Mongabay.co.id

Nelayan Kelimpungan Akibat Ketidakjelasan Harga Rajungan

 

 

Sebagai salah satu komoditas ekspor perikanan utama di Indonesia, harga rajungan ditingkat nelayan saat ini sedang mengalami penurunan secara drastis. Merosotnya harga komoditas sekelompok kepiting dari beberapa marga anggota suku Portunidae tersebut dirasakan sejak dua bulan lalu, persisnya setelah Hari Raya Idul Fitri.

Seperti yang diungkapkan Sama’un (41), nelayan rajungan asal Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Sebelumnya, tengkulak membeli rajungan bercangkang ke nelayan dengan harga Rp50-80 ribu per kilogram untuk hasil tangkap menggunakan alat tangkap jenis arad. Sedangkan untuk hasil tangkap menggunakan wuwu per kilonya dihargai Rp110 ribu hingga Rp120 ribu.

Namun, untuk saat ini harganya menurun menjadi Rp30-35 ribu untuk yang wuwu. Sementara rajungan yang penangkapannya menggunakan arad dihargai Rp20-25 ribu.

“Informasi dari mulut ke mulut katanya stok di pabrik masih melimpah,” ujar bapak dua anak ini kepada Mongabay Indonesia, Rabu (14/06//2022).

baca : Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun

 

Data Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) mencatat, tahun 2020 Amerika masih menjadi pasar terbesar untuk ekspor komoditas rajungan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lanjut Sama’un, harga rajungan dari kedua alat tangkap itu bisa tidak sama karena secara kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan keduanya memang berbeda.

Selain bersih dan lebih berisi, menangkap rajungan dengan menggunakan alat tangkap jenis bubu juga dikenal lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap jenis arad dan gillnet.

Ketika berangkat melaut, dalam satu kapal biasanya nelayan bisa membawa alat tangkap bubu 500-550 biji. Sedangkan harga per bijinya kisaran Rp14-Rp18 ribu.

Selain alat tangkap, operasional lain seperti ongkos beli solar juga mahal. Sehingga dengan harga rajungan yang turun itu membuat sejumlah nelayan tradisional di daerahnya tidak mampu membeli, dan sementara memilih berhenti melaut.

 

Isu yang Simpang-siur

Dikalangan nelayan, desas-desus lain yang muncul terkait dengan penurunan harga rajungan ini dikarenakan Amerika Serikat menolak daging rajungan dari Indonesia. Alasanya, ada campuran daging lain di dalam daging rajungan yang diekspor.

Ketidakjelasan informasi tersebut juga diterima Muchlisin Amar, nelayan rajungan asal Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pria yang juga ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) ini mengatakan, untuk mengetahui penyebab anjloknya harga rajungan ini dia berupaya menanyakan ke berbagai pihak, baik itu dari pelaku bisnis perikanan maupun instansi terkait.

Upaya itu dilakukan karena ingin mengetahui permasalahan yang terjadi secara kongkrit, agar tidak terjadi spekulasi-spekulasi liar dikalangan nelayan tradisional. Bahkan, perang Rusia-Ukraina juga disebut-sebut menjadi penyebabnya. Spekulasi lain yang berkembang menyebutkan bahwa sejumlah negara tujuan ekspor ini stoknya masih melimpah.

baca juga : Ini Penyebab Pendapatan Nelayan Rajungan Merosot

 

Sejumlah nelayan menyortir rajungan dari jaring. Selain jaring, nelayan juga menangkap menggunakan bubu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Data Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) mencatat, tahun 2020 Amerika masih menjadi pasar terbesar untuk ekspor komoditas rajungan yang didominasi dengan produk olahan dalam kemasan kedap udara atau kaleng.

Selain Amerika Serikat ada juga China, Jepang, Perancis, Inggris, Malaysia hingga Singapura. Tahun 2019 ekspor rajungan termasuk kepiting mencapai 25,9 ribu ton dengan nilai sebesar 393 juta dollar AS atau setara dengan Rp5,3 triliun.

“Yang kami khawatirkan adalah adanya skandalisasi dari hulu sampai hilir. Sehingga ini yang menyebabkan kondisi nelayan akan semakin terpuruk,” ujar dia.

Dua bulan lalu di Lamongan, harga rajungan cangkang dikisaran Rp120-Rp150 ribu per kilo, sekarang ini turun menjadi Rp30 per kilo. Sedangkan yang daging awalnya per kilo Rp400-500 ribu, saat ini harganya turun menjadi Rp150 ribu.

Muchlisin bilang, kondisi seperti ini membuat nelayan tangkapan rajungan di pesisir kabupaten dengan wilayah perairan laut seluas 902,4 km persegi ini belum bisa bernafas lega. Terlebih informasi terkait dengan kepastian harga rajungan kapan akan kembali normal lagi juga masih simpang siur.

Untuk mensiasatinya sebagian nelayan memilih melaut dipinggiran. Sebab, melaut dengan jarak 34 mil membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Sementara jika menangkap rajungan dipinggiran ukurannya kecil-kecil, sehingga harganya bisa lebih murah lagi.

“Kalau sekarang ini ditengah tangkapan rajungan sedang melimpah, dalam sekali melaut bisa mendapatkan 20-30 kilo, hanya harganya sekarang ini kurang beruntung,” jelas pria berkacamata tersebut. Untuk itu dia berharap pemerintah bisa kembali menstabilkan harga rajungan. Selain itu juga memperbesar subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

baca juga : Bentuk Forum Komunikasi, Ini Harapan Nelayan Rajungan kepada Pemerintah

 

Nelayan rajungan mendaratkan perahunya. Anjloknya harga komoditas tersebut membuat sejumlah nelayan memilih tidak berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sangat Disayangkan

Rajungan atau yang dikenal juga dengan kepiting bulan terang ini selain dapat hidup di perairan lautan juga bisa hidup di daerah pasir berlumpur dan di perairan depan ekosistem mangrove. Dibandingkan kepiting (Brachyura), capit rajungan lebih panjang, sedangkan tubuhnya lebih ramping. Di perairan Indonesia, terdapat beberapa jenis rajungan, dan semuanya bisa dimakan.

Sebuah jurnal menyebutkan jumlah rajungan yang tersebar sebanyak 1.400 jenis, sementara dagingnya dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya daging super dibagian bawah, daging reguler bagian sekat rongga berupa serpihan-serpihan, dan daging merah yang berada di capit serta kaki.

Hasil analisis poksimat Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan menjelaskan, untuk rajungan yang jantan terdiri atas kadar air 78.78%, abu 2.04%, protein 16.85%, dan lemak 0.10%. Sedangkan yang betina kadar airnya sebanyak 81.27%, abu 1.82%, protein 16.17% dan lemak 0.35%.

Berdasarkan analisa yang dipaparkan itu disebutkan bahwa rajungan bisa dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup baik dan sangat potensial, sisi lain rajungan memiliki keunggulan kandungan lemak terbilang rendah.

Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki rajungan tersebut, Rindya Fery Indrawan, Dosen Prodi Akuakultur Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengaku bersimpati akan kondisi harga rajungan ditingkat nelayan yang sedang terjun bebas. Karena dari segi operasional yang dikeluarkan nelayan dengan hasil yang didapat itu bisa jadi tidak seimbang.

baca juga : Produksi Perikanan Naik Selama Pandemi, Tapi Kepiting Rajungan Tidak Terjual

 

Istri nelayan mengupas daging rajungan dari cangkangnya di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Harga dari rajungan yang semula per Kilogram Rp400-Rp500 ribu kini turun menjadi Rp150 ribu per Kilogram. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sehingga menurut dia pemerintah perlu memperhatikan persoalan ini lebih jauh, khususnya Dinas Perikanan setempat maupun KKP. Kalau misalnya masih belum bisa diekspor, seharusnya pemerintah bisa membeli rajungan hasil tangkap nelayan terlebih dulu. Setelah itu rajungan disimpan di cold storage yang ada. Jika harganya sudah mulai stabil, baru nanti rajungan dijual kembali.

Atau jika di kawasan penghasil rajungan itu sudah ada koperasinya maka pemerintah perlu membuatkan cold storage. Sehingga ketika hasil tangkapan murah, nelayan bisa menyimpan ke tempat pendingin tersebut.

Skema lain, untuk meningkatkan nilai jual harga rajungan yang sedang murah ini maka diperlukan ide-ide kreatif untuk membuat pengolahan makanan dari bahan rajungan, misalnya membuat empek-empek, atau dijual dalam bentuk makanan lainnya.

“Anjloknya harga rajungan sekarang ini kebangetan, sangat disayangkan. Jika tidak kunjung naik, efek dominonya di kehidupan nelayan pasti akan panjang,” pungkas pria kelahiran Palembang ini, Kamis (16/06/2022).

 

Exit mobile version