Mongabay.co.id

Usaha Berbasis Ekologis dari Masalah Ekologi

 

 

Selama pandemi Covid-19, sejumlah usaha berbasis dari masalah lingkungan lahir di Bali. Mereka menunjukkan masalah di sekitarnya kemudian menawarkan solusi. Inisiatif ekonomi yang berdampak ekologis ini terangkum dalam Pekan Masyarakat Tangguh yang dihelat Mei ini oleh Yayasan IDEP Selaras Alam.

Dua perempuan dari Banjar Adat Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Gerokgak, Buleleng, menunjukkan olahan dari bahan pangan yang mereka produksi. Ada cabai bubuk, kelor bubuk, dan sabun mandi dari aneka rempah.

Desa yang berdampingan dengan hutan lindung dan Taman Nasional Bali Barat ini memiliki kisah panjang konflik agraria selama puluhan tahun pasca kembalinya transmigran asal Bali dari Timor-Timur (sekarang Timor Leste) pasca referendum 1999. Warga yang sebagian besar bertani hendak mengakses lahan pertanian. Pada 2021, sebagian warga akhirnya mendapatkan serifikat dari 136 hektar objek reforma agraria yang diperjuangkan bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Salah satu komoditas pertanian yang tumbuh subur dan jadi sumber penghasilan utama adalah cabai. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah adalah mengolah cabai menjadi bon cabai atau cabai bubuk dengan menambahkan garam pada cabai giling. Sebuah produk hasil olahan bisa menjadi jembatan untuk mengenalkan kisah petani di Sumberklampok, selain pelatihan permakultur dan kebun pekarangan keluarga (KPK) yang didampingi IDEP.

baca : Narasi Krisis, Proyek Food Estate dan Respon Pangan di Era Pandemi

 

Ragam olahan produk dari petani Sumberklampok. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Obyek reforma agraria lain adalah lahan pertanian yang diajukan oleh Serikat Petani Suka Makmur di Pemuteran, Kabupaten Buleleng. Kelompok ini sedang menunggu redistribusi lahan pertanian yang juga diperjuangkan bersama KPA untuk mendapatkan sertfikat hak milik. Desa di Bali utara ini juga bertani cabai, jagung, dan ubi. Mirip dengan Sumberklampok karena lahannya kering.

Selama pandemi, mereka mencoba dan berhasil menanam sorgum. Jenis pangan lokal ini sebelum revolusi hijau, dikenal dengan nama jagung Bleleng, namun kini sudah tidak dikonsumsi. Kelompok Petani Suka Makmur berhasil menanam dan panen beberapa kali. Mereka menunjukkan tanaman sorgum dan bijinya yang sudah bersih dan dijual Rp45 ribu per kilogram. Warnanya putih kemerahan.

Selain ancaman kekeringan, masalah lingkungan lain adalah input kimia sintetik yang kini coba dikurangi dengan pendampingan pembuatan pupuk organik seperti kompos padat dan cair. Demikian juga ragam pestisida nabati dari ramuan bahan sekitar.

Rasik, salah satu tokoh petani di Pemuteran mengatakan sorgum hilang tahun 1990-an, dampak gelombang transmigrasi warga Bali pada tahun 1970-an. Menurutnya ini jenis tanaman pangan lokal yang sesuai daerah ini karena tahan panas, tak perlu banyak air karena musim keringnya lebih panjang.

Akibat perubahan kebijakan pangan jadi beras, identitas pangan lokal hilang, demikian juga bibitnya. “Sorgum hilang. Bukan hanya tanam menanam juga identitas lokal dan kemampuan adaptif pertanian,” katanya. Sejak 2014, Serikat Petani Suka Makmur (SPSM) mulai menanam sorgum. “Kakek saya bawa bibitnya ke Sulawesi Tenggara. Diolah jadi campuran beras dan kue. Sekali tanam, dipanen 3 kali,” katanya.

Luasnya objek sengketa agraria di Pemuteran sekitar 240 ha, dengan 660 KK. Sebelumnya MA memenangkan kasus gugatan Pemprov Bali atas PT Margarana yang memegang Hak Guna Usaha (HGU) sebelumnya. Karena tidak segera diredistribusi, statusnya pun mengambang sedangkan warga setempat menjadikannya lahan produktif.

baca juga : Urban Farming, Mandiri Pangan di Masa Pandemi

 

Petani menanam sorgum di lahan konflik agraria di Pemuteran, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kelompok usaha lain yang unik dan menjawab masalah sekitarnya adalah anak-anak muda yang membuat merek produk Belutin dan Keripik Bekicot. Mereka berasal dari Banjar Sekarmurti, Desa Pangsan, Petang, Badung. Mereka mengumpulkan kelimpahan bekicot di sawah-sawah dengan mengolahnya jadi keripik. Rasanya gurih dan renyah di mulut. Tak heran keripik ini mudah terjual.

Ada juga merek olahan pangan Iyam Sustainable dari Omah Apik, Pejeng, Gianyar. Mereka mengolah aneka tanaman pangan yang ditanam di Hotel Omah Apik selama pandemi ini, mengganti aneka tanaman hias. Kegigihannya berhasil dan kini panen tomat, cabai, bayam, dan lainnya. Diolah jadi campuran mie bayam, sambal tomat, keripik, dan lainnya.

Inisiatif lain adalah Urban Compost, usaha komposter limbah organik, Adevy dan BaleLaku yang menjual bahan pangan lokal dari desa-desa, Get Plastic yang mengolah plastik jadi bahan bakar, Eco Games yang membuat permainan edukasi lingkungan, dan lainnya.

Semua memamerkan produk dan membagi pengetahuan dari produk itu pada perhelatan puncak Pekan Masyarakat Tangguh di Kulidan Space, Kabupaten Gianyar, pada 15 Mei 2022.

Ada banyak kegiatan berbasis ekologi lain seperti pembibitan sayur organik, komposting, membuat warna alami, pemutaran film tentang hutan, lokawana, dan diskusi buku Permakultur di daerah tropis. Sejumlah persoalan lingkungan dibahas dalam diskusi ini.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1]

 

Boardgame edukasi dari Eco Games. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

I Gusti Putu Surya Darma, salah satu pendiri Yayasan IDEP mengingatkan alam adalah guru utama dan pertama. Misalnya lebah. “Lebah harusnya guru kita, no lebah, no nyawa no nyawan. Mereka tidak pernah tersesat dan selalu bersama,” katanya memberikan analogi dalam bahasa Bali, artinya tanpa lebah tak ada kehidupan.

Untuk membumikan dan mengenalkan konsep permakultur ke anak muda, ia menunjukkan bahan olahannya. Misalnya memperkenalkan kakao dengan es krim cokelat. Bahwa semua yang kita makan dari tanah.

Kadek Suardika, pendiri Yayasan Emas Hitam Indonesia yang mengaplikasikan agroekologi dan memuliakan tanah sebagai emas hitam mengatakan permakultur adalah gaya hidup. Di Bali, hal ini ditunjukkan oleh konsep teba atau halaman belakang. Di teba ada sistem produksi, distribusi, dan disposal. Sayangnya sekarang jadi tempat menimbun atau membakar sampah plastik. Teba adalah tempat meregenerasi makanan, ada ternak, makanan, lubang sampah dapur yang dulu mayoritas organik.

Pernahkah belajar bagaimana tanaman tumbuh? Ini identik dengan budaya, tentang dunia spiritual, alam, lingkungan tak terpisahkan dan saling bergantung. Tantangannya ingin instan, tak mau dari awal. Menguras kantong. Sekarang cari penghasilan untuk makan,” tuturnya.

Upacara adat pun kini dibilang ribet karena tidak ada tahapan keberlanjutan. Jika bisa swadaya maka menghasilkan dan bisa berbagi, sedangkan swakarya mengoptimalkan hasil panen yang berkualitas. Selanjutnya swasembada. Karena instan, manusia menggunakan produk untuk menghilangkan hama. Padahal hama mendorong untuk menanam keragaman pangan. Kalau hanya punya satu makanan, habis dimakan hama.

baca juga : Ketika Hotel ubah Taman Hias jadi Kebun Mandiri Pangan

 

Keripik belut dan bekicot dari kelompok muda di Badung, Bail. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Petra Schneider, pendiri Yayasan IDEP lainnya menilai permakultur itu sederhana, tentang diri sendiri dan bumi. Hal kecil bisa berdampak besar sedangkan hal besar bisa tidak berdampak jika melihat ancaman manusia untuk keberlanjutan bumi.

Praktik permakultur menurutnya sudah ada sejak lama, sudah jadi budaya seperti pertanian tumpang sari dan subak. Bedanya dulu belum ada zat sintetik kimia, saat ini ada tantangan perubahan iklim dan masalah ekologi lainnya.

Roberto Hutabarat, pendamping petani di Pemuteran menilai kedaulatan pangan tak hanya soal berkebun juga desain tata ruang. Masalahnya kini banyak konflik tanah, biasanya tanah jadi HGU lalu dikelola investor.

Pemerintah saat ini mengampenyakan program food estate, kecenderungannya monokultur dengan membuka ratusan ribu hektar lahan. Konsep ini menurutnya tak berdaulat karena berbasis perusahaan. Petani jadi buruh tani dan pegawai, mereka tak berdaulat pada tanah dan pangannya.

 

Exit mobile version