Mongabay.co.id

Menikmati Pesona Bentang Alam Berbalut Budaya Rammang-Rammang

 

Desa Salenrang memiliki bentang alam yang indah dan mempesona dengan sajian hamparan gugusan karst dan aliran sungai yang mengantar para pengunjung ke Kampung Berua, destinasi utama di kawasan wisata Rammang-Rammang di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan,

Ramang-rammang sebagai bagian dari kawasan pegunungan Maros – Pangkep seluas 45.000 Ha merupakan kawasan karst terluas di dunia setelah kawasan karst di Cina dan Vietnam.

Tidak hanya memiliki kawasan karst dengan persentase 25% dari luasan desa, jenis penggunaan lahan di Desa Salenrang juga sangat beragam yakni diantaranya 39% sawah, tambak 26%, perkebunan 0,30%, dan permukiman 3,70% dari luasan desa (Hartati, Nurlambang, dan Zulkarnain, 2020).

Dengan karakteristik bentang alam yang beragam, masyarakat Desa Salenrang khususnya Rammang-Rammang dapat hidup dan berkecukupan dari generasi ke generasi, jauh sebelum masyarakat mengenal pariwisata.

Keindahan bentang alam karst, sungai, sawah, dan tambak merupakan penanda identitas dan sekaligus ‘media’ lahirnya berbagai bentuk budaya di masyarakat.

Lantas, seperti apa praktek budaya yang kini menjadi pengetahuan bagi masyarakat Rammang-Rammang, utamanya yang berkaitan dengan aspek lingkungan atau bentang alam yang telah memberi mereka kehidupan?

baca : Jalan Panjang Karst Rammang-Rammang menuju Ekowisata

 

Gunung Bulu Barakka yang berarti gunung yang memberi keberkahan, merupakan salah satu gugusan karst yang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat di Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Bontoa, Maros, Sulsel. Foto : Nurul Fadli Gaffar

 

Jaga Karst, Jaga Kehidupan: Pesan Leluhur

Sekitar 15 tahun yang lalu, hutan batuan karst Rammang-Rammang hampir dieksploitasi besar-besaran oleh tiga perusahaan asal Tiongkok yang telah mengantongi izin usaha pertambangan, tepatnya pada tahun 2007.

Hingga pada tahun 2013 atas tekanan dari berbagai pihak, terutama masyarakat Desa Salenrang yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Salenrang (PRS), izin ketiga perusahaan tersebut akhirnya dicabut.

Perjuangan masyarakat Desa Salenrang melindungi kawasan karst dijelaskan Muhammad Ikhwan atau akrab disapa sebagai Iwan Dento sebagai upaya untuk menjaga kehidupan dan identitas mereka.

”Kalau karst itu dirusak, maka semua kehidupan disini akan ikut rusak. Mulai dari sumber air, pohon, flora-fauna, sampai identitas kami juga akan hilang,” katanya saat ditemui di rumahnya pada akhir Maret 2022.

Kini, apa yang diyakini Iwan Dento dan masyarakat Desa Salenrang terbukti. Kawasan karst Rammang-Rammang memang berperan hidrologi penting dalam mengatur keseimbangan air permukaan dan bawah tanah, penyedia sumber air bagi masyarakat desa, memberikan tambahan pemasukan bagi masyarakat melalui pariwisata, dan menyimpan sejarah pengetahuan manusia purba Sulawesi.

Pada awal tahun 2022, saya bertemu dengan Daeng Are, salah satu pengelola dan penjaga mata air Rammang-Rammang yang bersumber dari gunung Bulu Ballang (gunung putih). Saat itu, saya sedang mengerjakan sebuah penelitian mengenai tata kelola air yang berhasil dilakukan di Desa Salenrang.

Rumah Daeng Are berada tidak jauh dari gunung Bulu Ballang yang berada di sebelah utara Desa Salenrang. Menurutnya, karst Rammang-Rammang telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi penduduk desa, utamanya menyangkut soal air bersih. Gunung-gunung (karst) disini telah memberi ‘berkah’ dan ‘manfaat’ bagi orang disini,” katanya.

baca juga : Menjaga Karst, Menjaga Keanekaragaman Hayati Rammang-rammang

 

Bulu Ballang (Gunung Putih), sumber mata air tiga desa di Kecamatan Bontoa, termasuk kawasan Rammang-rammang. Foto : Nurul Fadli Gaffar

 

Selain manfaat yang dirasakan, masyarakat sekitar gunung Bulu Ballang ternyata juga mempercayai satu pesan dari leluhur yang berbalut teka-teki dan perumpamaan.

“Orang sini punya kepercayaan tentang Bulu Ballang. Dulu kata nenek-nenek (leluhur) kami, kalau ada batunya jatuh maka mereka percaya akan ada orang yang meninggal di desa,” jelas Daeng Are.

Artinya kerusakan kawasan pegunungan karst Maros bakal berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Rammang-rammang. “Pada intinya, kami (warga) di kampung ini wajib melindungi gunung-gunung disini. Itu pesan yang disampaikan kepada kami,” pungkasnya.

Sedangkan Daeng Ali (60 tahun), sesepuh di Kampung Massaloeng, Desa Salenrang yang ditemui akhir Maret 2022, bercerita tentang pesan atau amanah orang tuanya agar menjaga kawasan pegunungan karst karena telah memberikan mereka penghidupan.

“Sekarang masuk Bosowa (pabrik semen yang berlokasi di Kabupaten Maros yang mengeksploitasi kawasan karst Rammang-rammang) yang merusak gunung sebelah kampung ini. Kalau Bulu Barakka’ dihancurkan, Salenrang bisa tenggelam, karena disitu tersimpan mata air besar yang tembus langsung dari laut,” ucap Daeng Ali dalam bahasa setempat.

Menurut Daeng Ali, Bulu Barakka’ yang berarti gunung yang memberi keberkahan merupakan tempat masyarakat Desa Salenrang berkebun dan bercocok tanam karena tanahnya yang subur. ”Seperti namanya membawa barakka’ (berkah) bagi orang disini,” katanya.

Rasa takjub Daeng Ali terhadap pesona dan jasa lingkungan gunung Bulu Barakka’ yang berada di selatan Desa Salenrang semakin bertambah, sebab ia telah menyaksikan betul bagaimana dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat ketika kawasan karst itu dieksploitasi.

“(Aktivitas pertambangan perusahaan semen) Bosowa itu dekat sekali dari sini. Getaran dan abunya juga sampai disini. Abunya itu merusak karena biasa turun atau bercampur air hujan yang kami konsumsi. Monyet juga tambah banyak turun ke pemukiman, naik ke rumah-rumah. Mungkin karena rumahnya (habitatnya) sudah diganggu. Padahal tambang Bosowa agak jauh dari kampung, bagaimana kalau itu tambang ada di kampung, pasti semakin mengganggu kehidupan disini,” pungkasnya.

Sebenarnya, tidak hanya Bulu Ballang dan Bulu Barakka’ yang memiliki pesan kuat mengenai keberlangsungan hidup masyarakat maupun biota yang ada di Rammang-Rammang. Salah satu bukit karst, Bulu Barayya’ (gunung perkampungan binatang), berada di sebelah selatan Kampung Massaloeng juga dipercaya sebagai rumah atau tempat tinggal berbagai macam hewan dan konon dihuni oleh seekor kerbau besar.

Dari kisah yang dituturkan Daeng Are dan Daeng Ali, menunjukkan bahwa eksistensi kawasan hutan karst Rammang-Rammang tidak hanya tampil secara fisik, namun juga mewujud dalam suatu kepercayaan simbolik masyarakat Salenrang, terkhusus Rammang-Rammang. Kepercayaan simbolik inilah yang memiliki arti atau pesan kuat mengenai pentingnya menjaga warisan leluhur yang telah memberi mereka penghidupan.

baca juga : Meramu Kuliner Khas di Ekowisata Karst Rammang-Rammang

 

Suasana Kampung Berua, Ramang-rammang pada malam hari. Foto: Nurul Fadli Gaffar

 

Lantunan Syair dan Petikan ‘Gambus’

Selain menghasilkan kepercayaan simbolik dalam bentuk pesan dari leluhur, interaksi bentang alam (karst, sungai, perkebunan, sawah, dan tambak) dengan masyarakat di Rammang-Rammang, juga menghasilkan suatu tradisi lisan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak dulu. Tradisi lisan ini dilantunkan dengan petikan gambus yang berpadu dengan syair-syair sederhana tapi memiliki makna kehidupan yang begitu mendalam.

Malam itu di Kampung Massaloeng Desa Salenrang, saya bertemu dan mendengarkan tokoh-tokoh masyarakat di Kampung Massaloeng memainkan gambus, alat musik tradisional di rumah Inca Lanna (60 tahun). Hadir pula beberapa anak muda yang berdatangan membawa alat musik.

Sudah empat malam kami latihan, karena anak muda disini masih malu-malu tampil di depan umum,” kata Inca diiringi tawa beberapa anak muda.

Selain latihan, para pemuda mendengarkan pengetahuan tradisi lisan dari para penuturnya yang rata-rata sudah berusia lanjut seperti Inca. Sambil mempersiapkan alatnya, Inca menceritakan kehadiran musik gambus di Kampung Massaloeng.

“Gambus ini kira-kira masuk tahun 1965. Yang perkenalkan itu gerombolan yang sering lewat sini (Massaloeng). Dulu, mereka tinggal di salah satu kampung tua, Romang Lompoa. Dulu musik ini dimainkan dari malam sampai pagi. Menemani kami menjaga sawah. Disini dulunya banyak babi yang merusak sawah-sawah. Makanya, kami mulai malam sampai pagi itu tidak tidur sambil bermain gambus,” jelasnya yang mengenal gambus sejak kecil.

Syair-syair yang biasanya mereka nyanyikan tiap malam saat menjaga sawah dari serbuan babi, berisikan pesan-pesan mengenai makna hidup, ajaran agama, dan juga interaksi mereka dengan gunung (karst), sungai, bahkan laut. ”Lagu-lagunya tentang bagaimana kita menikmati hidup dan berhubungan dengan alam yang ada disini,” katanya.

menarik dibaca : Gemerlap Kunang-kunang, Pesona Wisata Malam Rammang-Rammang

 

Inca Lanna sedang melantunkan syair dengan alat musik gambus kesayangannya. Foto: Nurul Fadli Gaffar

 

Sambil diiringi petikan nada gambus, dia kemudian menyanyikan salah satu syair yang begitu terkenal di Rammang-Rammang, sekaligus mengandung pesan atau makna tentang kehidupan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga kampung halaman.

Pariana Rammang-Rammang, ri Salenrang i allamba, ri Massaloeng i tarroe-roe i rappo’ na (Tanaman pare Rammang-Rammang, di Salenrang menjalar, di Massaloeng buahnya bergoyang-goyang),” kata Inca melantunkan potongan syair lagu.

Lagu yang dimainkan Inca itu berisi perumpamaan yang mendalam mengenai pertalian kehidupan di tiga perkampungan tua di desa ini yakni Rammang-Rammang, Salenrang, dan Massaloeng. Juga tentang penghidupan (manusia dan alam) dan identitas mereka sebagai keturunan Dampang Salenrang.

Khazanah bentang alam diikuti dengan tradisi lisan yang mengakar dan menjulang bagaikan hamparan gugusan karst Rammang-Rammang, juga membuat takjub anak muda penerus sekaligus pelestari tradisi lisan ‘sinrilik’ khas Makassar di Sulawesi Selatan, Arif Rahman Daeng Rate.

Arif, sapaan akrabnya, pernah berkunjung, berinteraksi, dan berbagi pengalaman secara langsung bersama dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang. Dari interaksinya itu, Arif menyadari bahwa syair-syair yang mereka nyanyikan memiliki pesan yang kuat mengenai hubungan bentang alam dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang.

“Kesenian mereka, baik lagu, syair, dan cerita yang berkembang disana mengarah pada satu hal, yakni pengabdian. Misalnya dalam lagu-lagu yang saya dengar ada yang menyebut sungai, gunung, dan beberapa kampung yang spesifik. Itu kan pada dasarnya ada yang mereka mau titipkan kepada generasi selanjutnya,” ucap Arif saat dihubungi via Whatsapp, pertengahan Maret lalu.

baca juga : Kampung Massaleong, Pelita Baru bagi Wisata Rammang-rammang

 

Arif Rahman Daeng Rate (paling kanan) bersama dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang. Foto: Arif Rahman Daeng Rate

 

Selain itu, para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang menyebutkan jika bentang alam di luar sana sudah banyak yang berubah, tetapi syair-syair lagunya masih ada dan begitupun sebaliknya. ”Di Rammang-Rammang ini, semua masih terjaga. Bentang alamnya masih utuh dan penuturnya juga masih ada. Menurutku ini yang penting jadi titik temu antara tradisi lisan dan upaya pelestarian lingkungan,” sambungnya.

Terakhir, saya menemukan sebuah pesan kuat di salah satu postingan instagram Arif, sesaat setelah ia menikmati bentang alam dan berinteraksi langsung dengan para penutur tradisi lisan di Rammang-Rammang.

“Lirik yang tergubah dan kisah-kisah yang mengalir pada masyarakat ini muncul seperti bentang alam mereka. Semua lirik dan kisah adalah mereka sendiri. Bebatuan karst adalah mereka sendiri. Sungai adalah mereka sendiri. Tanah adalah mereka sendiri. Air adalah mereka sendiri. Adapun musik dan segala apa yang diiringinya adalah resonansi yang lahir dari bentang alam dan daya pikir/cipta manusia perawatnya. Terima kasih kepada kalian semua yang bertahan dengan sederhana dan kesatria.” tulis Arif dalam postingan instagramnya (2/12/2021).

 

Maudu Jolloro’, Pesan Berbagi dan Bersyukur

Akhir tahun 2016, sepanjang aliran Sungai Pute menyajikan lanskap alam yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun itu, dimulai dari dermaga satu menuju ke dermaga dua dipenuhi oleh perahu jolloro’ yang membawa Baku Maudu atau sebuah ember yang berisi telur dan songkolo. Aktivitas masyarakat Desa Salenrang, khususnya Rammang-Rammang untuk merayakan Maulid Rasulullah SAW.

Semenjak Rammang-Rammang ditetapkan sebagai kawasan wisata yang ramai dikunjungi, masyarakat kini mengenal dua cara merayakan tradisi Maulid Rasulullah SAW. Pertama ialah perayaan maulid yang sejak turun temurun dirayakan di Masjid dan kedua ialah perayaan maulid yang diadakan di atas perahu atau dikenal dengan istilah Maudu Jolloro’.

Menurut Iwan Dento, Ketua Kelompok Sadar Wisata Hutan Batu Karst Rammang-Rammang menjelaskan Maudu Jolloro’ yang diadakan pertama kali pada tahun 2016 itu merupakan upaya promosi wisata alam Rammang-Rammang dan sekaligus pelestarian tradisi.

“Sebenarnya tradisi Maudu Jolloro’ itu, membawa konsep ‘sedekah’ ke para pengunjung sebagai ucapan terimakasih masyarakat disini atas nikmat dan berkah yang mereka telah rasakan. Selain itu, tradisi ini juga sebagai ajang atraksi sekaligus pelestarian budaya atas limpahan sumber daya alam yang dimiliki Rammang-Rammang,” ujar Iwan Dento.

Perahu-perahu yang dihias dengan beragam ornamen khas maulid ini melintasi Sungai Pute dimulai dari Jembatan pute lalu berakhir di dermaga tiga Kampung Berua. Sesampainya di Kampung Berua, kegiatan dilanjutkan dengan barasanji oleh masyarakat dan juga diikuti para pengunjung.”Para pengunjung juga bisa bersama-sama naik di atas perahu merayakan kegiatan maulid di atas perahu khas Rammang Rammang ini,” tambahnya.

baca juga : Gua-Gua Prasejarah, Wajah Lain Kawasan Ekowisata Rammang-Rammang

 

Potret Perayaan Maulid Rasulullah SAW ‘Maudu Jolloro’ yang Melintas di Sungai Pute, Ramang-rammang pada tahun 2018. Foto: Suratman Larakuti

 

Saat perayaan Maudu Jolloro’ yang dilaksanakan tahun 2018, Suratman Alimuddin, fotografer, yang kerap mengunjungi dan mempromosikan wisata Rammang-Rammang mengikuti kegiatan itu. Sebagai fotografer yang banyak mengabadikan pesona alam dan aktivitas budaya, Suratman menganggap bahwa tradisi ini sangat menarik untuk mengundang banyak wisatawan. Bahkan, ia juga melihat ada yang ‘khas’ dalam tradisi Maudu Jolloro’ yang diadakan oleh masyarakat di Rammang-Rammang.

“Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang ini mirip dengan perayaan Maudu Lompoa di Cikoang Takalar. Tapi kalau disana (Cikoang) perahunya besar dan ditampilkan di kampong. Di Rammang-Rammang ini, menariknya karena melintasi sungai. Ini yang banyak disuka sama wisatawan,” jelasnya saat dihubungi Kamis (17/03/2022).

Tradisi Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang terakhir diadakan pada tahun 2019. Pada tahun 2020, kegiatan ini tidak dilakukan akibat pandemi dan aktivitas wisata terhenti sementara. Meskipun sudah dua tahun tidak diadakan, Suratman berharap agar kegiatan Maudu Jolloro’ di Rammang-Rammang dapat kembali diadakan, sebab menurutnya kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri bagi para penikmat atraksi budaya seperti dirinya.

 

***

 

Slamet Riadi (Memet). Alumni magister Antropologi UGM Yogyakarta merupakan peneliti kajian antropologi ekologi dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan.

Nurul Fadli Gaffar. fotografer lepas di Sulawesi Selatan

Tulisan ini merupakan seri liputan Rammang-rammang yang didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version