Mongabay.co.id

Mencegah Praktik Perikanan Ilegal dari Pelabuhan

.

Pelabuhan perikanan menjadi ujung tombak untuk pemberantasan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlaporkan, dan menyalahi aturan (ilegal, unreported and unregulated fishing/IUUF) yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia sekarang. Upaya tersebut akan dilaksanakan di seluruh Pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia.

Pelabuhanp perikanan bakal diperkuat pengawasannya untuk mencegah hasil IUUF didistribusikan ke dalam pasar perikanan internasional. Upaya tersebut menjadi bagian dari penerapan persetujuan tentang kesepakatan negara pelabuhan (port state measures agreement/PSMA).

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi saat memberikan sambutan pada Virtual Information Meeting of Port State Measures Agreement, di Jakarta, Selasa (21/6) mengatakan, Indonesia sudah melakukan ratifikasi penerapan PSMA pada 2016 lalu. Ratifikasi dilakukan untuk memperkuat kontrol pelabuhan di antara negara anggota pelabuhan yang masuk keanggotaan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Ratifikasi diterbitkan melalui Peraturan Presiden No.43/2016 tentang Pengesahan Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter, And Eliminate Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan Yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, Dan Tidak Diatur)

PSMA sendiri sudah mulai diterapkan sejak 2009, tepatnya saat negara-negara pelabuhan menjalin kesepakatan untuk mencegah praktik IUUF terus meluas dan menguat. Tetapi, hingga sekarang, praktik perikanan di Indonesia disinyalir ada yang masih melaksanakan secara ilegal hingga 25 persen.

Adanya ratifikasi PSMA ini juga mempertegas posisi dan komitmen Indonesia dalam memberantas aktifitas IUU Fishing,” sebut dia.

baca : Pentingnya Menata Kembali Pelabuhan

Berbagai kapal perikanan yang berlabuh di kolam Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, pada Januari 2018. Foto : PIPP KKP

Dengan adanya penguatan peran pelabuhan perikanan, Indonesia sudah berkomitmen untuk terus melaksanakan pemberantasan aktivitas IUUF. Bersama dengan itu, penerapan seluruh ketentuan yang ada dalam perjanjian PSMA juga terus dilakukan Indonesia.

Dalam upaya untuk melaksanakan ratifikasi PSMA, KKP pada 2019 menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan Secara Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur.

Menurut Zaini, peraturan tersebut berisi tentang pelaksanaan PSM (Port State Measures), kelembagaan, mekanisme dan prosedur kapal asing masuk ke pelabuhan, pendidikan dan pelatihan petugas PSM, serta monitoring dan pelaporan.

Tidak berselang lama, KKP menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pelabuhan Tempat Pelaksanaan Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan Secara Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur .

Dalam keputusan tersebut, KKP menunjuk empat pelabuhan yang dapat dimasuki kapal asing, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di Jakarta, PPS Bitung di Sulawesi Utara, PPS Bungus di Sumatera Barat, dan Pelabuhan Benoa di Bali.

Sejak aturan turunan di atas diterbitkan dan penunjukan pelabuhan dilakukan, Zaini mengakui masih terdapat sejumlah kendala yang dihadapi oleh KKP. Utamanya, masih kurangnya kesadaran para pemangku kepentingan berkaitan PSMA, kurangnya kapasitas sumber daya manusia, dan harmonisasi pelaksanaan PSMA dengan port state control (PSC).

Agar persoalan itu bisa diatasi, Indonesia mengusulkan penyusunan prosedur operasional standar (SOP) minimum untuk memandu semua negara pelabuhan dalam penerapan PSMA di semua pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia.

Kemudian, solusi berikutnya adalah melaksanakan kampanye publik tentang ketentuan PSMA, dan penolakan pelayanan pelabuhan bagi kapal perikanan yang melakukan praktik IUUF. Usulan tersebut diharapkan bisa memecahkan segala kendala yang selama ini ada.

baca juga : KKP Kembangkan Pelabuhan Perikanan Ramah Lingkungan dan Perubahan Iklim

Kapal-kapal ikan bersandar di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, 2016. Foto : shutterstock

Kerjasama Lembaga Internasional

Selain menguatkan peran pelabuhan perikanan di dalam negeri, Zaini Hanafi menerangkan kalau Indonesia juga akan memperkuat upaya pemberantasan IUUF dengan meningkatkan kerja sama dan pertukaran informasi dengan lembaga internasional.

Termasuk, di dalamnya adalah pengawasan dan pengendalian antar negara pelabuhan, negara pantai, FAO, organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), dan organisasi lainnya. Juga, melaksanakan Global Record of Fishing Vessel, Global Information Exchange, dan penggunaan e-PSM antar negara yang telah meratifikasi PSMA.

Bentuk nyata penguatan peran pelabuhan perikanan untuk memberantas IUUF, adalah berupa peningkatan kompetensi petugas pelabuhan dan pemangku kepentingan, penguatan koordinasi, dan bimbingan teknis (bimtek).

Menurut dia, semua upaya penguatan tersebut akan dilaksanakan pada 2022 dan sekaligus sebagai upaya sosialisasi dan persiapan Indonesia menjadi tuan rumah 4th Meeting Of The Parties to the Port State Measure Agreement (PSMA) pada 2023.

Selain untuk mencegah praktik IUUF, peran pelabuhan perikanan terus dikembangkan untuk mendukung penerapan sistem jaminan mutu produk kelautan dan perikanan dari hulu hingga ke hilir secara terintegrasi.

Peran tersebut, akan diemban oleh PPS Bitung yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadi proyek percontohan terintegrasi untuk kegiatan tersebut. Tujuannya, agar pemanfaatan tempat pelelangan ikan (TPI) dan sejumlah unit pengolahan ikan (UPI) di sekitar pelabuhan bisa termanfaatkan dengan baik.

Dengan mengoptimalkan peran sistem jaminan mutu produk kelautan dan perikanan, diharapkan upaya untuk meminimalisir kasus penolakan produk kelautan dan perikanan oleh negara tujuan (buyer) bisa terus berjalan.

baca juga : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

Panorama udara Pelabuhan Perikanan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : PIPP DPJTP KKP

Mutu Produk

Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Dedy Miharja menjelaskan, penerapan sistem mutu produk kelautan dan perikanan menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, karena memang ada sejumlah rencana kerja yang ditargetkan.

Di antaranya, adalah bagaimana permasalahan teknis yang selama ini ada, seperti tuntutan jaminan mutu internasional dan penolakan negara tujuan ekspor bisa segera berhenti. Dua hal teknis tersebut ada, karena ada bahan kandungan dalam ikan yang masih lolos dalam verifikasi ekspor.

Padahal, bahan tersebut dilarang oleh negara tujuan ekspor karena faktor kesehatan. Bahan-bahan tersebut, misalnya adalah logam berat, salmonella, histamin, decompose, dan yang lainnya.

Di luar bahan-bahan yang disebutkan di atas, dia menyebutkan kalau sistem mutu produk kelautan dan periknan menjadi perhatian, karena ada temuan kasus kandungan kontaminan jejak COVID-19 pada produk kelautan dan perikanan untuk ekspor.

Temuan tersebut terjadi di China oleh Badan Kepabeanan negara tersebut (General Administration of Customs China/GACC) dan jumlahnya terus bertambah dari bulan ke bulan. Bahkan, hingga 18 April 2022, jumlahnya sudah mencapai 84 kasus dari total 48 UPI yang mengirimkan produknya ke China.

Saat ini Pemerintah telah mengevaluasi dan menyusun strategi agar permasalahan tersebut terselesaikan,” ucap dia.

baca : Ada Patogen COVID-19 pada Produk Perikanan Kemasan?

Ilustrasi. Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

Menurut Dedy Miharja, saat ini sudah disiapkan program bidang pengelolaan dan bina mutu produk kelautan dan perikanan, yang bertujuan untuk mendapatkan output yang bermutu, aman, berdaya saing tinggi, dan memenuhi persyaratan internasional.

Program tersebut meliputi harmonisasi jaminan mutu produk kelautan dan perikanan dari hulu sampai hilir yang terintegrasi. Juga, rencana pengembangan pemanfaatan teknologi iradiasi untuk menjaga kualitas ekspor, serta pemenuhan persyaratan mutu negara buyer.

Dengan maksud dan tujuan seperti disebutkan di atas, pemilihan PPS Bitung sebagai pelabuhan percontohan dinilai tepat. Mengingat, pelabuhan tersebut adalah salah satu yang terbesar di Indonesia dan lokasinya yang sangat strategis di jalur perdagangan internasional.

Menjadi pelabuhan percontohan untuk penerapan sistem mutu produk kelautan dan perikanan, berarti menjadikan PPS Bitung sebagai pelabuhan untuk penanganan hasil tangkapan ikan yang baik, sejak dari kapal perikanan, didaratkan, dan dipasarkan.

Dedy Miharja memastikan, semua proses tersebut akan memakai kaidah cara penanganan ikan yang baik (CPIB), juga menerapkan prosedur standar operasional untuk sanitasi (SSOP). Cara tersebut akan diperkuat dengan penerapkan standardisasi petugas mutu, baik jumlah maupun kompetensinya.

Adapun, standar yang diberlakukan untuk kepentingan tersebut, adalah dengan menerapkan CPIB dan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Diharapkan, standar petugas mutu akan memiliki kesamaan dari segi kualitas dan kompetensi.

baca juga : Apa Kunci Menjaga Mutu Produk Perikanan Nasional?

Pengolahan ikan di suatu perusahaan untuk diekspor. Foto : KKP

Hal berikutnya yang menjadi perhatian, PPS Bitung akan melaksanakan rencana implementasi aplikasi fish on untuk menciptakan kesejahteraan para nelayan. Juga, akan didorong untuk didirikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk keperluan pemenuhan energi listrik yang efisien dan ramah lingkungan.

Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Adi Chandra menyebutkan, PPS Bitung dibangun di atas lahan seluas 5,7 hektare (ha), namun baru sekitar 50 persen yang sudah dimanfaatkan. Saat beroperasi, Bitung melayani hasil tangkapan ikan yang berasal dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 715 dan 716.

Cakupan WPPNRI 715 adalah perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau. Sementara, cakupan WPPNRI 716 adalah perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera.

Indonesia berstatus Whitelist

Berbagai upaya untuk menata dan memperbaiki layanan di pelabuhan, memang memiliki tujuan yang banyak dan semuanya baik untuk masa depan perikanan Indonesia. Termasuk, untuk kepentingan Indonesia di mata dunia.

Tahun ini, dalam laporan tahunan 2021 untuk wilayah Asia-Pasifik yang dirilis resmi oleh Port State Control (PSC) Tokyo Memorandum of Undertanding (MoU) di Jepang, Indonesia masuk ke dalam kelompok negara dengan daftar putih (whitelist). Kelompok tersebut adalah negara yang bisa melakukan kontrol pelabuhan dengan sangat baik.

Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Laut Kemenko Marves Okto Irianto menjelaskan, laporan tahunan yang dirilis PSC Tokyo MoU tersebut merupakan data kegiatan kontrol kepelabuhan yang berasal dari 21 negara anggota tetap Tokyo sepanjang 2021.

Dia menyebut, pada 2019 status Indonesia di PSC Tokyo MoU adalah graylist, namun kemudian membaik menjadi whitelist pada 2020. Status tersebut berhasil dipertahankan pada 2021, yang laporan resminya diterima Indonesia pada Mei 2022.

Sebelum status whitelist berhasil didapatkan, kapal berbendera Indonesia memiliki citra buruk atau tidak aman selama dua dekade. Stigma yang melekat kuat tersebut kemudian menyulitkan kapal-kapal perikanan Indonesia yang akan dan sedang berlayar di luar negeri.

Ada kemungkinan besar kapal tersebut akan ditahan tidak boleh berlayar atau detensi,” terang dia.

perlu dibaca : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

Seorang petugas pelabuhan sedang bekerja mengawasi kapal. Foto : Kemenko Marves

Status whitelist yang berhasil didapat selama dua tahun berurutan, menegaskan bahwa kepercayaan dunia terhadap aspek keselamatan dan keamanan kapal dari Indonesia terus meningkat. Status tersebut berdampak positif pada biaya logistik yang harus dikeluarkan kapal Indonesia.

Jika kondisi tersebut terus dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya, Okto Irianto optimis kalau kapal Indonesia akan bisa bersaing dengan kapal berbendera asing. Itu berarti, kegiatan ekspor dan impor akan semakin besar peluangnya menggunakan kapal dari Indonesia.

Diketahui, dalam laporan PSC Tokyo MoU tiga tahun terakhir, terdapat 22 kapal berbendera Indonesia yang mengalami detensi setelah selama tiga tahun dilakukan 589 inpeksi terhadap seluruh kapal berbendera Indonesia.

Kemudian, jumlah kapal yang mengalami detensi menurun pada 2019 menjadi 11 unit, dan 6 unit pada laporan yang dirilis pada 2020. Jumlah kapal detensi semakin menyusut, karena pada laporan 2021 disebutkan hanya ada 5 kapal Indonesia.

Exit mobile version