Mongabay.co.id

Kala PTUN Putuskan Cabut Izin Lingkungan, Perusahaan Tetap Melaju, Warga Sangihe Terus Menolak

 

 

 

 

Teriakan seorang perempuan ketika aksi saling tarik warga dan polisi. Seorang laki-laki berbaju hitam baju dan tangan ditarik polisi. Leher kena piting. Warga lain berupaya menarik laki-laki itu lebih kuat dan melepaskan dari tarikan polisi.

Pagi itu, 15 Juni 2022, warga Sangihe bertahan menghadang alat berat PT Tambang Mas Sangihe (TMS) perusahaan tambang asal Kanada yang bakal beroperasi di Kampung Bowone.

Walau warga sudah memenangkan gugatan pencabutan izin lingkungan perusahaan pertambangan emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS), pada 2 Juni 2022, tampaknya tak menyurutkan langkah perusahaan dan para pendukungnya melaju. Warga Sangihe harus terus berjuang.

Saat itu, warga yang tergabung di Save Sangihe Island memblokade jalan penghubung Desa Bowone-Salurang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut).

Rekaman lewat video yang beredar terlihat polisi dan warga saling tarik, seorang perempuan berbaju kuning mencoba menerobos dan ikut mencegah seorang laki-laki agar tak diringkus polisi.

“Bubar! Bubar!” suara laki-laki terdengar membentak.

“Bawa! Bawa!” kata suara lainnya.

Ketika pekikan perempuan tadi kian mengeras, chain saw meraung-raung. Sepersekian detik kemudian video itu berhenti.

AKBP Denny Wely Wolter Tompunuh, Kapolres Kepulauan Sangihe, mengklaim polisi hanya mencegah ‘masyarakat yang mendekat ke alat pemotong pohon’ dan untuk membuka akses jalan. “Bukan menarik.”

Kericuhan di pagi itu adalah puncak dari semua kekesalan warga. Semua berawal saat TMS kembali mengerahkan drill rig machine ke Sangihe seakan tak mengindahkan putusan hukum.

Dengan putusan PTUN Manado, warga nilai, segala aktivitas TMS di Sangihe adalah tindakan ilegal dan bentuk ‘pembangkangan’.

Mongabay coba menghubungi TMS, tetapi tak mendapat respon.

“Kenapa polisi justru tegas kepada pemblokiran jalan, sementara itu terjadi karena alat berat TMS dimobilisasi ke Salurang. Sementara TMS melanggar aturan, melanggar putusan PTUN Manado,” kata Alfred Pontolondo, juru bicara Save Sangihe Island baru-baru ini melalui telepon.

 

Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di Sangihe

Warga ditarik polisi saat aksi blokir jalan karena menolak perusahaan tambang emas masuk Sangihe. Foto: dokumen Save Sangihe Island

 

Tiga hari yang berat

Sembilan hari setelah majelis hakim PTUN Manado mengabulkan gugatan 56 perempuan Sangihe, Alfred dan kelompok SSI mendapat kabar, TMS tengah menyeberangkan alat berat dengan kapal ferry dengan nama lambung Porodisa.

Sejak pagi warga mulai berjaga di pelabuhan.

Pagi itu, kapal yang dinanti sandar di Pelabuhan Pananaru. Warga tak mendapati satupun alat berat. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Alfred mengira kabar itu hanya hoaks.

Dua hari berikutnya, 13 Juni 2022, warga kembali menerima kabar. Kali ini kabar itu benar. “Tiba-tiba ada telpon dari desa tetangga yang berdekatan dengan Pananaru, bahwa alat-alat berat menyerupai bor [sedang] mengarah ke Bowone,” kata Alfred. “Mereka dikawal satu unit patroli polisi bertuliskan Polres Sangihe.”

Melalui WhatsApp, Kapolres Kepulauan Sangihe, AKBP Denny Wely Wolter Tompunuh, membantah jajarannya mengawal pengerahan alat berat TMS, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun kepada media lokal Denny mengatakan, kehadiran polisi saat itu untuk ‘menjaga kondusivitas.’

Kabar yang diterima warga sebelumnya ternyata tak sepenuhnya salah. Belakangan Alfred tahu, saat mereka sedang berjaga, Tirta Alam I, kapal jenis landing craft tank (LCT) mengangkut tiga alat berat TMS dan sandar di Pananaru pukul 22.30 WITA. Muatan kapal itu disimpan di Pelabuhan hingga 13 Juni.

Warga tak menyangka.

 

Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Truk-truk PT TMS. Foto: Save Sangihe Island

 

Tiga truk pengangkut alat berat meluncur ke Bowone, warga berkonsolidasi dan bersepakat memblokir jalan. Mereka menebang dua batang kelapa dan membaringkan di ruas jalan. Iring-iringan itu tak kunjung datang, hingga sore. Polisi datang berjaga.

Dari informasi yang diterima Alfred, truk pengangkut alat berat itu berhenti di Desa Salurang, pusat Kecamatan Tabukan Selatan, lima kilometer dari Bowone.

Menjelang malam, warga masih menduduki jalan. Di malam hari, warga dan Kapolsek Tabukan Selatan AKP R Pakaya bernegosiasi. Di hadapan Pakaya, warga mengatakan, bakal melepas pemalang jalan dengan satu ketentuan: TMS memulangkan alat beratnya.

“Tapi pas itu agak alot, karena Pak Kapolsek bernegosiasi dengan markas di Tahuna tetapi tidak mendapatkan kepastian,” kata Alfred.

Mongabay coba hubungi Pakaya, namun Kapolsek Tabukan Selatan ini tak menanggapi permintaan wawancara.

Pada malam itu, warga terus berjaga dan memutuskan tinggal. Di atas jalan aspal, mereka menggelar terpal sebagai alas tidur. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda berjaga.

Keesokan hari, 14 Juni 2022, warga berembuk dan memutuskan bikin aksi protes di Desa Salurang. Memblokade jalan tidaklah cukup. Sekitar pukul 13.00, mereka telah sampai di Salurang dan disambut situasi tegang yang bagi Alfred “berisiko ricuh, karena masyarakat di Salurang juga sudah berkumpul dan terlihat marah dengan warga Bowone yang datang bergeruduk.”

“Perlu dicatat bahwa sebagian warga Salurang sudah bekerja sebagai karyawan TMS. Itu salah satu dasar potensi konflik. Waktu itu belum juga ada kepastian.”

Kapolsek, katanya, janji ada keputusan dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sangihe. “Selasa malam, mereka akan melakukan pertemuan antara PJ Bupati, Kapolres, Dandim, dan Kajari.”

Hingga Rabu pagi keputusan dari Fokopimda Sangihe tak pernah sampai ke telinga warga.

Pagi-pagi sekali, 15 Juni 2022, Alfred menuju Kantor Bupati di Tahuna. Dia hendak menemui bupati, meminta kejelasan terkait sengkarut yang sedang berlangsung. Sejak 22 Mei, Bupati Sangihe dijabat Rinny Tamuntuan sebagai penjabat sementara. Pertemuan tak terjadi. Rinny sedang bertolak ke Manado.

 

Baca juga: Warga Gugat Hukum Izin PT Tambang Mas Sangihe

Salah satu titik lokasi PT TMS. Foto: dokumen Baru Gold

 

Upaya TMS selalu mendapat perlawanan sengit dari warga yang menolak. Berturut-turut, TMS mengerahkan alat berat mereka pada 22-24 Desember 2021, 4 Februari 2022, dan 23 Februari 2022.

TMS, adalah perusahaan bagian dari Baru Gold asal Kanada. Sekitar 70% saham dikuasai Sangihe Gold Corporation, bagian Baru Gold, 10% oleh PT Sungai Belayan Sejati asal Indonesia. Kemudian, 11% kepemilikan PT Sangihe Prima Mineral dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%.

Untuk memulai operasi, TMS mendapat pinjaman emas senilai US$13, 5 juta dari Isatis Capital Group of Montreal.

Perut bumi Sangihe teridentifikasi mengandung emas sejak tahun 1980-an. Perkampungan Binebas, Bawone, dan Taware berada di atas wilayah itu. Para tetua Sangihe bahkan menjuluki pulau ini sebagai ‘rimpulraeng’ yang berarti tanah emas.

Dalam sebuah pertemuan Maret lalu, CEO TMS, Terry Filbert kecewa lantaran pengiriman alat berat ke Sangihe selalu kandas dan menuduh aksi semacam itu ‘mengganggu perekonomian Indonesia.’

Masih di pertemuan sama, kepolisian mengaku siap mengawal pengiriman alat berat TMS selama itu ‘sesuai aturan dan tidak melanggar hukum.’

Namun, PT ASDP Indonesia Ferry enggan mengizinkan Kapal KM Porodisa berlayar kalau mengangkut alat berat TMS, karena alasan keamanan anak buah kapal (ABK).

 

 

Pertambangan emas ilegal  di Sangihe. Foto: dokumentasi Baru Gold

 

***

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, mengatakan, upaya polisi mengawal tindakan ilegal dan contemp of court (ketidakhormatan terhadap pengadilan dan pejabatnya) TMS adalah perbuatan salah.

Dalam pernyataan terpisah, Jatam beranggapan polisi mestinya menghentikan dan memproses hukum tindakan mobilisasi alat berat TMS, karena diduga “telah melakukan tindak pidana menggunakan jalan umum untuk industri tambang. Ini sebagaimana UU Nomor 38/2004 tentang Jalan.

“Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian) harus periksa dugaan pelanggaran oleh oknum kepolisian yang mengawal tindakan ilegal perusahaan ini.”

Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, TMS lakukan pembangkangan hukum. “Khusus terhadap putusan pengadilan yang menyatakan batal izin lingkungan TMS.”

Putusan itu berimplikasi pada pemberhentian seluruh aktivitas TMS. Ketika izin lingkungan batal, kata Dodo, sapaan akrabnya, harusnya tak ada lagi aktivitas. Kalau ada, berarti TMS melakukan kegiatan ilegal dan berpotensi mencemari atau merusak lingkungan.

“Aparat penegak hukum dan Dinas Lingkungan Hidup punya kewajiban memastikan TMS tidak beroperasi.”

Kalau tetap beroperasi, katanya, harus segera melakukan pemeriksaan dan menghentikan kegiatan sesegera mungkin. “Sekarang kita tunggu keberanian dan komitmen mereka dalam menjaga putusan pengadilan. Walaupun ini belum berkekuatan hukum tetap, ya.”

Pada 15 Juni 2022, hari ketika warga Bowone berjuang menghalang alat berat TMS, banding diajukan perusahaan sebagai tergugat II intervensi I di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.

Pada 21 Juni 2022, ibu-ibu perwakilan warga Sangihe yang menggugat, memberi karangan bunga kepada PTUN Manado, sebagai bentuk terima kasih karena memutuskan pencabutan izin lingkungan TMS.

 

Exit mobile version