Mongabay.co.id

Kala Babi Hutan Kena Wabah ASF, Mangsa Susut Ancam Harimau Sumatera?

 

 

 

 

Sejak beberapa tahun ini, puluhan ribu babi mati termasuk babi hutan di Sumatera terkena virus flu babi Afrika (African swine fever/ASF). Kematian awal ditemukan di Sumatera Utara, menyusul di provinsi lain di Sumatera. Seturut itu, kasus harimau keluar dari hutan dan masuk pemukiman juga terjadi di berbagai wilayah di Sumatera. Satwa mangsa harimau mati terserang penyakit, harimau kekurangan sumber makanan.

Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat menilai, ASF mengancam keberadaan harimau.

“ASF di Sumbar cukup parah. Terutama di Agam dan Pasaman Barat,” kata Ardi andono, Kepala BKSDA Sumbar, baru-baru ini.

Kabar terakhir pada Desember 2021, warga Maua Hilia Jorong Kayu Pasak Timur di Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam menemukan puluhan bangkai babi hutan liar di perkebunan. Selama tiga bulan berturut-turut warga menemukan kejadian serupa.

Ardi mengatakan, ada tiga penyebab penyebaran ASF meluas di Sumatera. Pertama, jual beli antar daerah dan jalur perjalanan.

Kedua, babi domestik mati dibuang ke sungai. Ketiga, interaksi babi hutan dengan anjing dari daerah yang ada ASF-nya.

ASF ini, katanya, berasal dari Sumatera Utara, kemudian ada limbah atau babi mati dibuang ke sungai akhirnya virus menjalar kemana-mana. “Virus ini mudah sekali menular terutama dari babi walaupun hanya dari udara. Kemudian juga tulangnya itu kalau sudah kena ASF tidak akan hilang virus dari situ,” katanya.

Ardi bilang, membuang bangkai babi ke sungai bukan solusi.

“Satu satunya cara bila menemukan bukan dibuang ke sungai. Tapi dibakar. Itu yang terbaik. Kedua dikubur. Selama ini masyarakat membiarkan babi-babi liar itu mati dan dilemparkan ke sungai.”

 

Baca juga: Harimau Bermunculan di Jambi, Apa Panyebabnya?

Babi yang terserang Virus ASF Foto : Yamin Lewar

 

ASF, kata Ardi, sudah menyebar. Gejala ini harus disikapi dengan komunikasi yang baik karena ASF benar-benar dapat memicu konflik.

Dia berupaya berkomunikasi dengan forum buru babi (Forbi) agar meminimalisir penyebaran ASF dan jumlah babi liar.

“Kemudian membatasi ruang gerak teman-teman Forbi. Tidak dilarang tapi kita menempatkan pada satu lokasi dimana diperbolehkan untuk berburu. Semacam arena.”

Dengan ada arena berburu babi dapat jadi sumber ekonomi baru. “Kemudian orang juga bisa beternak babi hutan. Kalau satu grup berapa kali main lalu bayar berapa, disitu ada regulasinya.”

Dalam beberapa pemberitaan pada November 2021, anak sapi warga Nagari Lubuk Gadang Utara, Kecamatan Sangir,  Solok Selatan kena terkam harimau. Tidak jauh dari tanggal itu ada empat sapi milik warga dimangsa harimau di Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aie, Palembayan, Agam, masih November 2021.

Tengku, Koordinator Sintas Sumatera Barat yang memonitor pergerakan harimau Sumatera mengatakan, dua tahun terakhir jarang ada jejak babi di lapangan.

“Dari keterangan warga mengatakan banyak babi mati di perkebunan. Saat di lapangan (lokasi monitoring harimau) tidak ditemukan jejak babi (dua tahun terakhir),” katanya.

Terkait satwa mangsa paling banyak di Sumatera Barat, katanya, memang babi. “Saat pertama monitoring dahulu jejak babi banyak ditemukan (di sekitar habitat harimau).”

Jambi juga alami serupa. Wabah ASF diduga menjadi penyebab harimau sering terlihat di pemukiman. Wabah ini dipastikan sudah masuk Jambi pada 2020.

“Lima sampel babi hutan dari Merangin yang sudah kami uji di laboratorium positif mengandung virus flu babi Afrika” kata Meilina, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Jambi.

Dia menduga, virus ini dari Sumatera Utara, karena hampir seluruh hasil tangkapan babi hutan dari Jambi dikirim ke provinsi itu. “Hanya Kerinci yang belum pernah melaporkan ada kasus kematian babi,” katanya.

 

Baca juga: Harimau di Jambi Mati karena Malnutrisi, Satwa Mangsa Menipis?

Harimau yang keluar dari hutan di Jambi ke pemukiman warga lalu dievakuasi. Kemudian mau rilis ke hutan kembali. Kematian babi hutan, sebagai mangsa utama harimau diduga kuat banyak menyebabkan si raja hutan keluar mencari pakan. Foto: BKSDA Jambi

 

Beberapa pengepul babi hutan yang dipantau Dinas Peternakan di berbagai wilayah kabupaten seperti Sarolagun, sudah tak lagi mengirimkan babi hutan keluar Jambi.

Dari pantauan Mongabay, di pasar-pasar tradisional Kota Jambi yang menjual daging babi, baik ternak maupun babi hutan sudah tak lagi ada babi hutan. Harganya pun sudah menyaingi harga daging sapi Rp110.000 perkg.

Hal ini juga berdampak pada pergantian pakan harimau penghuni Kebun Binatang Taman Rimbo, Kota Jambi.

“Sudah satu tahun terakhir ini harimau kami beri pakan daging sapi, tak daging babi lagi,” ujar Tarmizi, dokter hewan yang bertugas di kebun binatang itu.

Pergantian pakan ini karena pemasok daging babi langganan mereka tidak lagi mampu menyediakan setok daging babi. Mereka sudah mencoba mencari pemasok baru dan daging babi hutan di pasar namun sulit. Harga daging babi ternak hampir sama dengan daging sapi hingga mereka putuskan mengganti babi dengan sapi.

Pasokan daging babi turun juga diungkap Adoni, Kepala Rumah Potong Hewan Kota Jambi.

“Sejak awal tahun ini kami mendatangkan setok babi ternak dari Lampung.” katanya.

Dia memastikan, babi yang masuk sudah melalui proses karantina dan pengecekan kesehatan hingga bebas virus ASF.

Untuk mencegah makin meluas penyebaran virus ini, Dinas Peternakan Jambi mensosialisasikan penerapan kebijakan biosecurity pada kegiatan yang berhubungan dengan hewan babi terutama babi ternak.

“Para peternak babi kami imbau selalu membersihkan alas kaki mereka dengan disinfektan sebelum memasuki kandang, membersihkan kandang babi mereka berkala dengan cairan disinfektan. Serta segera memusnahkan bangkai babi,” kata Meilina.

Hingga saat ini, katanya, belum ditemukan vaksin pencegah virus flu babi hingga penerapan biosecurity sangat penting untuk mencegah penularan virus ini.

 

Baca: Tiga Harimau Sumatera Mati Akibat Jerat di Aceh Timur

Harimau ditangkap di Desa Nalo Gedang, Merangin. Rumah dan bahan makanan harimau terus berkurang karena rumah mereka terus dihancurkan manusia. Foto: BKSDA Jambi

 

Penularan cepat

Erni Suyanti Musabine, Ketua Forum Harimau Kita mengatakan, ASF merupakan virus hemoragik pada babi yang menginfeksi ternak ataupun liar. “Dari semua umur, dan jenis kelamin. Menyebabkan kematian 90-95% setelah 4-9 hari menunjukkan gejala klinis sakit,” katanya.

Dia blang, salah satu penyebaran ASF pada babi hutan, katanya, dipengaruhi kepadatan populasi babi pada suatu wilayah.  Kalau kepadatan populasi tinggi, penularan cepat hingga kematian juga tinggi.

Erni mengatakan, babi hutan salah satu satwa mangsa harimau selain rusa, tapir dan kijang dan lain-lain.

“Jika suatu wilayah ada penggunaan ruang sama antara harimau dengan babi hutan, jika populasi babi hutan lebih mendominasi dari polusai satwa mangsa harimau lain, maka ASF akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan mangsa harimau.”

Kala babi jadi mangsa dominan dan menyusut maka rawan konflik atau interaksi negatif antara harimau dengan manusia maupun ternak masyarakat.

 

Pengawasan produk hewan lemah

Roza Azizah Primatika, Etih Sudarnika, Bambang Sumiarto dan Chaerul Basri  menuliskan tantangan dan kendala pengendalian ASF di Jurnal Sain Veteriner Universitas Gadjah Mada. Mereka menemukan, kendala pemerintah terkait pengawasan produk hewan dan pergerakan lalu lintas hewan.

 

Beginilah kondisi harimau sumatera yang mati akibat jerat di Aceh Timur, Minggu [2404/22]. Foto: Dok. Polres Aceh Timur

Mengenai kendala peternakan babi, dengan penggunaan swill feeding tanpa pemasakan oleh peternak. Roza Azizah dkk menuliskan hal itu sebagai salah satu faktor yang belum dapat diatasi hingga kini.

Pengendalian dan penanggulangan untuk memutus mata rantai penularan ASF adalah pengamanan daerah bebas, daerah terduga dan daerah tertular. Pemberantasan daerah tertular dan daerah wabah atau daerah terduga dan peringatan dini di daerah bebas dan tertular.

Menurut mereka, upaya pengendalian ASF dengan melakukan peningkatan karantina dan biosekuriti ketat serta membatasi lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak sakit dan terpapar.

Matthew Scott Luskin, Erik Meijaard, Selly Surya, Sheherazade, Chris Walzer dan Matthew Linkie dalam jurnal konservasi Wiley menuliskan efeknya dalam judul African Swine Fever Threatens Southeast Asia’s 11 Endemic Wild Pig Species.

Mereka menuliskan, penyebaran ASF ke habitat alami babi hutan dapat menimbulkan ancaman pada populasi karnivora besar dan mata pencaharian manusia. Penurunan jumlah mangsa utama mengancam populasi karnivora yang makin berkurang.

Kondisi ini, kata mereka mungkin juga mengubah pola makan karnivora liar ke ternak di tepi hutan. Kondisi ini, terbukti dengan peningkatan konflik manusia dengan satwa liar.

 

Dua babi hutan tengah mencari makan di permukiman warga Dusun Sungai Sembilang. Secara adat, warga dilarang memburu dan membunuh babi. Foto: Alfiansyah

********

Exit mobile version