Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia (FP2TPKI) di Kota Ternate, Maluku Utara pada 17 hingga 19 Mei 2022 lalu. Pertemuan itu dihadiri 150 dekan, ketua jurusan dan koordinator/ketua program studi bidang ilmu perikanan dan kelautan perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia.

Pertemuan bertema Dialog Kebijakan Nasional Pengelolaan Perikanan Indonesia juga melibatkan Yayasan Ecosystem Nusantara (Econusa) dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang turut menyampaikan rekomendasi terkait aspek pembangunan kelautan dan perikanan yang dirasa belum memenuhi aspek keadilan.

Dr. Ir. T. Ersti Yulika Sari M. Si. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau, mewakili FP2TPKI, menjelaskan, selain membahas kurikulum perikanan dan kelautan, forum itu juga memberi masukan kebijakan bidang perikanan dan kelautan.

Kampus melalui Tri Dharma perguruan tinggi selain penelitian, mengajar, juga pengabdian masyarakat. Biasanya keluhan masyarakat muncul dalam pengabdian masyarakat. Hal ini yang sering kita sampaikan ke pemerintah,” jelasnya Kamis (19/5) lalu.

baca : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Saat ini katanya kampus butuh kolaborasi dan sinergi mendorong kebijakan dunia perikanan. Misalnya soal perikanan tangkap terukur, dimana ada peta pengelolaan perikanan terukur dalam setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP).

Masukan kita ke pengambil kebijakan harus melihat control input dan control output-nya. Jika input-nya tidak benar akan berdampak pada output-nya. Yang kurang dari setiap kebijakan yang dihasilkan adalah monitoring dan pengendalian. Untuk monitoring butuh sinergi dengan kawan-kawan NGO. Perguruan tinggi tidak punya kewenangan. Kampus menyuplai data dan memiliki peneliti yang dapat membantu NGO. Termasuk menggandeng dinas perikanan,” jelasnya.

Dia bilang mendorong kebijakan pembangunan perikanan dibutuhkan sinergisitas yang sifatnya quatrohelix yakni perguruan tinggi, industri, pemerintah dan asosiasi/komunitas. Asosiasi atau komunitas yang mendorong inovasi untuk peningkatan produktivitas, daya saing dan kemandirian pangan.

Tujuannya pembangunan perikanan berbasis inovasi terutama dalam pengembangan teknologi digital untuk peningkatan produktivitas blue economy pada tingkat global (Agromaritime 4.0). ”Sekarang ini kampus hanya sebatas melakukan riset. Fokus masuk jurnal untuk kenaikan pangkat, sementara riset yang berguna untuk industri perikanan belum tercipta . Ini jadi persoalan. Dalam pertemuan tahunan ini juga jadi bahasan serius,”ujarnya.

Wiro Wirandi, dari Yayasan EcoNusa menjelaskan kelautan dan perikanan merupakan kekuatan bangsa Indonesia yang diharapkan menjadi leading sector di masa mendatang. Kelautan dan perikanan sudah menjadi agenda prioritas pembangunan nasional, sesuai amanat UU No.17/2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Program lintas bidang pembangunan kelautan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait juga telah dirumuskan di dalam RPJMN 2019-2024.

baca juga : Tantangan Mewujudkan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan

 

Selain ikan teri (Engraulidae), ikan seperti kembung (Rastrelliger), layur (Trichiurus lepturus) juga diangkut ke darat untuk dikeringkan di Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Namun, pengembangan sumber daya kelautan dan perikanan tidak cukup hanya dengan menggerakkan sumber daya, mengandalkan pengelolaan dan pengamanan. Masih banyak aspek perlu dibangun sebagai modal pembangunan untuk memastikan kesejahteraan nelayan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Indonesia.

Hari ini, kondisi sumber daya ikan mengalami tangkapan berlebih (overfishing) di hampir semua WPP. Terjadi konversi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk pembangunan, dan adanya perubahan iklim. Ini masalah serius,” katanya.

Terkait dampak overfishing, menurut Wiro, sudah sangat nyata. Data penangkapan yang diolah Econusa di beberapa WPP terutama di WPP 715 dan 714 terjadi penurunan tangkapan cukup signifikan. Data hasil tangkapan secara nasional di mana mengalami penurunan hingga 500 ribu ton ikan di 2021.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah mengeluarkan Kepmen KP No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di WPP NRI. Regulasi ini masih menjadi perdebatan berbagai kalangan yang perlu juga mendapat perhatian.

Sedangkan Grace Gabriella Binowo, Acting Director for International Engagement and Policy Reform, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merekomendasikan lima masalah perikanan, kelautan dan pesisir kepada pemerintah.

Pertama pengelolaan ekosistem karbon biru yakni ekosistem pesisir mangrove dan padang lamun.

Menurutnya, kepemimpinan yang kuat dari pemimpin kementerian/lembaga nasional dan kepala daerah dengan dorongan politik untuk mendukung perlindungan ekosistem pesisir (mangrove dan padang lamun), ditindaklanjuti dengan perbaikan kerangka hukum dan kebijakan melindungi ekosistem pesisir.

Perlu mengedepankan pengelolaan ekosistem karbon biru atau pesisir berbasis komunitas/masyarakat lokal dengan pendekatan berbasis insentif. Pemerintah juga harus menjamin keamanan tenurial masyarakat pesisir serta pendistribusian yang berkeadilan atas manfaat dari perlindungan ekosistem karbon biru,” kata Grace.

Perlunya memaksimalkan sumberdaya keuangan untuk perlindungan, restorasi dan konservasi ekosistem pesisir. Termasuk memperkuat kualitas dan validitas data mengenai ekosistem karbon biru.

baca juga : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi kedua, yakni masalah keamanan laut (maritime security). Bagi IOJI, ancaman kapal-kapal berbendera Vietnam dan Tiongkok berpotensi terjadi kembali dan meningkat pada 2022. Hal ini menimbang situasi geopolitik kawasan, rencana pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut Indonesia, khususnya Laut Natuna Utara, dan ambisi Tiongkok menguasai secara de facto klaim nine dash line.

Langkah ke depan menurut IOJI, Pemerintah perlu memperkuat koordinasi patroli dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif. Patroli perlu diikuti shadowing dan pengusiran terhadap kapal perang dan kapal pemerintah lain untuk kepentingan non-komersial yang memiliki imunitas, mengancam keamanan laut dan mengganggu hak kedaulatan Indonesia.

Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif perlu disertai upaya diplomasi terhadap negara- negara yang sering memberikan ancaman keamanan laut Indonesia, termasuk Vietnam dan Tiongkok. Misalnya melalui upaya perumusan provisional arrangement dengan Pemerintah Vietnam di tahun 2022 untuk melindungi sumber daya kelautan Indonesia.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diminta menggalakkan riset ilmiah untuk memetakan kondisi kesehatan laut, khususnya terumbu karang, di Laut Natuna zona timur dan utara yang selama ini dimanfaatkan secara ilegal oleh KIA Vietnam dengan pair trawl.

Pemerintah Indonesia perlu secara tegas dan terbuka menyampaikan nota protes kepada Tiongkok untuk segala tindakan yang didasarkan pada klaim nine dash line yang tidak berdasar.

Pemerintah Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan political will dalam penanganan sampah plastik di laut dari aktivitas kapal melalui kajian efektivitas kebijakan penanganan sampah plastik di laut, termasuk port reception facilities dan pendaftaran serta pelaporan alat tangkap ikan.

perlu dibaca : Banyak Kapal Asing di Natuna, Sayangnya Patroli Laut Terbatas

 

Proses penangkapan satu dari enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021) oleh kapal pengawas KP Hiu Macan 01. Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Rekomendasi ketiga soal perlindungan HAM pekerja migran Indonesia pelaut perikanan Indonesia (PMI PP). IOJI meminta Pemerintah mengakselerasi penerbitan PP tentang Perlindungan dan Penempatan Pelaut, Awak Kapal dan Pelaut Perikanan untuk menunjukan komitmennya dalam perlindungan PMI PP dan Perpres tentang Atase Ketenagakerjaan.

Dalam masa transisi sudah harus dilakukan penyesuaian perizinan sesuai UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan sejak masa transisi, penempatan PMI PP hanya boleh melalui sistem perizinan yang dimiliki oleh Kemenaker dan BP2MI.

Pemerintah Indonesia perlu membuat bilateral agreement dengan Pemerintah Taiwan dan Tiongkok terkait pelindungan dan penempatan PMI PP.

Rekomendasi keempat soal Kebijakan Pengelolaan Perikanan Terukur. IOJI meminta sistem kontrak serta pelibatan penanaman modal asing (PMA) dan badan usaha asing dalam pemanfaatan sumberdaya ikan perlu dipertimbangkan kembali. Jika tujuannya menambah pendapatan negara dari pajak dan PNBP sektor perikanan, maka secara konstitusional mengoptimalkan peran BUMN Perikanan.

Meningkatkan kualitas data dan laporan pendaratan ikan. Memanfaatkan data dan verifikasi kebenaran materiil atas laporan tersebut. sehingga tidak ada ikan yang tidak dilaporkan (unreported).

baca juga : 2022, Sektor Kelautan dan Perikanan Ingin Berlari Cepat

 

Kapal-kapal ikan bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, 2016. Foto : shutterstock

 

Melakukan pertukaran data dengan Kementerian Keuangan dan koordinasi intensif untuk meningkatkan penerimaan pajak dan PNBP sektor perikanan.

Rencana diperbolehkannya PMA dan badan usaha asing memanfaatkan sumberdaya ikan harus diimbangi dengan kualitas dan intensifikasi pengawasan di WPPNRI. Indonesia belum mampu melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal ikan di WPPNRI dengan optimal karena keterbatasan kemampuan operasional, jumlah armada patroli, serta belum ada koordinasi yang efektif antara lembaga penegak hukum laut,” kata Grace.

Terakhir, IOJI merekomendasikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. Terutama meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. Hal sangat penting adalah penyediaan modal dan sarana prasarana yang dibutuhkan. Perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan pengawasan kepada DKP kabupaten/kota. Peran kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) terutama di wilayah kepulauan, perlu ditingkatkan Pemerintah bersama masyarakat sipil dan perguruan tinggi.

 

Exit mobile version