Mongabay.co.id

Menanti Aksi Pemerintah Audit Perusahaan Sawit

 

 

 

 

 

Pemerintah berencana mengaudit perusahaan sawit mulai Juni ini. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marinves) menyebutkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang akan melakukan audit. Berbagai kalangan menilai, rencana audit oleh pemerintah ini langkah baik namun harus dilakukan secara transparan.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dihubungi Mongabay, barubaru ini menilai, semangat pemerintah ini sebenarnya sudah ada dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Sayangnya, kebijakan ini ‘hilang’ begitu saja, selesai tanpa informasi dan tak ada penjelasan. “Kita tidak tahu update-nya seperti apa, progresnya bagaimana, tahu-tahu tidak dilanjutkan. Sekarang ada wacana audit lagi. Jangan sampai ini hanya jadi jargon,” kata Rambo.

Supaya tak mengulang ‘sekadar niat baik’, katanya, pemerintah harus membuka proses dan hasil audit ini. Hal ini perlu, katanya, guna menunjukkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Transparansi dan akuntabilitas, katanya, tidak dilakukan pemerintah dalam Inpres Moratorium Sawit yang berakhir 2021. “Jadi kita tahu apa yang dilakukan pemerintah dan apa target capaian audit ini.”

Rambo pun menyebutkan, kalau definisi audit ini sangat luas. Kalau pemerintah tak bisa menentukan target jelas, maka semangat ini bisa sebagai pemanis saja.

Untuk itu, pemerintah harus jeli dalam mengidentifikasi masalah dari industri sawit ini. Hingga langkah audit pun akan jadi jelas.

“Kalau masalah tidak jelas, penyelesaian tidak akan jelas juga,” kata Rambo.

Dia katakan, masalah mendesak untuk diselesaikan adalah sawit dalam kawasan hutan, ketimpangan penguasaan lahan dan konglomerasi lahan sawit. “Ujung dari ini adalah minyak goreng yang tidak beres kemarin itu.”

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga meminta, tindakan audit ini tak mengulang kerja yang sudah pernah dilakukan. Mansuetus Darto, Sekjen SPKS mengatakan, supaya tak mubazir, mereka meminta penegakan hukum atas perusahaan yang melanggar juga dilakukan pemerintah.

“Evaluasi pernah dilakukan sebelumnya. Seharusnya, yang dilakukan pemerintah saat ini pengawasan dan penegakan hukum,” kata Darto.

 

Baca juga: Tak Sekadar Setop Ekspor, Harusnya Benahi Tata Kelola Sawit

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Tertibkan sawit rakyat abal-abal

Salah satu penegakan hukum yang dia minta adalah penertiban perkebunan sawit rakyat abal-abal. Hal ini bisa terlihat dari perbedaan data Kementerian Pertanian 2019 yang menyebut perkebunan sawit rakyat di bawah 25 hektar berjumlah 6,7 juta hektar.

Yayasan Auriga Nusantara pada 2022 merilis data lahan perkebunan sawit rakyat hanya 2,3 juta hektar. “Artinya masih banyak pihak yang memiliki lahan di atas 25 hektar kemudian mengatasnamakan petani,” katanya.

Untuk itu, perlu pembenahan agar mereka wajib memiliki izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU).

Sebelumnya, wacana mengaudit perusahaan sawit ini digaungkan Luhut seusai evaluasi aksi afirmasi Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (24/5/22).

“Nanti kita audit semua sawit yang belum pernah sepanjang sejarah kita lakukan,” katanya sebagaimana dikutip Detikcom.

Tujuan besar dari audit ini agar masalah tata kelola minyak goreng yang sempat kisruh bisa diketahui pemerintah. Untuk itu, dalam rencana audit ini pemerintaha akan melihat berapa luasan kebun para perusahaan sawit beserta dengan status mereka.

Selain itu, data produksi dan jumlah plasma sawit tiap perusahaan pun akan diperiksa lebih lanjut. “Tidak boleh ada headquarter sawit yang di luar wilayah Indonesia. Harus di Indonesia.”

 

Baca juga: Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

Kebun sawit PT Bagas Indah Perkasa yang diduga beroperasi di dalam kawasan hutan. Perusahaan ini diduga tak tercatat di Direktorat Jenderal Pajak. Foto: Tim Kolaborasi

 

Sudah banyak data

Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengapresiasi niat pemerintah ini. Namun, katanya, seharusnya pemerintah tak perlu menunggu kasus kelangkaan minyak goreng untuk audit perusahaan sawit.

“Kalau pemerintah mau dengarkan masyarakat sipil dan mau transparan, ini sebenarnya bisa dilakukan jauh-jauh hari,” katanya.

Terlebih, katanya, organisasi masyarakat sipil sudah banyak melakukan investigasi dan penilaian serupa hingga membuat kerja pemerintah lebih mudah.

Greenpeace, katanya, banyak memuat laporan-laporan perusahaan sawit bermasalah. Termasuk dokumen bertajuk ‘The Final Countdown’ pada 2018.

“Skandal itu sudah ada di report dan terbuka untuk publik. Kami bisa mention kasusnya apa dan siapa yang terlibat,” kata Sekar.

Seharusnya, dengan investigasi yang sudah dikerjakan beberapa organisasi masyarakat sipil dan hasil moratorium, rencana audit pemerintah pusat ini bisa lebih mudah.

Senada diungkapkan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University. Kepada Mongabay dia menyebut, salah satu data yang bisa ditilik pemerintah adalah hasil penilaian Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundatable Sustainable Palm Oil (RSPO).

Terutama dari ISPO yang secara legalitas sudah diperkuat Peraturan Presiden Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia. Juga Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 38/2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia.

“Pemerintah bisa pelajari dan ambil keputusan dari apa yang sudah dilakukan panitia ISPO. Jadi tidak mengulang (kerjaan),” kata Hariadi.

Aspek penilaian ISPO dan RSPO, katanya, bisa menolong pemerintah meninjau aspek legalitas di hulu mulai dari perizinan, lingkungan hingga sosial.

Hanya, aspek penilaian kedua sertifikasi ini masih belum bisa menyentuh permasalahan minyak goreng langka beberapa bulan belakangan. Dalam hal ini, Hariadi menyebut ada aspek monopoli dan kekuatan pasar yang bisa diatur.

Keadaan itu, katanya, berkaitan dengan pemegang beneficial ownership atau penerima manfaat perusahaan-perusahaan itu. “Karena dari sebagian banyak perusahaan sawit itu kan mengumpul pada satu identitas pemanfaat tertentu.”

Dengan melihat itu, pemerintah bisa meninjau aspek monopoli sawit ataupun minyak goreng yang selama ini berlangsung.

 

Hutan’ sawit di SM Bakiriang. Kawasan konservasi yang seharusnya berisi bermacam kekayaan flora ini malah jadi tanaman monokultur, sawit….Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Jangan hanya administratif

Hariadi berharap, audit perusahaan sawit pemerintah tidak hanya berhenti pada kepastian legalitas. Pasalnya, perusahaan yang bisa membuktikan syarat administratif itu pun terkadang masih berkonflik dengan masyarakat di lapangan.

Sebagaimana disebutkan Greenpeace, beberapa perusahaan sawit ada yang bermasalah di sekitar konsesinya. Ada izin lokasi, izin usaha perkebunan (IUP) hingga izin pelepasan kawasan hutan yang lengkap pun tidak menjamin kondisi lapangan kondusif.

“Karena aspek legalitas itu sering kali juga mengabaikan lokasi-lokasi wilayah adat,” kata Hariadi.

Karena itu, audit harus lebih detail. Tak hanya mengklasifikasi perusahaan ke kelompok yang memenuhi syarat adminsitrasi dan tak memenuhi syarat saja, juga harus ada pembuktian di lapangan.

Selain itu, kalau pemerintah masih belum bisa transparan atau membuka hasil audit, setidaknya ada satu sumber informasi yang bisa terakses kementerian atau lembaga lain.

Berdasarkan pengalaman Hariadi saat riset di berbagai tempat, ada beberapa data tidak bisa didapatkan kementerian/lembaga lain terkait industri sawit.

Satu contoh, banyak kantor wilayah pajak di daerah yang merasa produksi sawit hingga tanaman di kebun masih gelap terakses. Padahal, itu sangat penting untuk penghitungan pajak dan pendapatan daerah atau negara.

“Karena itu teknologi informasi harus dibenahi. Ia bisa digabungkan dengan hal yang lebih luas seperti dengan pajak ini hingga tenaga kerja nantinya,” kata Hariadi.

SPKS meminta, hasil audit yang «pemerintah bisa membenahi struktur pasar di industri sawit dari hulu hingga hilir. Darto berharap, tak ada lagi monopoli pasar di hilir yang dapat menyebabkan kelangkaan minyak goreng.

“Struktur pasar yang dimonopoli ini telah menyingkirkan petani,” kata Darto.

Penguasaan lahan yang melebihi ketentuan, katanya, membuat hasil tnadan buah segar (TBS) sawit petani dinomorduakan. Perusahaan, kata Darto, lebih memilih membeli TBS dari kebun inti mereka.

Terkait ini, Sekar sangsi hasil audit bisa membuat ketimpangan penguasaan lahan berkurang. Pasalnya, Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja justru memudahkan praktik ini.

“Karena UU Cipta Kerja ini memfasilitasi kelompok yang established, bukan mereka yang mau mulai.”

Dengan kondisi ini, katanya, akan terjadi pertarungan kekuatan pemodal.

 

Tandan Buah Segar sawit baru panen. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version