- Pandemi corona belum jelas kapan akan berakhir. Organisasi Pangan Sedunia [FAO] mengingatkan adanya potensi krisis pangan dunia akibat dampak pandemi ini.
- Masyarakat di Bengkulu, dengan kesadaran sendiri, bercocok tanam di halaman rumah dan kebun mereka untuk ketahanan pangan. Mulai sayuran hingga tanaman talas.
- Nyimas Halima, Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Bengkulu menegaskan, perempuan merupakan ujung tombak ketahanan pangan di masa pendemi.
- Endang Tri Margawati, Peneliti Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, mengajak masyarakat untuk menggiatkan urban farming, sehingga lebih siap menghadapi situasi pandemi ini.
Pandemi corona [COVID-19] belum ada kejelasan kapan berakhir. Organisasi Pangan Dunia [FAO], turut mengingatkan potensi krisis pangan di masa pandemi yang akan mengancam dunia, termasuk Indonesia.
Namanya Helti Marini Sipayung. Lima bulan belakangan, jurnalis perempuan asal Bengkulu ini selalu membawa ember dan gayung saat jam lima sore. Dengan cekatan tangan kanannya menyiram sayuran, mulai cabai [Capsicum frutescens], tomat [Solanum lycopersicum], kemangi [Ocimum x citriodorum], bayam [Amaranthus], kacang panjang [Vigna unguiculata ssp. sesquipedalis], terong [Solanum torvum], jeruk nipis [Citrus aurantiifolia] hingga bunga telang [Clitoria ternatea].
Tak ketinggalan beragam buah disiram, mulai markisa [Passiflora Edulis], jambu biji [Psidium guajava], kedondong [Spondias dulcis], hingga belimbing [Averrhoa carambola]. Semua tumbuhan itu ditanam dalam pot, kecuali markisa.
“Halaman ini tidak luas, lantainya juga sudah disemen,” kata Rini kepada Mongabay Indonesia, ditemui di Sekret Koalisi Langit Biru, Rabu [28/10/2020].
Koalisi Langit Biru merupakan perkumpulan pegiat lingkungan Bengkulu yang vokal menyuarakan kelestarian lingkungan di “Bumi Rafflesia”. Selain aktivis, sekretariat ini menjadi tempat singgah jurnalis, mahasiswa, hingga pegiat kesenian.
Baca: Melirik Talas Sebagai Potensi Pangan Masyarakat Indonesia
Tidak hanya merawat tanaman, sore hari dia juga rutin memberi makan puluhan ayam kampung yang dipeliharanya.
“Jurnalis sering menulis untuk menggerakkan orang melakukan sesuatu. Nah, selain upaya mendorong orang lain, jurnalis sendiri harus tergerak menjadi contoh.”
Jauh sebelum pendemi, Rini sudah bercocok tanam di halaman rumahnya, di Pasar Melintang, Kota Bengkulu. “Saya suka bercocok tanam karena dari kecil melihat orang tua berkebun di Medan. Saya berkebun di halaman rumah dengan cara organik, mengandalkan bahan-bahan alami, supaya lebih aman untuk kesehatan kita dan iklim bumi,” tutur dia.
Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu itu menjelaskan pertanian organik penting untuk lingkungan, dan mampu mengurangi pelepasan emisi karbon dibandingkan pertanian konvensional.
Baca: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman Pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras
Tanam talas
Pandemi juga mempengaruhi petani kopi dari Desa Durian Depun, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu.
Saat ditemui Mongabay Indonesia pertengahan Juli 2020 lalu, Zubaidah menceritakan dia bersama suaminya Zainudin rutin menanam talas (Colocasia esculenta) di antara batang kopi dalam kebunnya, di Desa Batu Ampar.
“Akhir Maret saya tanam talas, saat itu berita corona [COVID-19] sangat heboh sekali. Kami orang kampung sangat khawatir. Talas ditanam untuk persiapan kalau beras susah didapatkan nantinya,” kata dia.
Selain beras, talas merupakan salah satu bahan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Mengutip situs LIPI, dijelaskan bahwa talas memiliki kandungan protein dan vitamin yang lebih lengkap dibandingkan uwi, ubi kayu, dan ubi jalar. Ukuran butirannya yang sangat kecil, diameter 1 hingga 1,5 mikrometer, membuat talas mudah dicerna dan cocok dikonsumsi bagi penderita gangguan pencernaan.
Dalam seporsi talas [sekitar 150 gram] yang sudah dimasak, terkandung sejumlah 150-200 kalori, 5-7 gram serat, 4 gram protein, 150-170 mg kalsium, 450-600 mg kalium, 30-50 mg magnesium, dan 60-70 mg fosfor.
Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?
Nyimas Halimah, Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia [KPI] Bengkulu menjelaskan, pendemi corona tentu saja sangat mengganggu aktivitas semua orang, termasuk perempuan.
Meski demikian, menurut dia, perempuan bisa mengambil peran lebih dengan berkebun di halaman rumah dan merawat bunga. “Dengan berkebun dan merawat bunga, mereka bisa menjawab tantangan persediaan pangan yang sehat untuk keluarga. Juga, bisa menghasilkan uang ketika menjual hasil tanaman itu,” kata dia kepada Mongabay Indonesia.
Apalagi saat ini, kesadaran masyarakat untuk mengkosumsi sayuran organik cukup meningkat, dan terjadi pula demam merawat bunga hias di penjuru Indonesia.
“Harga sayuran organik dan bunga hias kini mahal sekali loh, dan di Bengkulu rata-rata perempuan rumahan yang melakukan jual beli itu,” paparnya.
Baca juga: Urban Farming dan Kontribusinya bagi Pengurangan Jejak Karbon
Para pakar perhatikan ketahanan pangan
Ketahanan pangan di masa pandemi menjadi perhatian utama para pakar bidang pertanian. Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko mengatakan, COVID-19 berdampak pada ketahanan pangan masyarakat, dan mengganggu upaya pemerintah untuk menangani stunting secara nasional.
Tri Handoko menjelaskan, untuk menangani hal tersebut harus muncul kreativitas baru yang mampu mendukung ketahanan pangan nasional. “Bahkan, kreativitas yang dapat diadopsi untuk menjadi kebijakan,” kata dia dalam webinar nasional “Prof Talk: Ketahanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19”, Senin, 26 Oktober 2020.
Dalam acara yang sama, Tahlim Sudaryanto, Profesor Riset Bidang Ekonomi Pertanian, perwakilan Kementerian Pertanian menegaskan, kinerja sektor pertanian, terutama sumber pangan masih dalam kategori baik.
Namun, tidak dipungkiri bahwa pandemi menimbulkan dampak yang menguncang, mengakibatkan terjadinya penurunan di sektor tenaga kerja, terganggunya pemasaran komoditas pangan, dan beberapa kasus di usaha peternakan. “Sektor-sektor itu terganggu sekali,” katanya.
Namun dia menyakinkan bahwa Kementerian Pertanian telah menyiapkan berbagai strategi untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan di masa pandemi.
“Salah satu program adalah peningkatan kapasitas produksi melalui food estate, diversifikasi produksi dan konsumsi pangan, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan, pengembangan pertanian moderen, dan beberapa paket jejaring pengaman sosial,” tuturnya.
Endang Tri Margawati, Peneliti Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, menjelaskan tentang inovasi yang didorong pemerintah untuk masyarakat yaitu urban farming.
Urban farming adalah pertanian terintegrasi. “Contoh, menanam padi di pekarangan rumah [non-sawah], menanam padi hidroponik atau padi berumur pendek, atau juga menanam padi terintegrasi dengan pemeliharaan ikan.”
Selain itu, Endang mendorong masyarakat membiasakan diri memelihara hewan piaraan seperti ayam, kambing, domba, sapi, dan kerbau. “Dengan cara demikian, ketahanan pangan masyarakat akan kuat, lebih siap menghadapi dampak pandemi yang terjadi,” tegasnya.