Mongabay.co.id

Ulin, Pohon Penjaga Ekosistem Hutan Bukit Peramun

 

 

Perjalanan kami menelusuri hutan Bukit Peramun untuk melihat pohon ulin, terbayar sudah.

Sebuah pohon yang kokoh, tampak menjulang setinggi 20 meter. Di sekitarnya, puluhan biji pohon dengan nama ilmiah Eusideroxylon zwageri terhampar di lantai hutan.

“Pohonnya keras, makanya disebut kayu besi” kata Nurdin atau akrab disapa “Pak Itin”, warga Air Selumar, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, yang siang itu mendampingin kami. Bukit Peramun merupakan kawasan Hutan Kemasyarakat [HKm] seluas 115 hektar yang dikelola Komunitas Air Selumar [Arsel Community] sejak 2006.

“Alhamdulillah di Bukit Peramun, pohon ulin masih banyak, kemungkinan ada puluhan pohon berukuran 2-4 pelukan orang dewasa,” lanjutnya.

Menurut pengamatan Itin, pohon ulin tidak tersebar merata di setiap sudut Bukit Peramun.

“Bijinya tidak jauh dari pohon induk, mungkin karena berat dan kulitnya keras, tidak banyak hewan yang tertarik menebarkannya di hutan,” katanya.

Baca: Menjaga ‘Laboratorium’ Obat-obatan Bukit Peramun

 

Pohon ulin berusia puluhan tahun di Bukit Peramun, Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Idnonesia

 

Henri, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung, menjelaskan pertumbuhan pohon ulin di alam memang tidak menyebar, dikarenakan buahnya yang cenderung berat. Hal ini berbeda dengan meranti, yang dapat tumbuh jauh dari pohon induk, karena buahnya bersayap.

“Pertumbuhan ulin sangat lambat. Per tahun, hanya tumbuh sekitar 0,058 sentimeter,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Jumat [17/6/2022].

Usianya yang panjang, membuat pohon ulin memiliki banyak manfaat bagi ekosistem hutan. Selain penyedia oksigen dan penyerap karbon layaknya pohon lain, struktur akar ulin yang kuat memastikan siklus hidrologis air di perbukitan terjaga.

“Akarnya yang kuat juga menyebabkan wilayah perbukitan di Bangka Belitung terhindar dari longsor,” katanya.

Daun pohon ulin juga menjadi salah satu pakan utama orangutan [Pongo pygmaeusI], satwa terancam punah di Kalimantan. “Dahannya yang kuat, kerap dijadikan rumah atau sarang bagi orangutan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak melestarikan pohon ulin,” tegas Henri.

Dikutip dari news.detik.com, pohon ulin terbesar berada di Sangkima, Taman Nasional Kutai [TNK], Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Diameternya mencapai 2,47 meter, usianya diperkirakan seribu tahun.

Baca juga: Taman Kehati Belitung, Menjaga Bukit Peramun dari Kegiatan Tambang Timah

 

Kulit pohon ulin yang ditumbuhi lumut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancam

Secara umum, pohon ulin tersebar di hutan Indonesia [Kalimantan, Sumatera dan Bangka Belitung], Brunei Darussalam, Malaysia [Sarawak, Sabah], dan Filipina. Sementara di Kalimantan Barat, menurut Heyne [1987] ada 4 varietas yakni ulin lilin dengan batang cokelat tua, ulin tando dengan batang cokelat kemerahan, ulin tembaga dengan batang kekuningan, dan ulin kapur dengan batang cokelat muda.

Poho ulin juga dapat tumbuh di tepi sungai hingga wilayah perbukitan dengan tinggi mencapai 500 meter. Kayunya tergolong Kelas Kuat 1 dan Kelas Awet 1.

“Di Bukit Peramun ini, kalau tidak dijaga pasti habis ditebang. Ulin semakin sulit ditemukan di kawasan hutan Bangka Belitung,” papar Itin.

 

Hamparan biji pohon ulin di lantai hutan Bukit Peramun. Kawasan Hkm Bukit Peramun masih menyimpan potensi bibit ulin di Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam e-journal Analisis Kebijakan Hutan berjudul “Kayu Ulin Kalimantan: Potensi, Manfaat, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan kelestariannya” oleh Riskan Efendi, dijelaskan bahwa penebangan ulin berlebihan menyebabkan berkurangnya luas dan potensi hutan ulin.

“Banyak pohon ulin berdiameter kecil ditebang, seiring tingginya permintaan kayu,” tulis Riskan.

Masih di jurnal yang sama, dijelaskan bahwa kelestarian ulin diperhatikan dengan dimasukkan pada CITES [Convention on International Trade of Endangered Species]. Status konservasi [over all] jenis ulin adalah Rawan [VU A1 c,d dan 2 c,d], berdasarkan Red List Category IUCN 1994, VU A1c,d.

“Penanaman ulin perlu digalakkan di hutan adat dan hutan lindung. Sifatnya yang tahan kebakaran, jenis ini direkomendasikan dapat digunakan sebagai tanaman sekat bakar, terutama pada hutan tanaman industri skala besar,” tulis laporan itu.

Berdasarakan buku “100 Spesies Pohon Nusantara Target Konservasi Ex Situ Taman Keanekaragaman Hayati” karya Hendra Gunawan, Marfuah Wardani, Nina Mindawati dari Litbang KLHK dan Sugiarti dari BRIN, pohon ulin dimasukkan sebagai satu dari 100 spesies flora yang dijadikan prioritas konservasi.

“Penentuan kriteria prioritas, dilihat dari sisi kekhasan, keterancaman, serta kegunaannya,” tulis buku terbitan IPB Press tahun 2019.

 

Biji ulin berbentuk lonjong dan keras. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pohon penting

Bagi sejumlah Suku Melayu tua seperti Suku Mapur dan Suku Jerieng di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ulin merupakan jenis penting bagi kehidupan mereka. Kayu ini sudah sejak lama dijadikan bahan utama kontruksi rumah seperti pondasi, kerangka atap, atau dinding.

“rumah di sini banyak bertahan hingga puluhan tahun, kami hanya perlu mengganti atap yang terbuat dari daun rumbia,” kata Sukar, Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem.

Tidak hanya itu, Suku Dayak di Kalimantan juga memanfaatkan kayu ulin sebagai atap atau sirap rumah adat seperti Betang di Kalimantan Tengah.

“Selain itu, bangunan untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang suku Dayak Kalimantan terbuat dari kayu ulin, karena daya tahannya di tempat terbuka,” tulis Riskan Efendi dalam penelitiannya.

Berdasarkan laporan penelitian Witiyasti Imaningsih dkk, dari Universitas Lambung Mangkurat, tanaman ulin juga dimanfaatkan masyarakat Kalimantan sebagai obat rematik dan diabetes.

“Bijinya direbus dan air rebusannya diminum oleh penderita penyakit tersebut [Komunikasi Pribadi, 2019],” tulisnya.

Menurut Henri, pohon ulin harus terus dilestarikan, sebagai target konservasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

“Tidak hanya penting bagi hutan, tetapi juga simbol eksistensi sejumlah suku tua di Bangka Belitung,” tegasnya.

 

Exit mobile version