Mongabay.co.id

PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di Sangihe

Sangihe, pulau cantik di Sulawesi Utara yang memiliki keindahan alam dan potensi keragaman hayatinya terancam rusak akibat hadirnya perusahaan tambang emas. Foto: Foto: Wikimedia Commons/Government of Sangihe Islands Regency/Public Domain

 

 

 

 

 

Perjuangan warga Sangihe tak ingin ada pertambangan emas di pulau mereka mendapatkan angin segar. Meskipun gugatan di PTUN Jakarta kandas, kabar menggembirakan datang dari PTUN Manado. Kamis (2/5/22), gugatan pencabutan izin lingkungan pertambangan emas warga Sangihe, dikabulkan majelis hakim.

“Ini hasil dari perjuangan kita semua,” kata Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island, aliansi dari puluhan organisasi penolak tambang emas di Sangihe. “Kami bersyukur pada Tuhan. Menjaga ruang hidup kami, adalah pilihan.”

Warga menggugat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Utara yang memberi izin lingkungan penambangan emas kepada PT Tambang Mas Sangihe (TMS), dan Keputusan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut tentang pertimbangan teknis penerbitan perubahan SKKL dan izin lingkungan.

Dalam amar putusan, majelis hakim PTUN Manado mengabulkan pencabutan Keputusan Kepala DPMPTSP (tergugat I) dan DLHD (tergugat II). Pengadilan memerintahkan tergugat mencabut keputusan itu.

Bagi Jan Takasihaeng, Koordinator Save Sangihe Island, putusan ini adalah kemenangan masyarakat Sangihe. Putusan ini sekaligus menjegal operasi TMS, yang sudah mendapat izin dari Menteri Energi Sumber Daya Mineral, pada 2021. Kalau perusahaan ini masuk bakal menguasai konsesi seluas 42.000 hektar alias separuh dari luas Pulau Sangihe, hanya 73.689 hektar (736,89 km2) selama 33 tahun.

 

Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

 

Jan minta para aparat penegak hukum menaati keputusan ini. “Perusahaan yang sudah dibatalkan izin oleh pengadilan, harus dihentikan operasinya. Jangan sebaliknya justru dikawal aparat.”

Sebelumnya, warga Sangihe juga menggugat keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Minerak (ESDM), Arifin Tasrif, tentang persetujuan peningkatan tahap operasi produksi kontrak karya TMS. Gugatan ke PTUN Jakarta oleh Elbi Pieter, perempuan asal Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, bersama kelompok petani, nelayan, dan pendeta asal Sangihe.

Setelah beberapa bulan sisang bergulir, pada 20 April 2022, majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan warga. Dalam putusan, hakim PTUN Jakarta mengabulkan eksepsi Menteri ESDM sebagai tergugat I dan TMS sebagai tergugat intervensi, yang mengatakan, gugatan bukan kewenangan PTUN.

“Menarik sebetulnya, putusan-putusan terkait kontrak pertambangan di PTUN Jakarta, termasuk putusan Sangihe ini,” kata Muhammad Jamil, tim kuasa hukum.

“Itu putusannya sama persis. Hakimnya beda-beda padahal. Tapi pertimbangan hukumnya sama.”

Kenapa menarik? “Kami melihat ada kecenderungan PTUN Jakarta itu tak ingin memeriksa detil pokok perkara yang digugat, ketika kontrak digugat,” kata Jamil.

“Mereka cenderung melempar bola panas ini ke pengadilan di atasnya, yaitu PTTUN, atau ke MA [Mahkamah Agung].”

Jamil beranggapan, gugatan lingkungan hidup begitu pelik karena kurang hakim yang bersertifikat lingkungan.

 

Baca juga: Warga Gugat Hukum Izin PT Tambang Mas Sangihe

Warga Sangihe menolak tambang emas. Foto: Save Sangihe Island

 

Ancaman Sangihe

“Ketika ada izin dari Menteri ESDM untuk TMS kami khawatir,” kata Venetsia Andemora, warga Sangihe dalam konferensi pers daring beberapa bulan lalu.

Orang Sangihe menentang rencana TMS yang bakal mengeruk emas dari perut Sangihe. Bagi mereka, tambang akan merusak lahan dan mencemari laut ribuan nelayan menggantungkan hidup.

Sangihe, adalah pulau kecil Indonesia berbatasan dengan Filipina. Secara administrasi, ia berbentuk kabupaten, bagian dari Sulawesi Utara. Keanekaragaman hayati pulau ini begitu kaya, tanah pun subur. Bentangan gunung menjulang menyediakan pasokan air buat orang Sangihe.

Perut bumi Sangihe teridentifikasi mengandung emas sejak tahun 1980-an. Perkampungan Binebas, Bawone, dan Taware berada di atas wilayah itu. Para tetua Sangihe bahkan menjuluki pulau ini sebagai “rimpulraeng” tanah emas.

Bagi Andemora, pemberian izin pada TMS, mengundang kehancuran besar dan meninggalkan dampak berkelanjutan bagi Sangihe. “Bukan hanya bagi generasi sekarang, juga akan datang. Berdampak juga pada lingkungan hidup, laut, air bersih, tanah pertanian dan lain-lain.”

Konsesi TMS di bagian selatan pulau, perkampungan, beberapa pulau kecil, hingga Gunung Sahendaruman, sebuah kawasan lindung seluas 3.861 hektar.

“Kawasan lindung ini wilayah penting dan paling rentan,” kata Rere Christanto, dari Walhi Nasional.

Kalau TMS mulai operasi, katanya, ekosistem yang selama ini menopang kehidupan pulau kecil itu bakal runtuh. “Perubahan bentang alam apapun di pulau kecil ini otomatis akan mengancam warga,” katanya.

Selain itu, TMS pakai teknik pertambangan terbuka, dengan meledakkan dan melubangi permukaan tanah. Untuk ekstraksi mineral, TMS memakai sianida, bahan kimia beracun dan berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup.

TMS, adalah bagian dari Baru Gold asal Kanada. Sekitar 70% saham dikuasai Sangihe Gold Corporation, bagian Baru Gold; 10% oleh PT Sungai Belayan Sejati asal Indonesia. Kemudian, 11% kepemilikan PT Sangihe Prima Mineral dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%. Untuk memulai operasi, TMS mendapat pinjaman berupa emas senilai $13.500.000 USD dari Isatis Capital Group of Montreal.

 

Inilah seriwang sangihe, burung langka yang hidupnya dilindungi P106 tentang

 

Satwa endemik

Pulau Sangihe merupakan area burung endemik atau endemic bird area (EBA). Masuk satu dari 33 area penting biodiversitas dan burung (important bird and biodiversity area/IIBA) di Sulawesi. Ia juga area kunci biodiversitas (key biodiversity area/KBA).

Sejak lama, Pulau Sangihe jadi tempat persinggahan burung migran–didominasi jenis raptor–sebagai jembatan penghubung daratan Filipina dan Indonesia.

Setidaknya, 87 jenis burung hidup berkembang di Pulau Sangihe dan Gunung Sahendaruman termasuk tempat beristirahat mereka. Ada 32 jenis burung migran, dan tujuh adalah burung endemik terancam punah.

Hutan di Gunung Sahendaruman, adalah hutan primer tersisa di Sangihe, sekaligus penyedia air bersih buat warga.

Gunung Sahendaruman termasuk daerah penting bagi burung dan keragamanhayati (DPB) yang kini dalam bahaya. Di Indonesia, dari 228 DPB yang diakui BirdLife International, ada dua masuk dalam kategori bahaya.

Gunung Sahendaruman rumah bagi seriwang Sangihe, burung endemik Sangihe berada di ambang kepunahan. Kemudian, serindit Sangihe dan delapan burung endemis lain. Data Burung Indonesia, empat jenis terancam punah dengan status kritis dan satu jenis genting.

Burung status kritis itu seperti seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi), anis-bentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni) dan udang merah Sangihe (Ceyx sangirensis). Jenis genting endemis yaitu burung madu Sangihe (Aethopyga duyvenbodei).

Seriwang Sangihe sempat dinyatakan punah. Satu-satunya spesimen awet dibuat naturalis berkebangsaan Jerman, AB Meyer pada 1873.

Selama 125 tahun, tak seorangpun melihat seriwang Sangihe hidup, hingga sebuah ekspedisi 1998 menemukannya. Dari ekspedisi itu, seriwang Sangihe diberi nama Manu’ Niu, diambil dari nama seorang warga setempat yang pertama menemukannya.

 

Pulau Sangihe, pulau kecil nan indah yang terancam tambang emas. Foto: Wikipedia

 

********

Exit mobile version