Mongabay.co.id

Perikanan Skala Kecil Salah Satu Penyumbang Masalah di Laut Arafura

 

 

Aktivitas penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan (IUUF) masih sulit untuk dihentikan sampai sekarang. Kegiatan tidak bertanggung jawab itu terus ada di berbagai wilayah perairan Indonesia, utamanya yang menjadi wilayah perbatasan antar negara.

Salah satu perairan yang menjadi lokasi kegiatan IUUF, adalah laut Arafura yang secara administrasi masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 718. Laut tersebut dikenal sebagai salah satu lokasi penangkapan ikan yang potensinya masih besar.

Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini sempat menjabarkan bahwa potensi sumber daya ikan (SDI) di WPPNRI 718 mencapai 2.637.565 ton.

Angka tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 tentang Jenis Komoditas Wajib Periksa Karantina Ikan, Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Akan tetapi, jumlah tersebut tidak berhasil dimanfaatkan dengan baik, karena pada 2018 hanya sanggup maksimal 236 ribu ton saja yang berhasil dimanfaatkan.

Masih belum optimalnya pemanfaatan SDI di wilayah perairan tersebut, terjadi karena perubahan kebijakan secara nasional terkait pengelolaan wilayah penangkapan di seluruh Indonesia. Perubahan itu berimbas langsung ke WPP-NRI 718 yang secara administrasi masuk wilayah Provinsi Papua dan Maluku tersebut.

baca : Pengawasan Ekstra Ketat untuk Laut Arafura

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Dampak tersebut, menjadi fatal karena ada oknum tidak bertanggung jawab yang kemudian memanfaatkannya untuk kegiatan IUUF. Salah satu persoalannya, karena sampai sekarang tata kelola perikanan skala kecil belum terbangun dengan baik.

Menurut Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, kondisi tersebut menempatkan Indonesia sedang menghadapi persoalan serius di laut Arafura. Salah satu persoalan yang dihadapi, adalah masih minimnya pendataan hasil tangkapan perikanan skala kecil.

Terutama, hasil tangkapan pada kapal perikanan yang ukurannya di bawah 10 GT (gros ton),” ungkap Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, belum lama ini di Jakarta.

Permasalahan tersebut mengakibatkan persentase penangkapan ikan di laut Arafura yang tidak dilaporkan mencapai 29,39 persen. Kemunculan angka tersebut menegaskan bahwa ada pengelolaan perikanan yang tidak transparan di perairan tersebut.

Dalam penilaian dia, aktivitas perikanan skala kecil sering diremehkan oleh banyak kalangan di dalam negeri. Padahal, kegiatan tersebut mempunyai kontribusi sosial dan ekonomi cukup signifikan, terutama dalam ketahanan pangan dan upaya pengentasan kemiskinan.

Mengingat permasalahan seperti itu masih terus berlangsung dan belum ada jalan keluarnya, Pemerintah Indonesia dinilai perlu untuk segera melaksanakan perbaikan tata kelola perikanan skala kecil, terutama yang ada di WPPNRI 718.

Bukan saja karena keterkaitan dengan kegiatan unreported, tapi juga tingginya tingkat kerentanan mereka,” jelas dia.

baca juga : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur

 

Sekelompok nelayan Maluku membersihkan jaring penangkap ikan setelah digunakan melaut. Foto : shutterstock

 

Suhufan menerangkan, perlunya dilakukan perbaikan tata kelola, karena selama ini perikanan skala kecil selalu masuk dalam stigma sebagai kelompok masyarakat miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Dengan dilakukan perbaikan tata kelola, perikanan skala kecil diharapkan bisa mendapatkan dampak positif yang sangat luas. Bukan saja pada sektor perikanan, dampak positif juga diharapkan terjadi pada sektor ekonomi secara umum, dan sosial lainnya yang berkaitan dengan mereka.

“Misalnya, infrastruktur pedesaan, teknologi informasi, kesehatan, dan pendidikan,” urai dia.

Tentang angka persentase kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan oleh kelompok perikanan skala kecil, menurut dia itu adalah angka hasil kajian yang dilakukan DFW Indonesia di WPPNRI 718.

Kajian dilakukan dengan menghitung nilai kerugian IUUF, terutama kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Untuk menghitungnya, dilakukan survei di dua daerah, yaitu Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, dan Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

“Itu angka cukup signifikan,” tegas dia.

Dalam melaksanakan survei, tim kajian fokus pada kelompok perikanan skala kecil yang menggunakan perahu ataupun kapal perikanan dengan ukuran di bawah 10 GT. Mereka yang masuk kelompok tersebut, dijadikan objek survei untuk mengumpulkan data-data.

baca  juga : Menjaga Laut Arafura dan Timor Tetap Lestari dan Berkelanjutan

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Suhufan menambahkan, tingginya angka hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh perikanan skala kecil, menjadi penanda bahwa ada beragam masalah yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Indonesia di level skala kecil.

Padahal, masalah yang muncul sekarang merupakan tambahan masalah yang sudah ada sebelumnya. Akumulasi tersebut, merupakan hasil tangkapan nelayan yang tidak tercatat karena dijual pada pasar lokal, dibuang, digunakan untuk umpan, atau untuk konsumsi pribadi.

Terus berjalannya kegiatan penangkapan ikan tanpa melakukan pelaporan hasilnya, menjelaskan bahwa kelompok perikanan skala kecil memiliki karakteristik yang khusus, dan itu berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur, dan kelembagaan perikanan pada tingkat lokal.

“Kondisi itu menyebabkan terbatasnya pendataan atau pengungkapan informasi dari aktivitas perikanan skala kecil,” tutur dia.

Sebab lain kenapa praktik tidak dilaporkan hasil tangkapan ikan, adalah karena WPPNRI 718 terlalu banyak memiliki pelabuhan tangkahan atau pelabuhan alternatif. Setidaknya, ada 13 pelabuhan tangkahan yang saat ini beroperasi.

Selain faktor pelabuhan alternatif, faktor lain yang memicu adanya hasil tangkapan dari perikanan skala kecil yang tidak dilaporkan, adalah karena titik labuh antara kedua kabupaten yang menjadi tujuan survei.

“Ketiadaan tenaga pencatat atau pengawas perikanan yang bertugas secara rutin, jadi juga penyebabnya,” sebut dia.

perlu dibaca : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Sejumlah jibu-jibu (pedagang ikan) di Pasar Tradisional Mardika Kota Ambon, Maluku. Ikan-ikan ini diambil dari para nelayan dari berbagai lokasi di wilayah Kota Ambon. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Akurasi Laporan

Peneliti DFW Indonesia Subhan Usman mengatakan terus berlangsungnya aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan di WPPNRI 718, adalah salah satunya karena terdapat aktivitas perdagangan gelembung (jeroan) ikan Gulama yang keluar dari Merauke dan tidak dilaporkan kepada otoritas perikanan setempat.

Selain Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Merauke, hasil tangkapan dan perdagangan juga tidak dilaporkan ke Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ketiadaan laporan tersebut membuat angka dan data yang dicatat oleh otoritas menjadi tidak akurat. Apalagi, nilai dan volume dari perdagangan gelembung ikan di Merauke juga sangat besar. Untuk setiap kilogramnya, gelembung Gulama yang sudah kering dihargai Rp20 juta.

“Angka tersebut mendominasi total hasil tangkapan yang disurvei kita, dan itu mencapai 47 persen,” jelas dia.

Fakta lain yang berhasil diungkap, adalah bahwa hampir seluruh kapal perikanan yang tonasenya di bawah 10 GT di Merauke tidak melaporkan hasil tangkapan ikan. Mereka yang mau melaporkan, adalah perusahaan perikanan yang mengoperasikan kapal berukuran besar di atas 10 GT.

Selain fakta di atas, DFW Indonesia juga menemukan fakta lain bahwa separuh kapal perikanan berukuran di bawah 10 GT yang ada di Kabupaten Kepulauan Aru juga diketahui tidak melaporkan hasil tangkapannya kepada otoritas perikanan setempat.

Pelaporan juga hanya dilakukan oleh perusahaan perikanan pembeli ikan,” ujar Subhan Usman.

baca juga : Apakah Efektif Pola Baru Pengawasan dan Penegakan Hukum di Laut Indonesia?

 

Seorang nelayan tuna saat aktivitas di laut Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Foto : MDPI

 

Kemudian, fakta lainnya yang berhasil ditemukan tim adalah bahwa tidak ada data jumlah kapal perikanan yang pasti di WPPNRI 718. Fakta tersebut bersanding dengan fakta lain bahwa kapal yang terdaftar resmi masih rendah di WPPNRI 718.

Jumlah kapal atau perahu perikanan di bawah 10 GT yang terdaftar sangat rendah,” tambah dia.

Diketahui, saat ini kapal perikanan di bawah 7 GT yang terdaftar resmi di Kabupaten Merauke jumlahnya hanya mencapai 60 kapal saja, dan di Kabupaten Kepulauan Aru jumlahnya hanya mencapai 165 kapal.

Padahal, menurut Subhan Usman, jumlah kapal perikanan yang ukurannya di bawah 7 GT dan saat ini beroperasi di WPPNRI 718 secara keseluruhan diperkirakan mencapai 1.000 unit kapal. Namun, angka tersebut tidak terdeteksi dengan baik, karena masih banyak yang tidak mau melaporkan.

Persentase yang tinggi untuk hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh perikanan skala kecil, menjadi gambaran betapa kompleksnya permasalahan yang ada di WPPNRI 718. Secara umum, dengan potensi yang masih besar, perairan WPPNRI 718 juga akan menjadi lokasi incaran untuk melaksanakan IUUF.

Tetapi, kegiatan tidak bertanggung jawab tersebut akan terus ditekan agar semakin sedikit berjalan di perairan Indonesia. Tugas tersebut kini tengah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia melalui KKP yang sedang fokus menyiapkan penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur.

Kebijakan yang sudah digaungkan sejak akhir 2021 itu, sampai sekarang belum diterapkan karena masih ada beberapa tahapan yang sedang dilaksanakan finalisasi. Dengan segala metode yang diklaim KKP bagus, kebijakan tersebut dijanjikan akan bisa meredam segala bentuk kegiatan IUUF.

Berdasarkan rencana, kebijakan akan diimplementasikan pertama kali di wilayah Timur Indonesia meliputi WPPNRI 718 (meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur), 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau).

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara mengangkut ikan hasil tangkapannya. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Penegakan Hukum

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin pada kesempatan sebelumnya menjelaskan, untuk mengawal program penangkapan ikan terukur, akan didorong penguatan sinergi dengan aparat penegak hukum lain.

“Itu diperlukan untuk pengawasan dan penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan. Itu bukan hanya ranah KKP saja,” ungkap dia.

Salah satu penguatan pengawasan adalah tidak memberikan ruang bagi praktik IUUF, yang dibuktikan dengan penangkapan 73 kapal pelaku IUUF, baik berbendera Indonesia maupun kapal berbendera asing dari Malaysia, dan Filipina sepanjang 2022.

Dia menegaskan, untuk urusan IUUF, Indonesia sudah mengadopsi ketentuan dalam the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Adopsi aturan tersebut akan terus dijalankan untuk mencegah IUUF terus berkembang.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga menyebutkan bahwa kebijakan penangkapan terukur akan dikawal ketat melalui pengawasan berbasis teknologi. Tujuannya, untuk memastikan praktik kecurangan dan penangkapan berlebih (overfishing) tidak terjadi.

Ada teknologi satelit, dan kapal pengawas di setiap zona dan terkoneksi dengan pesawat pemantau (air surveillance), sehingga tidak ada praktik penangkapan ikan yang melebihi kuota,” ucap dia.

 

Nelayan dengan pancing ulur sedang menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. Sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : MDPI

 

Terkait dengan pemantauan berbasis satelit yang saat ini sedang dalam proses pengembangan, dia menyebutkan teknologi tersebut akan memiliki kemampuan untuk mendeteksi praktik penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal, juga mampu mendeteksi sampah yang dibuang ke laut.

Dia berharap, teknologi pemantauan berbasis teknologi tersebut bisa dioperasikan pada 2022 bersamaan dengan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Agar itu bisa diwujudkan, proses percobaan terus dilakukan dari sekarang.

Selain melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, upaya untuk meredam aktivitas IUUF juga dilakukan melalui kolaborasi internasional dengan negara G20 dan negara Regional Plan of Action to Combat Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (RPOA-IUU).

Negara yang tergabung dalam dua kelompok di atas, secara bersama sudah berjanji untuk menerapkan standar perikanan yang bertanggung jawab dalam upaya untuk mencegah praktik IUUF. Dengan cara tersebut, diharapkan upaya pemberantasan IUUF di dunia bisa terus berlanjut.

Perwakilan Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA-2) Handoko Adi Susanto menjelaskan, kerja sama regional dan internasional sangat dibutuhkan untuk dapat memenangkan perang melawan IUUF. ATSEA-2 sendiri ikut terlibat dalam kegiatan kolaborasi internasional melawan IUUF.

Sebagai bagian dari komitmen pemberantasan IUUF, program ATSEA-2 fokus pada upaya melindungi keanekaragaman dan meningkatkan kualitas hidup melalui konservasi dan pengelolaan ekosistem laut yang berkelanjutan.

Saat ini, ada dua pendekatan yang bisa diterapkan bagi pelaku IUUF. Pertama, cara yang dilakukan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dengan penerapan sanksi administratif.

Kemudian, cara kedua adalah yang diterapkan oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNDOC) dengan mengedepankan tindak pidana kejahatan perikanan (fisheries crime) untuk para pelaku IUUF di seluruh dunia.

 

Exit mobile version